Menuju konten utama

Yang Sama & Serupa dalam Survei Pilpres 2014 dan 2019

Yang sama: mayoritas survei menunjukkan Jokowi unggul dari Prabowo, yang serupa: ada saja lembaga survei yang hasilnya berbeda dari yang lain. 

Yang Sama & Serupa dalam Survei Pilpres 2014 dan 2019
Pendiri Alvara Research Center Hasanuddin Ali menyampaikan paparan hasil survei terkait Pilpres 2019 di Jakarta, Jumat (11/1/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/nz.

tirto.id - Pada Pilpres 2014 lalu, stasiun televisi nasional TVOne ramai dibicarakan masyarakat. Sebabnya, hasil hitung cepat yang mereka tayangkan berbeda dari sebagian besar lembaga survei lain.

Slogan mereka, "Memang Beda", lantas jadi bahan olok-olok.

Mereka menampilkan hasil hitung cepat Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis). Ketika itu Puskaptis memenangkan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, sedangkan survei lain Joko Widodo-Jusuf Kalla--yang kemudian diputuskan Komisi Pemilihan Umum sebagai pemenang Pilpres 2014.

Ketika itu Aburizal Bakrie, penguasa TvOne, menjabat sebagai pimpinan Partai Golkar yang mendukung Prabowo-Hatta.

Sebelum hari pencoblosan, Puskaptis juga menyampaikan hasil survei yang berbeda dari yang lain. Survei yang dilakukan pada 23-27 Juni 2014 (Pilpres 2014 diselenggarakan pada 9 Juli 2014) itu menyebut Prabowo-Hatta unggul dengan angka 43,68 persen, sedangkan Jokowi-JK hanya meraih 40,83 persen suara.

Sebagai pembanding, Survei Saiful Mujani Research Center (SMRC) menunjukkan bahwa elektabilitas Jokowi-JK pada Maret 2014 sebesar 57,7 persen, unggul 34,6 persen dari pasangan Prabowo-Hatta yang elektabilitasnya hanya sebesar 23,10 persen.

Kemudian, pada April 2014, elektabilitas Jokowi-JK turun jadi 50,80 persen. Angkanya terus menukik hingga mencapai 47,60 persen pada periode 30 Juni-3 Juli 2014. Sebaliknya, elektabilitas Prabowo-Hatta terus meningkat hingga satu bulan sebelum hari pemilihan presiden.

Meski tren keduanya bertolak belakang, elektabilitas Jokowi-JK tidak pernah berada di bawah Prabowo-Hatta. Pun dengan survei lain.

Survei Indikator Politik Indonesia periode 20-26 April 2014 misalnya, menyebut elektabilitas Jokowi-JK sebesar 51 persen, sementara Prabowo-Hatta 32,4 persen. Sementara survei Poltracking periode 26 Mei-3 Juni 2014 menyebut angka elektabilitas Jokowi 48,50 persen, dan Prabowo-Hatta 41,1 persen.

Di kemudian hari dewan etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) mengeluarkan Puskaptis, juga beberapa lembaga lain, dari keanggotaan karena melanggar kode etik. Mereka, misalnya, enggan membuka metodologi survei.

"Kalau prosesnya ilmiahnya saja mereka tidak mau buka, bagaimana kita percaya dengan hasilnya?" kata anggota Dewan Etik Persepi, Hamdi Muluk, seperti dikutip dari BBC.

Menanggapi pemecatan ini, Ketua Puskaptis Husin Yazid menuding balik dengan bilang kalau para tim auditor tidak netral. Mereka dituduh punya orientasi ke Jokowi-JK, yang ketika itu mendapat nomor urut 2. Ia pun merasa tak masalah jika Puskaptis dikeluarkan dari asosiasi. Dia bisa membikin lembaga baru.

"Apa ruginya buat saya?" katanya.

Terulang

Apa yang terjadi pada 2014 lalu terulang tahun ini. Sebagian besar survei Jokowi, yang kini berpasangan dengan Ma'ruf Amin, unggul dari Prabowo yang sekarang didampingi pengusaha muda Sandiaga Uno.

Selisih keduanya rata-rata hingga belasan persen. Di antara sekian banyak survei itu, yang selisihnya paling kecil adalah survei dari Litbang Kompas: 11,8 persen. Survei Litbang Kompas menunjukkan hasil Jokowi-Ma'ruf Amin 49,2 persen dan Prabowo-Sandiaga 37,4 persen di periode akhir Februari sampai awal Maret 2019.

Survei lain dari Indikator Politik mencatat Jokowi-Ma'ruf unggul 55,4 persen, sementara Prabowo-Sandi 37,4 persen. Sedangkan Charta Politika menyebut elektabilitas petahana 53,6 persen, sementara Prabowo-Sandi hanya 35,4 persen.

Hanya ada beberapa survei yang menunjukan Prabowo-Sandiaga menang. Dan itu, seperti yang terjadi pada 2014, berasal dari lembaga yang diragukan kredibilitasnya: Puskaptis dan Precision Public Policy Polling (PPPP).

Puskaptis mencatat angka elektabilitas Prabowo-Sandi sebesar 47,59 persen, sementara Jokowi-Ma'ruf 45,37 persen. Sementara PPPP, yang mengklaim berasal dari Amerika Serikat, menyebut 51 orang akan memberikan suaranya pada Prabowo-Sandiaga, sementara untuk petahana hanya 36 persen. Sisanya belum menentukan pilihan.

Hamdi Muluk tak tahu apa itu PPPP. Ia bahkan menyebut lembaga ini dengan istilah "tibad" alias "tiba-tiba ada." Tim riset Tirto, setelah melakukan penelusuran, berkesimpulan kalau ini "survei janggal, lembaganya tak jelas."

Satu lagi yang menyebut Prabowo-Sandiaga menang adalah survei internal Badan Pemenangan Nasional (BPN). Hasil survei BPN menyebut elektabilitas Prabowo-Sandiaga 62 persen dan Jokowi-Ma'ruf 38 persen.

Namun kualitas survei ini dengan survei yang dilakukan lembaga kredibel jelas berbeda. Ia lebih tepat disebut sebagai taktik untuk menggiring opini saja, alih-alih menggambarkan apa yang terjadi di masyarakat.

"Itu untuk mereka sendiri. Untuk stimulus mereka sendiri. Mereka bicara untuk mereka sendiri. Agar apa? Agar mesin politik mereka bekerja dengan maksimal," kata Pengajar ilmu politik dan pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, Arya Budi, kepada reporter Tirto, Februari lalu.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino