Menuju konten utama

YLBHI Nilai Pembentukan Dewan Pengawas KPK Terlalu Politis

Pembentukan Dewan Pengawas (Dewas) dalam revisi UU 10/2019 tentang KPK dinilai terlalu politis.

YLBHI Nilai Pembentukan Dewan Pengawas KPK Terlalu Politis
Asfinawati, Ketua YLBHI 2017-2021 dalam sebuah sesi wawancara di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa (18/4). tirto.id/Arimacs Wilander.

tirto.id - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai aturan mengenai pembentukan Dewan Pengawas (Dewas) dalam revisi UU 10/2019 tentang KPK sangatlah politis.

"Dewan pengawas ini sangat politis," tegas Asfinawati dalam acara diskusi di Kantor ICW, Jakarta Selatan, pada Minggu (3/11/2019).

"Jelas sekali karena ada pengaturan di tahun pertama, berbeda dengan pemilihan berikutnya," lanjutnya.

Dalam aturan tersebut, jelas Asfinawati, Presiden menjadi pihak yang memiliki kewenangan untuk memilih Dewas KPK pada lima tahun pertama. Untuk lima tahun atau periode berikutnya, Dewas akan dipilih melalui panitia seleksi (pansel).

"Terus semua orang yang mengerti bahwa pengawas itu ya namanya mengawasi bukan menjalankan, kalau sekarang kan dia mengimplementasi," tegas Asfinawati.

"Bagaimana mungkin ada orang mengawasi dan menjalankan, dari situ saja ada ketidaksesuaian nama dengan fungsi yang dijalankan," lanjutnya.

Kemudian, Asfinawati pun menyoroti adanya poin-poin kontradiktif dalam UU KPK tersebut. Kontradiksi tersebut muncul dalam pasal-pasal yang mengatur soal peralihan, antara lain Pasal 70, pasal 69, dan Pasal 70D.

"Jadi pasal-pasal tersebut mengatakan begini, ada yang mengatakan, sebelum Dewan Pengawas dibentuk maka fungsi dari KPK akan tetap dijalankan sebelum ada revisi UU KPK. Tetapi di pasal yang lain juga, di pasal peralihan juga disebutkan, bahwa setelah ada UU ini maka semua mengikuti UU ini," jelas Asfinawati.

"Saya sebagai orang dari lembaga bantuan hukum dan orang hukum kalau ditanya tidak bisa menjawab. Jadi sebenarnya yang mana yang mau kita pakai? Karena ada multitafsir dari memang dari pembuatan pasal-pasal tersebut," lanjutnya.

Hal tersebut, jelas Asfinawati, bisa berdampak pada KPK yang bisa saja menggunakan tafsir mana pun untuk menguntungkannya.

"Selalu ada kemungkinan tindakan KPK yang menggunakan pasal tadi, sebelum ada Dewan Pengawas, maka fungsinya masih akan seperti semua, akan ada selalu kemungkinan tindakan KPK itu dipraperadilankan dan dikalahkan oleh hakim," jelas Asfinawati.

"Jadi hakim bisa menggunakan pasal mana saja untuk menafsirkan pasal yang saling bertolak belakang. Dari dua pasal ini saja sudah jelas pemberantasan korupsi berada di dalam bahaya," tegasnya.

Di sisi lain, Presiden Joko Widodo berencana melantik Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pimpinan komisioner terpilih KPK secara bersamaan pada Desember 2019 mendatang.

Jokowi juga mengatakan sewaktu di Istana Negara, Jumat (1/11/2019), saat ini masih dalam tahap mendengar masukan untuk nama-nama yang akan mengisi Dewas KPK. Untuk pertama kalinya juga, Dewas diangkat dan ditetapkan langsung oleh Presiden Jokowi tanpa melibatkan Panitia Seleksi (PanSel).

“Tapi percayalah yang terpilih memiliki kredibilitas yang baik,” ujar Jokowi.

Baca juga artikel terkait DEWAN PENGAWAS KPK atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Maya Saputri