Menuju konten utama

Yang Terjadi Setelah Dua Tahun Penggusuran Kampung Akuarium

Warga korban penggusuran Kampung Akuarium setia menunggu janji Anies Baswedan Sandiaga Uno yang hendak menata kembali tempat itu.

Yang Terjadi Setelah Dua Tahun Penggusuran Kampung Akuarium
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengunjungi shelter tempat tinggal sementara warga Kampung Akuarium usai menghadiri acara peringatan dua tahun Penggusuran Kampung Akuarium, Jakarta, Sabtu (14/4/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Rini, warga Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, masih ingat betul bagaimana pada 18 April 2016 pukul 05.30 pagi dirinya dibangunkan oleh salah seorang Satpol PP untuk diajak pindah ke Rusun Marunda.

Tapi ketika itu jawaban Rini tegas: ia tak mau dipindah. "Mohon maaf. Bukannya saya membangkang atau bandel, saya ingin membela kampung saya."

Rini dan 345 Kepala Keluarga (KK) lainnya adalah korban penggusuran Pemprov DKI Jakarta yang terjadi pada 11 April 2016. Saat itu kampung ini digusur oleh 4.288 aparat gabungan dari TNI, Polri dan Satpol PP.

"Waktu itu kami kaget banget. Saya yang udah 30 tahun tinggal di sini diusir gitu aja sama Pemprov," ucap Rini.

Sebelas hari setelah penggusuran, tepatnya pada 26 April 2016, Paroji, 35 tahun, juga korban gusuran, dianugerahi dua orang anak. Ia tak pernah menyangka dua anaknya itu harus lahir di tempat gusuran.

"Setelah penggusuran saya tinggal di kapal. 26 April 2016 kedua anak saya lahir," kata Paroji. Fanya dan Fatiya, demikian ia memberi nama anak perempuannya itu.

Kesusahan warga tidak berhenti sampai sana. Awal 2017, Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka diblokir. Dampaknya banyak yang kesulitan waktu mendaftarkan anak-anak ke sekolah negeri.

"Karena Nomor Induk Kependudukan (NIK) tidak terdaftar, ada 10 KK yang kesulitan mendaftarkan anaknya ke sekolah," ucap Paroji. Beruntung Kantor Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Jakarta Utara masih berbaik hati mencabut pemblokiran itu. Anak-anak dari 10 keluarga tadi bisa daftar sekolah.

Paroji dan Rini enggan meninggalkan kampung meski semua telah rata dengan tanah. Rini memilih membangun kembali tempat tinggal seadanya tepat di atas puing-puing rumah yang lama. Sedangkan Paroji memilih tinggal di atas kapal.

Namun keputusan itu harus dibayar mahal. Setiap hari ia didatangi Satpol PP memintanya untuk pergi dari sana.

"Mereka bisa tiga sampai lima kali sehari mendatangi kami buat ngajak pindah ke rusun."

Tapi Rini enggan pindah. Ia merasa Rusun Marunda dan Rusun Cakung, dua tempat yang ditawarkan pemprov bagi korban gusuran, terlalu jauh dari tempatnya bekerja di Pelabuhan Sunda Kelapa.

Tentu lingkungan yang demikian membuat orang-orang dihinggapi beragam penyakit. Anak Paroji yang harus bertahan hidup di atas kapal, misalnya, beberapa kali terkena demam. Sementara Rini kerap mengeluh pusing dan mual.

"Sudah capek kerja, tidurnya di luar, jadinya masuk angin sampai muntah-muntah," kata Rini.

Kegetiran hidup tersebut harus mereka jalani hingga awal tahun 2018.

Janji Anies-Sandi

Harapan mulai datang ketika Pilkada DKI Jakarta. Rini ingat betul ketika Anies Baswedan mendatangi Kampung Akuarium pada Selasa, 7 Februari 2017. Kala itu dia mendengar jika Anies meminta doa kepada para warga agar bisa menang di pilkada. Kalau jadi gubernur, kata Anies kala itu, ia bakal "menata kembali" kampung.

"Dulu dia minta doa biar jadi gubernur, dan katanya mau bantu menata kampung ini," ucap Rini.

Keyakinan warga bahwa ada masa depan yang lebih baik semakin tebal ketika Anies dan wakilnya, Sandiaga Uno, menandatangani kontrak politik dengan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) Jakarta dan Urban Poor Consortium (UPC) pada 8 April 2017.

Dua dari lima poin pada kontrak itu adalah "perubahan tata ruang perkampungan" dan "legalisasi lahan perkampungan."

Senin 16 Oktober 2018 Anies Baswedan dan Sandiaga Uno resmi menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Sebulan setelah dilantik, Anies angkat suara mengenai janjinya itu. Ia bilang kalau Kampung Akuarium bakal dibangun kembali, dan tahap pertama adalah pembangunan shelter–tempat tinggal sementara, berbentuk rumah petak seluas 4 x 6 meter dengan dinding kayu dan atap baja ringan.

Shelter ini telah ditempati warga pada awal Maret lalu.

Ada 90 shelter yang telah berdiri saat ini. 32 shelter ada di Blok A, 28 di Blok B, dan 28 di Blok C, serta dua shelter lagi difungsikan sebagai musala dan ruang pertemuan warga. Di setiap blok terdapat 16 kamar mandi yang dipakai bersama.

Shelter ini dilengkapi dengan sambungan listrik prabayar. Satu voucher listrik seharga Rp200 ribu untuk enam rumah. Sementara untuk air bersih, sampai saat ini masih pakai jasa tukang air keliling. Satu jeriken berisi 20 liter air dibanderol Rp7 ribu. "Tapi kabarnya mau dipasang air PAM," kata Paroji.

Dalam waktu dekat warga bakal menggelar pemilihan RT dan menetapkan kembali identitas tempat tersebut. Sejak ditetapkan sebagai "warga ilegal" oleh Pemprov DKI terdahulu, otomatis tempat ini juga tak lagi bernama.

"Dulu ini kan RT 01 sama RT 12. Rencananya mau dibuat RT baru," kata pria yang lahir di Jakarta tersebut.

Penataan Belum Selesai

Tirto mengunjungi Kampung Akuarium bertepatan dengan peringatan dua tahun penggusuran, Sabtu 14 Maret lalu. Pada acara tersebut Anies Baswedan juga hadir menemui warga.

Di sebuah panggung sederhana, Anies mengatakan bahwa penataan Kampung Akuarium adalah realisasi janji politiknya pada kampanye lalu.

"Saya tidak ingin tanda tangan janji tapi orang lain yang melunasi. Saya ingin melunasinya [penataan kampung]," kata Anies, disambut tepuk tangan warga. Katanya lagi, anggaran untuk itu bakal dimasukkan ke pos APBD 2019.

Mengenai konsep penataannya sendiri, Anies bilang kalau itu bakal dibahas bersama warga sekaligus organisasi non-pemerintah yang ada di sana.

"Itu yang nanti akan kami laksanakan," kata Anies lagi.

Pada acara tersebut Anies dihadiahi miniatur rumah panggung dua lantai. Warga berharap rumah tinggal mereka kelak akan seperti itu.

Baca juga artikel terkait KAMPUNG AKUARIUM atau tulisan lainnya dari Naufal Mamduh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Naufal Mamduh
Penulis: Naufal Mamduh
Editor: Rio Apinino