Menuju konten utama

YLKI Nilai Perlindungan Konsumen Pinjaman Online Masih Lemah

Kasus pinjaman online (P2P Lending) dinilai menjadi salah satu momok dalam perkembangan tren ekonomi digital, karena tak diiringi dengan regulasi yang memadai.

YLKI Nilai Perlindungan Konsumen Pinjaman Online Masih Lemah
Ilustrasi pinjaman online. FOTO/Istockphoto

tirto.id - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, kasus pinjaman online (P2P Lending) menjadi salah satu momok dalam perkembangan tren ekonomi digital.

Pasalnya, perkembangan tren yang begitu pesat itu tak diiringi dengan regulasi yang memadai.

Akibatnya, kata Tulus, P2P Lending ahirnya memakan korban. Baik dalam rupa terlilit utang, diintimidasi, maupun berujung pada meninggal atau bunuh diri. Lemahnya peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator menjadi pertanda belum cukup berpihaknya kebijakan pada perlindungan konsumen.

“Transaksi ekonomi digital menjadi fenomena baru tetapi sampai detik ini belum ada regulasi yang komprehensif untuk melindungi konsumen. Pengawasan regulator seperti OJK masih lemah,” ucap Tulus saat dikonfirmasi mengenai keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto pada Kamis (14/3/2019) malam berkaitan dengan peringatan Hari Hak Konsumen Sedunia.

Pada kasus P2P Lending sebagai salah satu wujud ekonomi digital, Tulus menyoroti sikap OJK yang sempat membebaskan besaran suku bunga, denda, dan komisi harian. Akibatnya utang konsumen yang hanya Rp1 juta dapat melambung menjadi Rp10 juta walaupun hanya telat 2 bulan.

Meskipun saat ini hal-hal itu mulai diatur dalam kode etik yang diterbitkan asosiasi, pernyataan Tulus menjadi masuk akal lantaran beleid itu hanya berlaku bagi P2P Lending terdaftar. Sedangkan mereka yang ilegal masih dapat secara leluasa memberi pinjaman tanpa aturan.

Menurut Tulus, Indonesia masih belum serius menyelesaikan masalah penyalahgunaan data pribadi konsumen sebagai sumber masalah itu meskipun kabarnya UU Perlindungan Data Pribadi saat ini sudah masuk Prolegnas 2019.

Keseriusan pemerintah pun semakin dipertanyakan saat peraturan tentang transaksi belanja online juga tak kunjung rampung.

“Sampai sekarang RPP tentang transaksi belanja online masih mangkrak di meja setneg,” ucap Tulus.

Hal ini, kata Tulus, juga diperburuk dengan rendahnya literasi digital konsumen Indonesia. Menurutnya, kerugian yang dialami konsumen hari ini memang tidak dapat dilepaskan dari kebiasaan tidak membaca ketentuan atau disclaimer.

“Ketika melakukan transaksi digital banyak yang tidak membaca syarat dan ketentuan berlaku,” ucap Tulus.

Di saat yang sama bila terjadi masalah dengan produk, konsumen juga tidak banyak dapat berkutik. Dilihat dari Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) Indonesia yang berada di angka 40,41 (paham) lebih rendah dari negara maju yang mencapai 53 (berdaya).

Seiring dengan itu, ia menilai pelaku usaha juga seringkali tak kooperatif dalam memproses pengaduan konsumen.

“Konsumen Indonesia belum terlalu berani melakukan pengaduan jika dirinya dirugikan,” tukas Tulus.

Baca juga artikel terkait PINJAMAN ONLINE atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno