Menuju konten utama

Yang Terjadi Bila Batas Pajak Oleh-oleh Luar Negeri Naik

Pajak bawaan barang atau pajak oleh-oleh dari luar negeri selama ini sudah diberlakukan. Apa dampaknya bila batas penerapannya direvisi?

Yang Terjadi Bila Batas Pajak Oleh-oleh Luar Negeri Naik
Menteri Keuangan Sri Mulyani melihat petugas Bea Cukai memeriksa barang bawaan dan oleh-oleh calon penumpang di bandara. FOTO/Doc.Kemenkeu

tirto.id - Sepasang suami istri dan dua anak-anaknya nampak sedang melewati proses pemeriksaan bea cukai di sebuah bandara. Pasangan itu terlihat bingung saat tas seharga 7.000 dolar yang baru dibelinya dari luar negeri harus dikenakan bea masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mereka pun mengikuti prosedur perhitungan barang belanjaan oleh petugas bea cukai. Setelah dihitung oleh petugas, nilai bea masuk dan PDRI yang harus dibayar untuk meloloskan tas bermerek oleh-oleh belanja di luar negeri tersebut mencapai sebesar Rp27 juta.

"Dua puluh tujuh juta?" tanya sang istri keheranan.

Namun, sang suami akhirnya menyetujui membayar semua tagihan bea masuk dan PDRI itu. Kejadian yang sengaja direkam lengkap dengan ilustrasi oleh petugas bea cukai tersebut menjadi viral di media sosial. Banyak masyarakat yang terkejut. Selain karena nilai yang ditebus besar, tak semua warganet tahu kalau ada aturan soal "pajak oleh-oleh".

Pengenaan pajak barang impor ini sudah lama diatur, yakni di dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 188/ 2010 tentang Impor Barang Yang Dibawa Oleh Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, Pelintas Batas, dan Barang Kiriman.

Hanya saja, penerapan aturan tersebut masih belum maksimal di lapangan. Banyak faktor yang menyebabkan, di antaranya seperti minimnya sosialisasi dari pemerintah, dan lemahnya kesadaran dari masyarakat untuk membayar pajak. Faktor lain adalah keterbatasan kemampuan aparat untuk mengendus belanjaan dari luar negeri yang memenuhi ketentuan pajak.

Dalam PMK No. 188/2010 tersebut disebutkan bahwa nilai barang impor pribadi penumpang yang bebas dari bea masuk atau pajak oleh-oleh maksimal sebesar $250 per orang atau setara dengan Rp3,37 juta atau $1.000 per keluarga setara dengan Rp13,51 juta.

Apabila nilai barang yang dibawa melebihi batas maksimal US$250, maka kelebihannya akan dikenai bea masuk 10% dan PDRI. Adapun, PDRI itu terdiri dari pajak pertambahan nilai (PPN) 10% dan Pajak Penghasilan (PPh) 7,5%.

Perhitungan pengenaan bea masuk dan PDRI untuk barang mewah yang dibawa penumpang agak sedikit berbeda. Selain bea masuk, dan PDRI, barang mewah tersebut juga dikenai Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) 40%.

Untuk barang impor yang dibawa penumpang dengan tujuan untuk berdagang, nilai barang yang dikenai bea masuk dan PDRI dihitung secara penuh, atau tidak dikurangi $250 atau $1.000 terlebih dahulu.

Selain pembebasan barang bawaan senilai $250 dolar dan $1.000 dolar, pemerintah juga membebaskan 200 batang sigaret, 25 batang cerutu, atau 100 gram tembakau iris/hasil tembakau lainnya, dan 1 liter minuman mengandung etil alkohol dari ketentuan pajak dan bea masuk.

Infografik ayo hitung pajak oleh olehmu

Wacana Merevisi Batas Pajak

Video viral penumpang di bandara yang dikenai pajak oleh-oleh bersamaan dengan rencana kementerian keuangan (Kemenkeu) melakukan revisi soal pajak oleh-oleh. Pemerintah mulai mengkaji penyesuaian batas nilai barang bawaan yang bebas bea masuk.

Kepala Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai Kemenkeu Nasrudin Djoko Surjono mengungkapkan bahwa pemerintah memang tengah mengkaji penyesuaian batas nilai (threshold) barang bawaan dari luar negeri oleh penumpang.

“Sekarang masih digodok. Kami sedang simulasikan dampaknya, kalau dinaikkan threshold-nya gimana, kalau diturunkan gimana. Kami juga minta usulan dari akademisi, akuntan pajak, dan stakeholder lainnya,” katanya kepada Tirto.

Djoko menegaskan bahwa penyesuaian batasan nilai barang bawaan luar negeri harus dikaji secara hati-hati. Selain mengurangi penerimaan negara, aturan baru itu juga dikhawatirkan berdampak terhadap perdagangan dalam negeri.

Sejalan dengan rencana pemerintah tersebut, sejumlah kalangan mengusulkan agar batas nilai barang yang bebas bea masuk untuk dinaikkan seiring dengan inflasi, tingkat pendapatan, daya beli masyarakat, dan kondisi terkini.

Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) misalnya, mengusulkan agar batasan nilai barang impor yang bebas bea masuk dinaikkan menjadi 10 kali lipat, menjadi $2.500 per orang dan $10.000 per keluarga. Deputy Director CITA Ruben Hutabarat meyakini usulan kenaikan batasan nilai tersebut tidak akan mengganggu penerimaan negara dari bea masuk. Apalagi, kontribusi bea masuk ke total penerimaan negara juga terbilang kecil.

“Komposisi bea masuk ke total penerimaan negara hanya sekitar 2 persen. Kalau di breakdown lagi, khususnya ke barang bawaan penumpang, kontribusinya jauh lebih kecil lagi,” katanya kepada Tirto.

Apa yang disampaikan Ruben tidak meleset jauh. Ditjen Bea Cukai mencatat porsi penerimaan bea masuk dari barang penumpang terhadap total penerimaan bea masuk pada 2016 hanya 0,02 persen atau sebesar Rp8,35 miliar.

Selain itu, CITA juga meyakini kenaikan batasan nilai tersebut juga tidak akan membuat Indonesia kebanjiran barang-barang impor. Geliat industri dalam negeri pun juga tidak akan serta merta terpengaruh.

Hal yang sama juga diungkapkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Namun, tidak seperti CITA, usulan kenaikan batasan nilai barang penumpang dari Kadin lebih kecil, yakni naik dua kali lipat, menjadi US$500 per orang dan US$2.000 per keluarga. Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kadin Indonesia Herman Juwono mengungkapkan bahwa batasan nilai barang penumpang sebenarnya lebih longgar ketimbang negara-negara di ASEAN.

“Tapi kalau memang mau dinaikkan, kami usul $500 atau naik dua kali lipat. Saya kira kalau $250 memang cuma bisa bawa permen saja. Kita juga kan ingin belanja yang bagus buat dibawa ke rumah,” ujarnya kepada Tirto.

Herman berpendapat bahwa hal yang harus diperhatikan pemerintah saat ini adalah bagaimana menegakkan aturan perpajakan di masyarakat secara adil. Selain itu juga, penerapan aturan juga harus diawasi dengan baik. Sependapat dengan Herman, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta termasuk yang tak keberatan bila ada kenaikan batas pajak barang oleh-oleh dari luar. Sebagai pelaku ritel dalam negeri, bila ada kenaikan batas pajak, ia tak khawatir akan berdampak pada pelaku ritel lokal.

Tutum mengakui memang ada saja para pelancong Indonesia dari luar negeri yang menjadi agen penitipan barang impor karena kebiasaan beberapa orang Indonesia suka belanja di luar negeri. Namun, ia tak yakin jumlahnya signifikan. Bila ada kenaikan batas kena pajak, memang nilai harga barang yang dibeli oleh penumpang dari luar negeri yang tak kena pajak makin longgar. Namun, menurutnya yang paling penting saat ini adalah bagaimana pemerintah terus membangun kepercayaan bahwa pajak atau bea masuk yang telah dibayar wajib pajak tak disalahgunakan.

"Bagaimana caranya agar orang tak menyelundup? ya tak rumit administrasi dan tak dikorup uangnya, bukan soal angka berapa jumlah batas tak kena pajak yang dinaikkan," kata Tutum kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra