Menuju konten utama

Yasonna: Pengesahan RKUHP Titik Awal Dekolonisasi Hukum Pidana

RKUHP dinilai membahas soal keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan individu, hingga perlindungan pelaku dan korban.

Yasonna: Pengesahan RKUHP Titik Awal Dekolonisasi Hukum Pidana
Menkumham Yasonna H. Laoly memberikan paparannya saat Rapat Kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/2/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.

tirto.id - Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly bersyukur Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bisa disahkan DPR dan pemerintah. Ia menilai pengesahan RKUHP akan menjadi titik awal dekolonisasi hukum pidana Indonesia.

"Dengan disetujuinya RUU KUHP dapat menjadi peletak dasar bangunan sistem hukum pidana nasional Indonesia sebagai perwujudan dari keinginan untuk mewujudkan misi dekolonisasi KUHP peninggalan/warisan kolonial, demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi," Kata Yasonna di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (6/12/2022).

Yasonna memahami bahwa mereka tidak mudah dalam mengakomodasi kepentingan dalam perumusan RKUHP. "Tidaklah mudah bagi negara yang sangat multikultur dan multietnis untuk membuat kodifikasi hukum pidana yang bisa mengakomodasi berbagai kepentingan," jelas dia.

Politikus PDI Perjuangan itu pun mengakui RKUHP membahas soal keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan individu, perlindungan pelaku dan korban, unsur perbuatan dan sikap batin, hukum tertulis dan hukum di masyarakat, antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia.

Pemerintah lantas melaksanakan sosialisasi terjadwal di 11 kota pada 2021 dan 2022 untuk mendengar aspirasi publik. Mereka mendengar masukan dari penegak hukum, akademisi, tokoh agama dan masyarakat, organisasi mahasiswa, pers, profesi hukum, masyarakat hukum Pidana, kriminolog Indonesia hingga Aliansi Nasional Reformasi KUHP.

Yasonna menuturkan bahwa KUHP yang digunakan saat ini adalah KUHP warisan kolonial Hindia Belanda. Setelah merdeka, KUHP kolonial Belanda mengalami perkembangan kodifikasi dan asas hukum.

Upaya rekodifikasi mulai dilakukan sejak Seminar Hukum Nasional I tahun 1963. Sejak saat itu, perumusan terus berkembang tetap berusaha sesuai dengan kaidah hukum, asas hukum pidana, prinsip dan tujuan pembaruan hukum pidana.

Yasonna menuturkan ada sejumlah hal yang diatur ulang. Pertama, pemerintah memperluas jenis pidana yang dapat dijatuhkan pada pelaku. Pidana tidak lagi mengatur soal penjara dan denda, tetapi juga kerja sosial, pidana pengawasan maupun pidana penutupan.

Kedua, negara tidak menempatkan pidana mati dalam RKUHP. Mereka yang diancam hukuman mati harus menjalani hukuman percobaan selama 10 tahun dengan status hukuman mati sebagai hukuman alternatif.

Ketiga, RKUHP mengatur sejumlah keadaan tertentu seseorang sebaiknya tidak dipidana. Sebagai contoh, terdakwa anak atau orang tua di atas umur 75 tahun bisa tidak dijatuhi langsung pidana jika melakukan tindak pidana pertama kali.

Namun pemerintah memberi pengecualian syarat pidana tetap berjalan jika hukuman di atas 5 tahun atau pidana khusus seperti membahayakan atau merugikan rakyat atau merugikan negara/perekonomian negara.

RKUHP, kata Yasonna juga memberi ruang pemidanaan tambahan. Pidana tambahan tersebut berupa pencabutan hak tertentu, pembayaran ganti rugi hingga pencabutan izin. Sebagai contoh, KUHP mengatur penghukuman yang ideal bagi masyarakat disabilitas mental. RKUHP juga memperluas tanggung jawab, salah satunya adalah pemidanaan korporasi.

Baca juga artikel terkait PENGESAHAN RKUHP atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Fahreza Rizky