Menuju konten utama

Yang Terjadi Setelah Kepindahan Kedubes AS ke Yerusalem Dipercepat

Senin besok, kedubes Amerika Serikat untuk Israel resmi pindah dari Tel Aviv ke Yerusalem. Maka, AS resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.

Yang Terjadi Setelah Kepindahan Kedubes AS ke Yerusalem Dipercepat
Warga Palestina menonton televisi menyiarkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berpidato dimana ia diharapkan mengumumkan bahwa AS mengakui Yerusalem sebagai ibukota Istael, di Kota Tua Yerusalem, Rabu (6/12). ANTARA FOTO/REUTERS/Ammar Awad

tirto.id - Pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem tinggal hitungan hari. Undangan resmi perayaan kepindahan dari Kementerian Luar Negeri Israel sudah disebar. Per Kamis (10/5) kemarin, sudah ada 30 dari total 86 duta besar asing di Israel yang menerima undangan. Rencananya pesta perayaan bakal digelar pada Minggu (13/5) malam besok.

Dilansir dari Haaretz, acara perayaan bakal dihadiri oleh lingkaran terdekat Donald Trump seperti putri sekaligus penasihat Trump, Ivanka Trump, menantunya, Jared Kushner, Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin dan pejabat tinggi AS lainnya.

Beberapa negara penerima undangan tersebut adalah Hungaria, Republik Ceko dan Bulgaria. Sementara Rusia, Jerman, Irlandia, Malta, Meksiko, Portugal, Australia, Polandia dan Swedia. Mereka menolak undangan sebagian karena alasan teknis dan prinsip.

Dijadwalkan pada Senin (14/5) minggu depan, atau sehari setelah acara malam perayaan, Kedubes AS resmi beralih ke Kota Yerusalem. Rambu-rambu jalan bahkan sudah dipasang untuk menunjukkan alamat kedubes yang baru itu.

Friends of Zion Museum (FOZ) dan Heritage Centre di bawah pimpinan Dr. Mike Evans menilai keputusan Donald Trump sebagai langkah bersejarah bagi Israel. Selama seminggu terakhir, mereka meluncurkan kampanye besar-besaran guna menghormati Trump yang telah sudi memindahkan kantor kedutaannya ke Yerusalem.

FOZ yang pernah memberikan penghargaan kepada George W. Bush dan juga Trump ini menyebarkan lebih dari 150 baliho di ruang publik. Mulai dari berbagai bangunan di seluruh kota hingga bus-bus ditempeli poster yang intinya mengucapkan selamat atas kepindahan kedubes AS sekaligus menyampaikan dukungan pada Trump, sebagaimana dilansir The Jerusalem Post.

Gelombang Protes

Apa yang dilakukan oleh AS di bawah kuasa Donald Trump tergolong nekat. Proses kepindahan Kedubes AS ke Yerusalem dimajukan lebih cepat dari jadwal semula yang bakal terlaksana sekitar akhir 2019. Dilansir dari Time, di bawah aturan baru yang ditandatangani oleh Menlu AS Rex Tillerson pada 22 Februari kemarin, Kedubes AS bakal pindah pada bulan Mei bertepatan dengan ulang tahun ke 70 pendirian negara Israel.

Rencananya kantor kedutaan di Yerusalem pada tahap pertama hanya akan diisi oleh duta besar dan staf inti saja sambil menunggu proses pembangunan gedung yang bakal berlangsung hingga beberapa tahun ke depan.

Protes datang dari berbagai kalangan menyikapi kepindahan kedubes AS ke Yerusalem. Arutz Sheva melaporkan, para pemimpin Otoritas Palestina pada Selasa (8/5) memperingatkan bahwa pihaknya akan mengadakan protes massal yang disebut sebagai “Hari Kemarahan” pada Senin (14/5) besok tepat ketika peresmian kepindahan kedubes AS. Desakan agar Palestina segera diakui sebagai sebuah negara berdaulat juga menjadi pesan yang akan diusung.

LSM Peace Now yang berbasis di Israel berencana akan mengadakan protes pada Senin besok. Mereka melihat langkah pemindahan kedubes tidak dibuat berdasar konteks perjanjian damai dengan Palestina. Aksi protes ini sekaligus memperingatkan bahwa memindahkan kedutaan besar ke Yerusalem yang masih berstatus sengketa antara Israel dan Palestina hanya akan membahayakan keamanan dan mencederai proses perdamaian.

Protes dari para diplomat Eropa ditunjukkan dengan tidak menghadiri acara perayaan pada Minggu besok. Dilansir dari The Times of Israel, pemindahan kedubes AS menunjukkan pengakuan Paman Sam bahwa ibukota Israel kini adalah Yerusalem.

Jalur Gaza pun turut memanas. Sabtu (5/5) pekan lalu, ribuan orang Palestina mendekat ke jalur Gaza melakukan aksi protes kepada Israel. Keamanan Israel membalas dengan gas air mata dan peluru sehingga ratusan warga Palestina terluka. Dilansir dari Al-Araby, tenaga medis merawat 1.243 korban yang sebagian besar menghirup gas air mata, dan 83 lainnya luka-luka-luka akibat tembakan, demikian menurut Kementerian Kesehatan Gaza.

Sejak protes di sepanjang jalur Gaza pada 30 Maret lalu, ada 49 warga Palestina yang tewas di tangan pasukan Israel. Ratusan lainnya terluka. Diperkirakan aksi demonstrasi akan makin meningkat menjelang peresmian Kedubes AS di Yerusalem.

Infografik Menyikapi kepidahan kedubes AS

Negara Lain Menyusul

Langkah yang dilakukan Trump nyatanya berdampak pada negara lain. Dua hari setelah AS memindahkan Kedubes ke Yerusalem, Guatemala juga akan melakukan hal yang sama sebagai bentuk dukungan pengakuan ibukota Israel di Yerusalem. CNN menyebut, Jimmy Morales selaku Presiden Guatemala mengumumkan langsung rencana tersebut di hadapan Komite Urusan Publik Amerika-Israel pada Maret lalu.

"Sebagai keputusan yang berdaulat, kami mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel," kata Morales dan disambut dengan sorak-sorai dan tepuk tangan.

Morales menyinggung hubungan Guatemala sebagai salah satu negara pertama yang memberikan suara dukungan untuk pembentukan negara Israel pada tahun 1947 silam. Pada tahun 1959, Guatemala disebut sebagai negara pertama yang membuka kedutaan di Yerusalem, sebelum akhirnya mematuhi seruan Dewan Keamanan PBB pada tahun 1980 untuk memindahkan kedutaan ke Tel Aviv.

Menurut juru bicara Kemenlu Israel Emmanuel Nahson, langkah Guatemala akan disusul oleh Paraguay pada akhir Mei. Dilansir dari Reuters, juru bicara pemerintah Paraguay mengatakan bahwa Presiden Horacio Cartes dijadwalkan melawat ke Israel untuk meresmikan kepindahan kedutaan antara tanggal 21 atau 22 Mei nanti.

Sementara itu, Mahmoud Abbas selaku Presiden Otoritas Palestina dalam kunjungannya ke Venezuela berharap tidak ada lagi negara lain yang menyusul memindahkan kantor kedubesnya ke Yerusalem.

"Kami berharap bahwa negara-negara lain di benua Amerika tidak memindahkan kedutaan mereka ke Yerusalem karena ini bertentangan dengan hukum internasional," imbau Abbas.

Keputusan Trump mengakhiri tujuh dekade kebijakan luar negeri AS yang selama ini menolak pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel karena faktor konflik antara Israel-Palestina yang masih berlangsung. Tak satu pun negara yang berani membuka kantor kedutaan di Yerusalem sejak tahun 1980an. Terakhir, pada 1980, ada 13 negara yang akhirnya menutup kantor kedutaannya di Yerusalem.

Menurut laporan Haaretz, pada Agustus 1980, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang meminta negara-negara anggota PBB untuk tidak membuka kantor diplomatik di Yerusalem. Resolusi ini dikeluarkan untuk merespons undang-undang yang bikinan Parlemen Israel pada 30 Juli 1980 yang menetapkan bahwa Yerusalem akan tetap menjadi ibukota Israel. Dewan Keamanan PBB menilai aturan tersebut sebagai provokasi dan mengutuknya sebagai pelanggaran hukum internasional.

Yerusalem pernah menjadi rumah bagi 16 kantor kedutaan besar dari berbagai negara sebelum tahun 1980an. Namun tidak semuanya bertahan sampai keputusan PBB yang melarang kota tersebut disinggahi kantor kedubes. Saat Perang Yom Kippur, Pantai Gading, Zaire dan Kenya memutus hubungan diplomatik dengan Israel pada September 1973 dan menutup kedubes mereka mendahului 13 negara lainnya yang baru menutup kedubes di tahun 1980.

Status kota Yerusalem sendiri menjadi salah satu titik sengit dalam perseteruan Israel-Palestina. Pihak Israel mengklaim bahwa Yerusalem adalah ibukota abadi. Sementara Palestina menginginkan bagian timur kota tersebut sebagai ibukota ketika Palestina merdeka.

Dengan keputusan Trump yang nekat mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dan memindahkan kedubesnya sebagai simbol pengakuan kepada dunia, konflik Israel dan Palestina hanya akan semakin keruh.

Baca juga artikel terkait KONFLIK ISRAEL PALESTINA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf