Menuju konten utama

Yang Sesungguhnya Terjadi Saat Djarot Dihadang di Cipinang

Penolakan warga Cipinang terhadap kedatangan Djarot menyisakan detail-detail cerita yang menarik. Murni kemarahan warga ataukah ada mobilisasi?

Yang Sesungguhnya Terjadi Saat Djarot Dihadang di Cipinang
Ahok berkampanye di kawasan Cipinang, Jakarta Timur. FOTO/Ahok.org

tirto.id - Selawat berkumandang. Sesekali terdengar teriakan takbir. Bahkan menyelinap juga nyanyian Indonesia Raya. Suasana berisik. Hiruk pikuk.

Saat itu jam menunjukkan pukul 15.40 WIB. Jl. Al-Mujahidin yang tidak terlalu lebar, hanya cukup dilalui dua mobil, disesaki ratusan warga, sekitar 200an orang. Kerumunan massa berada di ujung Jl. Al-Mujahidin, menjelang perempatan yang mempertemukan dengan Jl. Jatinegara Kaum dan Jl. Persahabatan Timur.

Dari tengah kerumunan, terdengar suara teriakan yang terdengar jelas: “Pak Djarot mau pulang. Apa kalian mau dia nginap di sini? Tolong kasih jalan, minggir, Pak Djarot mau lewat."

Teriakan itu berasal dari H. Asely Hasan (60 tahun), tokoh masyarakat setempat sekaligus pemilik Yayasan Pendidikan Islam Assa'adah. Dibantu oleh Kanit Polsek Cipinang dan beberapa petugas kepolisian, Asely membantu menenangkan massa dan meminta mereka memberi jalan.

Dengan langkah tenang, dan wajah yang terlihat tersenyum, Djarot Syaiful Hidayat pun lewat. Ia ditemani 50an tim kampanye, mayoritas kader PDIP. Ada yang beratribut merah-hitam khas PDIP, ada yang berpakaian biasa alias tidak berseragam. Tak lama kemudian Djarot pun meninggalkan Cipinang dengan iring-iringan kendaraan.

Tapi ketegangan belum sepenuhnya reda. Cukup banyak simpatisan PDIP belum meninggalkan lokasi. Teriakan-teriakan mulai bermunculan. Warga bilang simpatisan PDIP ada yang meneriaki mereka ISIS, hal yang dibantah oleh pihak PDIP. Apa pun itu, tensi kembali naik.

"Kita mundur, tapi di sana juga mundur. Jangan kita mundur, dia nggak mundur," jelas Gatot Sriwidodo, Ketua RW 17, Kelurahan Cipinang.

Masing-masing tokoh dari kedua kelompok berinisiatif menenangkan massa. Sekitar jam 17.00, kerumunan massa sudah bersangsur mencair. Tidak ada bentrokan fisik yang memakan korban. Seiring pengeras suara di masjid yang mulai melantunkan suara menjelang azan Maghrib, suasana akhirnya benar-benar terkendali.

Dua Kali Pertemuan Warga

Kediaman Haji Tino agak menyolok dibanding tetangga-tetangganya. Pagar dan rumahnya lebih tinggi dari yang lain. Lantai rumahnya terbuat dari keramik berwarna cokelat. Ia pedagang daging ayam yang cukup sukses di wilayah tersebut.

Selasa pagi (15/11), Haji Tino kedatangan Suyanti, seorang anggota Dewan Kota Jakarta Timur. Tamu itu datang bersama, menurut pengakuan Tino, seorang anggota PDIP. Ia mengutarakan bahwa Djarot hendak berkampanye di wilayah Cipinang dan minta dibantu mengarahkan ke mana saja harus berkomunikasi.

“Dari rumah saya dulu, minta informasi. Terus saya arahkan ke Pak Tarjo," jelas Tino saat dihubungi Tirto, Selasa (22/11/2016).

Pak Tarjo yang dimaksud adalah Sutarjo (54 tahun), anggota Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) Cipinang. Kepada Sutarjo dijelaskan bahwa Djarot akan berkampanye di Cipinang keesokan harinya (Rabu, 16/11). Ia meminta bantuan agar kedatangan kandidat calon wakil gubernur nomor urut 2 dalam Pilkada DKI dapat dibantu.

"Saya bilangin, 'Bu, saya bukan yang punya wilayah. Yang punya wilayah RW'," jelas pria yang akrab disapa Tarjo.

Sutarjo lantas memberikan nomor telepon Ketua RW 17, Gatot Sriwidodo. Kepada Tirto, Gatot membenarkan dirinya dihubungi tim Ahok-Djarot yang mengabarkan bahwa Djarot akan berkampanye pada Rabu (16/11/2016). Dalam kampanye tersebut, Gatot diberi tahu bahwa Djarot akan mengunjungi H. Tino, salah seorang warga RT 05/RW 17, Cipinang, Jakarta Timur, yang dikenal sebagai simpatisan PDIP.

Setelah mendengar informasi tersebut, sorenya ia mengumpulkan warga guna mendengar aspirasi mereka terkait rencana kedatangan Djarot. "Mayoritas masyarakat RW 17 di sini menolak," jelas Gatot kepada Tirto di kediamannya, Jumat (18/11/2016) malam.

Pertemuan membahas kedatangan Djarot berlangsung dua kali. Pertemuan sore hari diikuti hanya oleh warga biasa RW 17. Penolakan ini disampaikan Gatot kepada H. Tino. Dari sanalah H. Tino menghubungi tim kampanye melaporkan perkembangan. Hasilnya, Djarot tidak jadi berkampanye di RW 17, tetapi hanya melintas. Rutenya pun hanya menyusuri Jalan Al Al-Mujahidin sepanjang 1,2 kilometer. Jalan inspeksi itu ternyata melintasi tiga RW yakni RW 04, RW 11, dan RW 17.

Malamnya, di Masjid Baitul Salam, Cipinang, berlangsung pertemuan kedua. Pertemuan yang berlangsung usai adzan Isya itu kembali membahas rencana blusukan Djarot. Rapat diikuti oleh para ulama setempat, tokoh masyarakat, Babinsa, Bimas, polisi, Ketua RW 11 dan 17 serta perwakilan warga RW 04. Gatot enggan menyebutkan ulama mana saja yang hadir.

H. Asely Hasan (60 tahun) menceritakan hasil rapat di Masjid Baitul Salam. Ia mengatakan mayoritas warga Cipinang, terutama Cipinang Sodong, memang menolak jika calon wakil gubernur nomor urut 2 itu mau masuk ke wilayah mereka. Pria yang dianggap sebagai tokoh masyarakat Cipinang ini menjelaskan warga menolak karena mantan Walikota Blitar itu berpasangan dengan Ahok, tersangka penistaan agama. Selain menolak kampanye Djarot, mereka juga membahas teknis pengamanan saat Djarot datang untuk blusukan.

Pernyataan ini diamini beberapa peserta. Abdul Ma'aruf (54 tahun), salah satu peserta rapat di Baitul Salam, membenarkan warga memang berniat menolak kehadiran Wakil Gubernur DKI Jakarta non-aktif itu di wilayah Cipinang. Tak hanya menolak, bahkan lebih dari itu. "Tadinya mau nyegat di sini, begitu Djarot masuk ke Jalan Al Al-Mujahidin dari Jalan Bekasi Raya Timur," tutur Ma'aruf.

Lokasi awal penghadangan itu masuk wilayah RW 04. Ma'aruf menjelaskan, ia tadinya direncanakan sebagai narahubung warga yang ingin menyampaikan penolakan terhadap Djarot. Namun, setelah ada pembicaraan antara dirinya dengan Ketua RW 04, ia menolak permintaan untuk menjadi narahubung. Hal itu terjadi karena Ketua RW 04 mempersilahkan Djarot untuk lewat Jl. Al Al-Mujahidin. Alasannya, Djarot memang hanya akan berjalan ke RW 17.

Kemunculan Spanduk-Spanduk Penolakan

Selain itu, faktor keamanan juga menjadi alasan RW 4 untuk tidak menghalangi politikus PDIP itu melintas. Ketua RW 04 khawatir akan ada bentrokan apabila terjadi penghadangan di RW 4.

Sumber Tirto yang merupakan salah satu tokoh RW 11 membenarkan pernyataan Ma'aruf. Sumber yang tidak mau disebutkan namanya itu menceritakan, para tokoh masyarakat selanjutnya lebih berpikir soal situasi keamanan.

"Kita hanya fokus di aspek keamanan, sih. Soalnya penolakan warga kuat banget," tuturnya. Ia mencemaskan kemungkinan bentrok antara warga dengan simpatisan PDIP yang juga terkenal militan.

Kecemasan soal tensi yang meningkat terbukti. Keesokan harinya, pada Rabu (16/11/2016) pagi, sudah terlihat beberapa spanduk di sekitar Cipinang, terutama di sekitar Jalan Al Al-Mujahidin dan Jalan Sodong Raya, Cipinang, Jakarta. Isi spanduk pun jelas: “Ulama, tokoh masyarakat, warga Cipinang Sodong, Cipinang menolak Ahok-Djarot penista agama Islam.”

Tidak ada keterangan yang jelas siapa yang membuat, membeli, atau memasang spanduk-spanduk itu. Tampaknya spanduk dipasang saat hari masih gelap. Sebab setidaknya pada jam 06.00 WIB, petugas Satpol PP Kelurahan Cipinang sudah melihat spanduk tersebut. Jadi spanduk pasti sudah terpasang sebelum jam tersebut.

Jumlah spanduk yang cukup banyak, diproduksi dengan cepat, dan tersebar secara massif, tentu membutuhkan gerak yang cepat. Usaha Tirto menguak siapa yang memproduksi spanduk juga menemui jalan buntu. Salah seorang warga, yang biasa dipanggil Ustad Sobur, mengaku bahwa spanduk dibuat oleh seorang kenalannya. Namun ia enggan menyebutkan siapa dan di mana si pembuat spanduk itu berasal.

Usaha Tirto mengorek keterangan dari Asely Hasan, sosok yang dituakan dan punya posisi strategis dalam kejadian ini, juga tidak membuahkan hasil. Asely enggan menjawab. Ia mengaku tidak tahu persisnya siapa, dan meminta Tirto menghubungi Sobur.

Pagi itu ketegangan sudah mulai terasa. Usaha petugas Satpol PP pun menurunkan spanduk gagal. Mereka mendapatkan perlawanan dari warga. Gatot tidak memungkiri sempat ada sedikit adu mulut antara warga dengan petugas. Akhirnya, petugas mengajak Panwaslu Kelurahan untuk membahas hal tersebut. Namun usaha menurunkan spanduk pun tetap gagal.

Sampai siang hari, spanduk penolakan tetap terbentang di Cipinang, setidaknya hingga pukul 12.00 WIB. Kabarnya sempat ada empat spanduk yang akhirnya berhasil dicopot oleh Satpol PP. Setidaknya, dalam penelusuran Tirto, ada empat lokasi di mana spanduk asih terbentang yaitu di Jalan Satu, rumah Haji Tino, Jembatan 1, dan Jalan Besar 1 di sekitar Cipinang Sodong.

Infografik HL Kekuatan Ahok-Djarot di Cipinang

Tidak Semua Warga Cipinang Menolak Djarot

Sebagai jalan inspeksi, Jl. Al Al-Mujahidin cukup panjang, sekitar 1,2 kilometer. Jalan ini menghubungkan Jl. Bekasi Timur Raya dengan Jl. Jatinegara Kaum dan Jl. Persahabatan Timur. Dan selama blusukan, Djarot berjalan dari ujung Jalan Bekasi Timur hingga Jalan Jatinegara Kaum dan Jalan Persahabatan Timur. Tak hanya itu, Jl. Al Al-Mujahidin ternyata menjadi penghubung 3 RW di Cipinang yaitu RW 4, RW 11, dan RW 17. Sejumlah toko kelontong terlihat di pinggir kiri-kanan jalan. Beberapa warga terlihat berkumpul, bercengkrama. Mereka berdialog ditemani kopi dan rokok.

Sekitar 300 meter dari Jalan Bekasi Timur Raya, Tirto menemui Hasan (38), warga RT 04 RW 04, Kelurahan Cipinang. Ia mengaku tertarik dengan Djarot. Menurut Hasan, cara Djarot blusukan menarik perhatian dirinya.

"Nggak seperti pasangan lain. Kalau pasangan lain kalau kita lihat maksudnya terlalu harus begini begitu. Jadi harus milih dia," jelas Hasan kepada Tirto di Jalan Al-Al-Mujahidin, Cipinang, Jakarta, Jumat (18/11/2016).

Ia menuturkan, kebanyakan warga di sekitar rumahnya memilih calon yang sesuai dengan keyakinan mereka. Salah satu pertimbangan mereka memilih adalah kesantunan dan kebaikan yang terlihat langsung warga. Selain itu, informasi berupa poster maupun spanduk yang dilihat warga juga mempengaruhi keputusan politik mereka.

Beberapa warga di RW 4 yang tinggal di pinggir kali tidak banyak mempermasalahkan isu penistaan agama. Apalagi, masih menurut Hasan, Djarot satu-satunya kandidat yang berkampanye dan mendatangi warga secara langsung.

"(Isu pemilihan) Kayak angin di sini mah," kata Hasan.

Hasan menambahkan, mayoritas warga yang tinggal di Cipinang merupakan keluarga besar. Tempat tinggal mereka berdekatan satu-sama-lain. Tingginya interaksi bisa mempengaruhi keluarga besar untuk memilih salah satu calon walau keputusan pencoblosan kembali ke individu masing-masing. Oleh karena itu, tidak tertutup kemungkinan warga di sekitar rumahnya akan memilih pasangan nomor urut 2 pada Februari 2017.

Tirto juga menemui Yasin yang sedang berada di sebuah bengkel sepeda. Bengkel sepeda terlihat berbeda karena tidak banyak bengkel sepeda di Jakarta. Yasin bercerita bahwa di daerah tersebut memang banyak kader partai seperti PDIP, Golkar, PKS, PPP, dan PKB.

Ia mengaku tidak mempermasalahkan Djarot berkampanye. Menurut Yasin, Djarot silahkan saja berkampanye selama dia sopan. Ia mempersilahkan mantan Walikota Blitar itu kampanye di wilayah Cipinang, tetapi memilih atau tidak pasangan nomor urut 2 kembali ke pilihan mereka.

"Kalau gak suka ya kita nggak pilih," jelas Yasin kepada tirto.

Bukan Warga Cipinang Sodong

Sobur, orang yang disebut ustad oleh beberapa warga yang ditemui Tirto, menceritakan bahwa para tokoh di wilayah itu yang bisa mengendalikan massa sehingga tidak terjadi bentrokan fisik, sebagaimana terjadi di Ciracas sehari sebelumnya yang memakan korban luka (Untuk kasus di Ciracas, baca laporan Tirto: Ada Pengurus MUI di Balik Aksi Penolakan Ahok di Ciracas). Mantan Walikota Blitar itu dilindungi oleh para ulama di kawasan tersebut dengan alasan Djarot masih punya hak untuk berkampanye.

"Kemarin kalau para ulamanya gak bijaksana berantem pasti," tutur Sobur, yang mengaku dirinya belum pantas menerima panggilan ustad. "Dia (Djarot) punya hak politik, warga punya hak untuk tidak menerima," jelas Sobur.

Apalagi ratusan warga yang berkerumun pun tidak semuanya berniat hendak menghadang Djarot. Siang itu, konsentrasi massa memang sudah terjadi. Tapi bukan semata karena faktor Ahok-Djarot. Kebetulan, di hari yang sama, anak ketiga H. Hasan, salah seorang pemuka agama di RT 03 RW 17, meninggal dunia. Banyak warga menghadiri acara pemakaman. Pemakaman berlangsung pada siang hari hingga sekitar pukul 15.00 WIB. Selesai pemakaman, sesuai kebiasaan warga, para pelayat kembali ke rumah duka. Sehingga memang ada konsentrasi massa di sana.

Saat itulah terdengar kabar Djarot sudah memulai blusukan di sekitar Jl. Al Al-Mujahidin. Gatot bersama petugas dan sejumlah tokoh masyarakat, termasuk H. Asely Hasan, pun mendatangi lokasi di mana Djarot berada. Mereka berjalan sekitar 6 rumah dari Jl. Al Al-Mujahidin.

Begitu tiba di perbatasan RT 03/RW 17 dan RT 04/RW 17, warga RW 17 sudah memenuhi jalan. Massa yang diperkirakan antara 300-500an orang itu pun akhirnya menghalangi langkah Djarot yang sedang bergerak keluar.

"Sampai di sini (menjelang jalan raya) menumpuk (warga), nggak bisa jalan. Jadi posisi saya sampai di sini (dekat tempat kampanye)," kata Asely kepada Tirto, Sabtu (19/11/2016).

Asely meluruskan bahwa tidak ada warga yang menghadang acara kampanye Djarot di Cipinang. Warga tidak menghadang jalan, tetapi warga yang menolak kehadiran Djarot memang memenuhi Jalan Al Al-Mujahidin. Ia mengaku, hampir mayoritas warga RW 17 dan beberapa warga lain keluar sementara jalan tersebut hanya sekadar jalan inspeksi sebesar 3 meter. Keramaian semakin bertumpuk lantaran kepolisian ikut memenuhi jalan disertai rombongan simpatisan PDIP. Jalan semakin sempit dan semakin sulit untuk diterobos Djarot.

Gatot selaku Ketua RW juga membenarkan pernyataan Asely tentang kerumunan warga yang sesungguhnya tidak terkoordinir. Ia menegaskan, warga yang berkerumun adalah warga Sodong. Kebanyakan pun anak muda. Namun, saat ditanya massa yang menemani Djarot, ia menggelengkan kepala.

"Mereka bukan orang Sodong," jelas Gatot.

Baca juga artikel terkait PENOLAKAN AHOK-DJAROT atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Indepth
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zen RS