Menuju konten utama
23 Agustus 1945

Yang Terasa Janggal dalam Pidato Pertama Presiden Sukarno

Kali pertama.
Orasi membahana
lewat udara.

Yang Terasa Janggal dalam Pidato Pertama Presiden Sukarno
Ilustrasi Sukarno sedang berpidato. tirto.id/Sabit

tirto.id - “Tetaplah tenang, tinggallah tenteram, peganglah teguh-teguh disiplin, siap-sedialah untuk berjuang guna kemerdekaan negeri kita dalam waktu yang maha genting ini!” ucap Sukarno dalam pidatonya pada 23 Agustus 1945, tepat hari ini 73 tahun lalu.

Inilah untuk pertama kalinya Bung Karno berpidato secara resmi dan disiarkan melalui radio ke berbagai wilayah setelah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Terdapat banyak poin penting yang disampaikan Sukarno dalam situasi yang belum stabil itu, termasuk ada seruan yang boleh dibilang terasa agak janggal.

Jangan Terbelah, Ikuti Pemerintah!

Indonesia memang telah menyatakan proklamasi kemerdekaan, namun Jepang secara de facto masih menduduki negeri ini sebelum kedatangan Sekutu—yang ternyata diboncengi Belanda. Sukarno pun cenderung mengikuti aturan main yang diatur kesepakatan internasional kala itu demi terciptanya kondisi yang relatif terjaga.

Bung Karno melalui pidatonya berkali-kali menekankan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tenang, waspada, namun selalu bersatu-padu serta tetap siap-sedia melanjutkan perjuangan yang sejatinya belum usai meskipun dalam bentuk yang berbeda.

Diakui oleh presiden, tidak mudah untuk tetap tenang lantaran perubahan yang amat mendadak dan drastis. Dalam pidatonya, dinukil dari Documenta Historica: Sedjarah Dokumenter dari Pertumbuhan dan Perdjuangan Negara Republik Indonesia Volume 1 (1953) yang disusun Osman Raliby, Bung Karno berkata:

”Pekerjaan dan perjuangan menyusun Indonesia Merdeka di alam peperangan sekonyong-konyong harus berganti menjadi pekerjaan dan pekerjaan menyusun Indonesia Merdeka di dalam keadaan internasional sekarang, yaitu dalam perdamaian” (hlm. 17).

Sukarno menghendaki agar bangsa Indonesia turut menjaga perdamaian dunia karena negara yang baru saja merdeka ini telah menjadi bagian dari lingkungan internasional dan membutuhkan dukungan dari negara-negara lain.

Meskipun begitu, Bung Karno menegaskan bahwa tujuan utama perjuangan tidak akan berubah, yakni semata-mata demi kepentingan rakyat. Hanya saja, Indonesia sudah bukan lagi negara terjajah dan mesti turut dalam pergaulan dunia beserta segenap aturannya.

“Sekalipun sifat perjuangan kita harus berubah mengikutkan pergantian susunan dunia, tetapi tujuan perjuangan kita tetap seperti sediakala, yaitu melaksanakan keselamatan dan kemakmuran bangsa Indonesia seluruhnya,” tandas Sukarno.

Presiden juga mewanti-wanti kepada seluruh elemen masyarakat jangan mudah terpancing kabar hoaks yang kerap berseliweran dalam ketidakpastian saat itu. “Berhati-hatilah dengan mempercakapkan kabar-kabar bohong dan omong kosong yang mengacaukan pikiran orang!” pesan Bung Karno.

Untuk itu, rakyat diimbau mengikuti pemerintah agar tidak terjebak dalam situasi yang justru berpotensi memecah-belah. “Saya minta segenap rakyat Indonesia pada saat sekarang ini bersatu-padu bulat, berdiri di belakang pemimpin,” kata presiden, dikutip A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Volume 1 (1978: 230).

“Sekali lagi bersatu-padu,” tegas Bung Karno, “segala golongan, segenap lapisan rakyat, seluruh bangsa yang 70 juta itu, bersatu-padu di belakang pemimpin. Janganlah kita menjadi kacau, bekerja tak tentu arah, hanya tuduh-menuduh dan salah-menyalahkan orang lain.”

Menyusun Perangkat Negara Merdeka

Secara lebih teknis, Presiden Sukarno dalam pidatonya juga mengungkapkan perlunya dibentuk beberapa organ atau institusi sebagai penyokong pemerintahan Indonesia sebagai negara yang merdeka.

Pertama adalah Komite Nasional yang berpusat di Jakarta dan didirikan pula di berbagai daerah di tanah air atas dasar kebangsaan. Komite ini, kata Bung Karno, adalah “penjelmaan kebulatan tujuan cita-cita bangsa untuk menyelenggarakan kemerdekaan Indonesia yang berkedaulatan rakyat.”

Maka, tambah Sukarno, Komite Nasional wajib menyertakan semua aliran, elemen, dan seluruh lapisan masyarakat. Pemimpin-pemimpin rakyat dari segala golongan mesti bersatu dalam Komite Nasional.

“Pangreh praja (pegawai pemerintahan), alim-ulama, kaum pergerakan, pemuda-pemuda, kaum dagang, perniagaan dan lain-lain, harus bekerja bersama-sama dalam Komite Nasional,” ucap Presiden Sukarno, seperti dikutip Liang Gie The dalam Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia (1993: 45).

Yang kedua, masih ucap presiden melalui pidato resmi pertamanya itu, pentingnya segera dibentuk suatu badan untuk mengawal keamanan nasional, yakni Badan Keamanan Rakyat (BKR). Dan, kata Bung Karno, Indonesia punya banyak sumber daya untuk mewujudkan itu.

“Banyak, banyak sekali tenaga-tenaga yang tepat sekali untuk melaksanakan pekerjaan ini. Bekas prajurit Peta, bekas prajurit Heiho, bekas prajurit pelaut, pemuda-pemuda yang penuh dengan semangat pembangunan, mereka semua adalah tenaga-tenaga yang baik untuk pekerjaan ini,” papar Sukarno, seperti yang dirangkum Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawan dalam Kronik Revolusi Indonesia 1 (2005: 44).

BKR inilah cikal-bakal militer RI yang dalam prosesnya sempat berganti-ganti nama, dari Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia (TRI), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), hingga kembali menjadi TNI hingga kini.

Terselip Kepentingan (Partai) Politik?

“Ada satu hal lagi yang maha penting yang harus kita kerjakan dengan segera ialah membangunkan suatu partai yang menjadi motor perjuangan rakyat dalam segala suasana dan lapangan, yaitu: Partai Nasional Indonesia,” inilah imbauan Presiden Sukarno dalam pidatonya selain seruan dibentuknya Komite Nasional dan BKR.

Imbauan ini sebenarnya agak janggal karena sebagai Presiden RI, Sukarno hanya menyerukan satu partai politik saja, yakni PNI, dalam pidato yang seharusnya ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia.

Seruan ini juga terasa kontradiktif jika dibandingkan dengan kata-kata Bung Karno sebelumnya dengan menyebut-nyebut persatuan bangsa dan dilibatkannya semua kalangan dan elemen bangsa, misalnya, untuk membentuk Komite Nasional.

Sukarno merupakan salah satu pendiri PNI pada 1927 bersama sejumlah tokoh nasionalis lainnya, seperti dijelaskan dalam buku PNI/Marhaenisme: Sedjarah Singkat & Pokok-Pokok Pendjelasan (1970). Bung Karno bahkan kemudian lekat sebagai sosok sentral di partai politik berhaluan marhaenisme dengan lambang kepala banteng ini.

Infografik Mozaik Pidato Bung Karno

Pada era pergerakan nasional atau sebelum Indonesia merdeka, PNI beberapa kali berselisih paham dengan partai-partai lain, baik yang berbeda haluan—partai Islam misalnya—maupun dengan sesama partai politik beraliran nasionalis.

Selama masa pendudukan Jepang sejak 1942, sejumlah partai politik di Indonesia vakum lantaran situasi yang tidak kondusif saat itu, termasuk PNI. Namun, tokoh-tokoh dan para pendukung partai-partai itu tentunya masih ada, termasuk mereka yang di luar “golongan nasionalis”.

Sebelum dan pada hari-hari awal pasca-proklamasi kemerdekaan pun sebenarnya masih terjadi tarik-ulur kepentingan antara kaum nasionalis macam Sukarno dengan golongan (politik) lain terkait bentuk negara, apakah negara kesatuan, federasi, bahkan negara yang berdasarkan agama (Islam).

Maka, menjadi hal yang barangkali kurang patut ketika dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI, disampaikan dalam pidato resmi pula, Bung Karno mengimbau dibangkitkannya kembali PNI yang seolah-olah bakal menjadi satu-satunya partai politik di Indonesia, tanpa mengakomodir kepentingan golongan lain.

Bahkan, dengan amat gamblang, jelas, dan tegas, Presiden Republik Indonesia Ir. Sukarno dalam pidato tanggal 23 Agustus 1945 itu menyerukan:

“Bangsaku sekalian! Sambutlah partai kita ini, dirikanlah cabang-cabangnya di mana-mana tempat di seluruh muka bumi tanah air kita setelah menerima petunjuk dan perintah kami. Petunjuk dan perintah-perintah itu akan segera kami susulkan!” (Moch Said & ‎Soekarno, Pedoman untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakjat, 1961).

Namun, pada akhirnya PNI ternyata tidak sendiri. Maklumat Nomor X yang dikeluarkan Wakil Presiden RI Mohammad Hatta pada 3 November 1945 membangkitkan partai-partai politik dari beraneka ragam haluan, juga melahirkan partai-partai baru, hingga terselenggaranya Pemilu 1955 yang diikuti oleh lebih dari 30 partai politik.

Meskipun pidato Presiden Sukarno terkait seruan tentang PNI terkesan kurang etis atau tidak adil, namun barangkali hal tersebut memang demi kepentingan bangsa dan sesuai kebutuhan atas situasi pada waktu itu. Seperti kata Bung Karno di akhir pidatonya:

“Kerjakanlah segala apa yang telah kami perintahkan dan siap-sedialah untuk menjalankan perintah-perintah yang masih akan kami berikan. Ingatlah bangsaku jang tercinta, ingatlah: Semua itu untuk kepentingan cita-cita kita bersama, ialah: Republik Indonesia Merdeka yang adil, makmur, kekal, dan abadi.”

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Politik
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan