Menuju konten utama

Yang Tertinggal dari Skywalk Bandung

Selain Bandung yang telah punya skywalk, Solo juga ada proyek skybridge—penghubung Terminal Tirtonadi-Stasiun Solo Balapan sepanjang 438 meter. Fasilitas ini dibangun sebagai penopang transportasi massal.

Yang Tertinggal dari Skywalk Bandung
Pekerja melakukan proses pengecatan di proyek pembangunan skybridge di Terminal Tirtonadi, Solo, oktober lalu. [Joglosemar /Kurniawan Arie Wibowo]

tirto.id - Jangan bayangkan ini adalah Bundaran HI di Jakarta. Jangan juga mengaitkan imajinya dengan Bundaran Patung Kuda. Ini sebuah bundaran jalan—saat orang-orang satu demi satu melangkah tepat di atas kepadatan lalu lintas di jantung Kota Shanghai Cina—tepatnya Lujiazui Road di Distrik Pudong.

Sebuah konstruksi bangunan yang berfungsi sebagai jembatan dan trotoar melingkar berdiri 5,5 meter di atas jalan raya menyatukan simpang lima padat kendaraan di Shanghai sejak 2011. Bentangannya lebar, cukup untuk dilintasi 15 orang yang semuanya berjejer. Tangga manual dan eskalator berada di empat penjuru mata angin siap menyapa bagi siapa saja yang akan memakai trotoar melayang ini—sebagai penghubung ke stasiun kereta hingga pusat belanja dan perkantoran. Nama fasilitas ini adalah circular pedestrian bridge atau sering juga disebut footbridge bahkan ada yang menyebutnya skybridge dan skywalk.

Belakangan, istilah skywalk kian populer saat Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menggagas fasilitas umum untuk para pedesterian sejak 2014 lalu. Beberapa hari ini, skywalk yang lokasinya di kawasan Cihampelas, Kota Bandung mulai bisa dilintasi warga. Suara pro dan kontra sejak awal mewarnai proyek sepanjang 450 meter setinggi 4,6 meter dengan lebar 9 meter ini. Skywalk membentang dari RS Advent Bandung hingga Cihampelas Walk yang menelan anggaran sekitar Rp48 miliar.

Ide pembangunan Skywalk agar para pengunjung ke kawasan Cihampelas tidak perlu membawa kendaraannya ke kawasan pusat perbelanjaan jeans dan t-shirt terbesar di Bandung tersebut. Orang-orang cukup berjalan kaki dari kawasan parkir yang telah disediakan. Harapannya, kepadatan arus lalu lintas di jalur Cihampelas bisa dikurangi.

"Skywalk terinspirasi di Hong Kong, para pejalan kaki melintasi kawasan dengan jembatan penyeberangan di udara. Tahap pertama Kota Bandung akan membangun dari Tamansari ke Cihampelas," kata Ridwan Kamil, seperti dikutip Antara.

Fauzi, seorang pengguna Skywalk Cihampelas menganggap fasilitas ini sangat unik karena warga bisa merasakan sensasi baru bisa berjalan-jalan di atas ketinggian. Seorang, mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Bandung ini meyakini Skywalk Cihampelas bisa menjadi ikon baru Bandung.

"Pokoknya ini memberi banyak suasana baru buat saya, bisa buat ngobrol-ngobrol juga seru, kan disediakan kursi-kursi. Lalu ada penjual makanan, lengkap pokoknya," kata Fauzi.

Sebelum keriangan warga Bandung dengan Skywalk, proyek ini menuai tentangan dari pemerintah Provinsi Jawa Barat karena dianggap mengganggu pepohonan, banyak akar utama dipotong saat pembangunan tiang pancang proyek. Konstruksinya dianggap berisiko, mulai dari angin kencang termasuk potensi pohon tumbang yang bisa menimpa Skywalk.

"Saya kira apa manfaatnya skywalk itu. Kalau itu untuk mengurangi kemacetan maka sistem transportasinya diperbaharui," kata Kepala BPLHD Provinsi Jawa Barat Anang Sudarna seperti dilansir Antara, November lalu.

Infografik Skywalk Cihampelas Bandung

Terlepas dari pro dan kontra, Bandung selama ini memang dihadapkan dengan masalah untuk urusan kemacetan jalan raya dan keselamatan pejalan kaki. Dalam laporan ADB yang berjudul “Walkability and Pedestrian Facilities in Asian Cities” 2011 lalu, Bandung masuk dalam daftar kota angka kematian pejalan kakinya cukup tinggi. Persentasenya 33 persen.

Bandung sedikit lebih baik dari Mumbai yang mencapai 35 persen atau Kalkuta yang mencapai 64 persen. Setiap tahunnya, rata-rata di dunia ada 1,3 juta orang meregang nyawa dari kecelakaan yang terjadi di jalanan, mereka adalah pejalan kaki, pengguna sepeda, dan pengendara sepeda motor. Sebanyak 90 persen berasal dari negara berkembang (WHO 2009).

Bagi Bandung, Skywalk barangkali sebagai sarana memuliakan pejalan kaki, mengurangi volume kendaraan dan ikon baru wisata kota ini, tapi di berbagai belahan dunia, sarana sejenis semacam ini sudah sangat kompleks fungsinya seperti yang di Lujiazui Road, Shanghai.

Di Mumbai, India misalnya, mereka membangun 50 jaringan skywalk dengan rentang masing-masing 200 meter hingga 2 km dengan lebar 3-7 meter ini, disebut-sebut yang terbesar di dunia. Proyek senilai 300 juta dolar AS ini bagian dari penopang program Station Area Traffic Improvement System (SATIS) di Mumbai. Skywalk pertama bernama Bandra East, yang menghubungkan jaringan transportasi massal seperti stasiun ke kawasan Kalanagar Junction, yang telah dibuka pada Juni 2008. Diperkirakan ada 12 juta orang setiap hari memanfaatkan skywalk di Mumbai.

Bandung memang masih berbenah, termasuk urusan transportasi massal. Ide pembangunan Metro Kapsul yang akan menghubungkan Stasiun Bandung-Tegallega belum juga terealisasi. Proyek sepanjang 6 km ini merupakan patungan Pemerintah Kota Bandung, Provinsi Jabar, BUMN PT PP, dan pemerintah pusat, sebagai proyek percontohan.

Idealnya, ada transportasi massal yang dipadukan dengan skywalk. Namun, soal urgensi, transportasi massal tentu perlu diprioritaskan di atas "jalan massal” dengan skywalk.

“Metro kapsul Bandung lebih urgent ketimbang proyek taman atau Skywalk. Tak ada yang jalan kaki lagi di Bandung sekarang. Kalau tidak mengendarai motor, orang membawa mobil," kata Angga.

Kenyataan soal pejalan kaki di Bandung tak seekstrem yang dikatakan Angga. Namun, untuk rutinitas primer seperti bekerja, orang memang mengendarai kendaraan, entah kendaraan umum ataupun pribadi.

Belajar dari pengalaman di negara lain, skywalk seharusnya terkoneksi dengan transportasi massal. Pejalan kaki tentunya tak hanya ingin berjalan kaki dengan nyaman dan aman, tapi juga bisa berpergian dengan leluasa tanpa didera kamacetan, bukan?

Baca juga artikel terkait BANDUNG atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Maulida Sri Handayani