Menuju konten utama

YLBHI Nilai Putusan MK soal UU Cipta Kerja Tak Berani Tegas

Putusan MK soal UU Cipta Kerja dinilai tidak tegas dan menggantung serta menimbulkan ketidakpastian hukum.

YLBHI Nilai Putusan MK soal UU Cipta Kerja Tak Berani Tegas
Asfinawati, Ketua YLBHI 2017-2021 dalam sebuah sesi wawancara di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa (18/4). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id -

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan LBH se-Indonesia menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal gugatan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) tidak berani lurus dan tegas dengan logika hukum.
Hal tersebut menanggapi putusan MK yang menyatakan pada pokoknya; Pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan".
"Ketidakpercayaan terhadap MK terjawab sudah. Putusan ini adalah putusan kompromi," kata Ketua YLBHI, Asfinawati melalui keterangan tertulisnya, Kamis (25/11/2021).
"Meskipun menyatakan bertentangan dengan UUD, tetapi MK memberikan putusan yang menggantung atau tidak berani lurus dan tegas dengan logika hukum dan UU MK," tambahnya.
MK dalam amar putusannya menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini, yakni dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan dibacakan.
Putusan MK juga menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Seharusnya, kata Asfin, MK membuat putusan dengan menyatakan “Batal” saja, sehingga tidak membuat bingung dan menoleransi pelanggaran.
"Ini juga membuat kondisi yang tidak mudah dipenuhi, dan malah menimbulkan ketidakpastian hukum," tegasnya.
Bahkan, empat dari sembilan hakim menyatakan dissenting dalam arti berpendapat berbeda mengenai UU Cipta Kerja sesuai dengan Konstitusi.
"Putusan MK ini seolah menegaskan kekhawatiran masyarakat sipil terhadap MK yang tunduk pada eksekutif menjadi terbukti," pungkasnya.
YLBHI menyatakan, dari putusan MK ini, pemerintah tidak bisa memberlakukan dulu UU Cipta Kerja dan menghentikan segala proses pembuatan dan penerapan semua aturan turunannya.
Pemerintah telah kehilangan legitimasi dalam menerapkan atau melaksanakan UU Cipta Kerja. Padahal saat ini, UU Cipta Kerja telah diberlakukan beserta seluruh PP turunannya.
"Maka penting untuk menghentikan segera UU ini dan seluruh PP turunannya demi mencegah timbulnya korban dari masyarakat dan lingkungan hidup," tuturnya.
YLBHI juga meminta pemerintah menghentikan segera proyek-proyek strategis nasional yang telah merampas hak-hak masyarakat dan merusak lingkungan hidup.
Namun, jauh sebelum MK menyatakan UU Cipta Kerja melanggar Konstitusi, berbagai kelompok masyarakat di banyak wilayah dengan berbagai pekerjaan dan latar belakang telah mengatakan Omnibus Law UU Cipta Kerja melanggar konstitusi, tapi pemerintah bergeming.
Pemerintah dan DPR harus menyadari kesalahan, bahwa terdapat kesalahan mendasar dalam pembentukan perundang-undangan dan tidak mengulangi.
"Karena kekeliruan seperti ini juga dilakukan di UU KPK, UU Minerba, UU MK, dan banyak peraturan perundang-undangan lainnya baik secara prosedur maupun isi," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait UU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri