Menuju konten utama

Yang Perlu Dilakukan Jokowi atau Prabowo Agar Ekonomi Tumbuh 7%

Capaian pertumbuhan ekonomi sebesar 5,17 persen adalah yang tertinggi sejak Jokowi terpilih sebagai Presiden ke-7 RI, pada 2014.

Yang Perlu Dilakukan Jokowi atau Prabowo Agar Ekonomi Tumbuh 7%
Kapal tunda melintas di dekat kapal yang melakukan bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (23/7). Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2018 akan berada pada 5,1 persen (year on year/yoy) atau bias bawah sasaran Bank Sentral di 5,1-5,5 persen karena penurunan kontribusi dari kinerja ekspor. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Pertumbuhan ekonomi 2018 yang mencapai 5,17 persen disambut baik pemerintah. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menilai angka ini sudah terprediksi sejak beberapa bulan sebelumnya, bahkan ia mengklaim negara lain mengapresiasi Indonesia.

Sebab, kata Enggar, Indonesia dinilai menjadi salah satu negara yang mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, di tengah ketidakstabilan perekonomian dunia. Akan tetapi, kata dia, pemerintah akan terus menggenjot ekspor untuk mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi lagi.

“Kami bisa mencapai target yang sudah disampaikan pak Presiden. Pak Presiden juga selalu tekankan untuk dorong investasi dan ekspor,” kata Enggar menanggapi rilis Badan Pusat Statistik (BPS) terkait pertumbuhan ekonomi sepanjang 2018.

Pernyataan Enggar tidak berlebihan bila mengacu pada data BPS soal pertumbuhan ekonomi selama pemerintahan Jokowi-JK. Sebab, capaian 5,17 persen adalah yang tertinggi sejak Jokowi terpilih sebagai Presiden ke-7 RI, pada 2014.

Data BPS menunjukkan, pada 2014 pertumbuhan ekonomi hanya 5,01 persen. Bahkan capaian ini turun drastis pada tahun berikutnya, yaitu 4,88 persen. Angka ini pelan-pelan membaik sejak 2016 (5,05 persen) dan 2017 tercatat (5,07 persen).

“Pertumbuhan ekonomi pada 2018 mencapai 5,17 persen, ini angka yang bagus sekali. Terbaik sejak 2014 yang hanya 5,01 persen,” kata Kepala BPS Suhariyanto, di kantor BPS Pusat, Jakarta, Rabu (6/2/2019).

Namun, capaian ini mendapat sorotan karena masih jauh dari janji Jokowi saat debat capres sesi II, di Hotel Gran Melia, Jakarta, pada 15 Juni 2014. Saat itu, Jokowi meyakini ekonomi Indonesia bisa tumbuh 7 persen jika terpilih.

Dalam nota keuangan RAPBN 2015 (PDF), pemerintah bahkan menargetkan pertumbuhan ekonomi periode 2016 hingga 2018 bergerak pada kisaran 6,3 persen hingga 7,8 persen dengan kecenderungan terus meningkat.

Sayangnya, setelah empat tahun berkuasa, untuk menggapai target 7 persen tak hanya sulit, tapi mustahil, setidaknya hingga awal 2019.

Anggota Juru Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Ramson Siagian mengklaim timnya telah mengetahui jika pertumbuhan ekonomi selama 2018 tak akan mencapai target 7 persen dari yang dijanjikan Jokowi.

“Kalau pertumbuhan ekonomi dari 2015 sudah diestimasi tidak akan tercapai [target]. Jangankan 7 persen, 5,5 persen saja tidak akan tercapai,” ucap Ramson kepada reporter Tirto usai diskusi bertajuk 'Tinjauan Ekonomi Batu Bara vs Energi Terbarukan, Bagaimana Kebijakan Presiden Terpilih' di Hotel Le Meridien, Jakarta, Kamis (7/2/2019).

Ramson berkata, hal itu tercermin dari sejumlah kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi. Salah satunya, sejumlah kebijakan yang totalnya mencapai 16 paket.

“Paket-paket kebijakan non fiskal itu memang kurang efektif,” kata Ramson.

Target 7 Persen Bisa Dicapai dengan Syarat

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai target pertumbuhan ekonomi 7 persen yang dicanangkan Jokowi di awal pemerintahannya sebenarnya cukup realistis dan dapat dicapai.

Sebab, kata Piter, kendati perekonomian global tengah bergejolak, tapi negara-negara lain seperti Filipina, Vietnam yang masih berada dalam lingkup ASEAN, ekonominya masih mampu tumbuh di angka 6 persen.

“Target 7 persen di awal pemerintahan Jokowi itu realistis sebenarnya. Bukan target yang mengada-ngada,” kata Piter saat dihubungi reporter Tirto.

Namun, Piter mafhum jika target itu tak kunjung tercapai hingga di penghujung tahun pemerintahan Jokowi.

Sebab, ia menilai pemerintah belum memiliki rencana jelas untuk mencapainya. Target pertumbuhan ekonomi di angka 7 persen seolah-olah hanya dicantumkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tanpa peta jalan yang jelas.

Selain faktor eksternal, Piter menyoroti kebijakan industri dan perdagangan yang tidak banyak berubah dari pemerintah sebelumnya. Salah satunya adalah suku bunga yang masih tinggi sehingga mempersulit peminjaman modal usaha dan proses perizinan yang belum semudah yang digaungkan.

Selain itu, kritik Piter juga diarahkan pada kebijakan pemerintah yang belum mampu mendorong investasi lebih banyak.

Dari hasil wawancara yang dilakukan lembaganya, kata Piter, pemerintah belum menyentuh persoalan penghambat investasi seperti inkonsistensi kebijakan, perburuhan, dan masalah pembabasan lahan, serta koordinasi pusat dan daerah.

“Pemerintah hanya mencantumkan, tapi enggak ada konsep mewujudkannya. Enggak pergi ke mana-mana. Begitu enggak tercapai, baru bilang sulit ya itu,” kata Piter.

Sementara ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Muhammad Nawir Messi mengatakan Indonesia harus menarik investasi jauh lebih besar dari capaian pada 2018 agar pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 7 sampai 7,5 persen.

“Indonesia sudah masuk pada negara berpendapatan menengah. Kalau ingin tumbuh di atas 7 atau 7,5 persen, maka kira-kira membutuhkan tambahan investasi sebesar Rp1.481 triliun atau tumbuh 43,03 persen dibanding 2018,” kata Nawir, Kamis (7/2/2019).

Dia memaparkan analisisnya itu dalam diskusi "Tantangan Mendorong Pertumbuhan dan Menarik Investasi di Tahun Politik" di Gedung Nafaro, Pejaten Timur, Jakarta Selatan.

Nawir mengatakan, selama 2011-2018, porsi investasi dalam PDB cenderung meningkat. Namun, investasi di Indonesia belum efisien. Sebab, Incremental Capital Output Ratio (ICOR) atau rasio antara investasi di tahun yang lalu dengan pertumbuhan output tercatat tidak terlalu membaik.

"Kalau dibandingkan dengan negara kawasan [investasi di Indonesia] tidak efisien, apalagi kita bandingkan dengan Malaysia, Vietnam," ujar Nawir.

"ICOR Indonesia dari 2011-2015 itu memburuk, 2015-2018 ada perbaikan, meski kecil. Secara regional, kalau kita lihat daerah-daerah yang tenaga kerjanya mahal, itu ICOR- nya tinggi, daerah-daerah yang baru berkembang ICOR nya justru kecil,” kata dia.

PR untuk Jokowi atau Prabowo

Catatan ini tentu tidak hanya berlaku untuk pemerintah Jokowi-JK saat ini. Sebab, siapa pun yang terpilih pada Pilpres 2019 akan menghadapi tantangan yang tidak jauh berbeda, baik Jokowi sebagai petahana maupun Prabowo Subianto sebagai penantang.

Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Arif Budimanta menyatakan capaian tersebut harus dimaklumi. Dia beralasan faktor eksternal selama ini membuat ekonomi dalam negeri melambat.

Budimanta mencontohkan pertumbuhan ekonomi negara maju, seperti Cina, Amerika hingga Jepang yang juga mengalami pelambatan. Dana Moneter Internasional (IMF), kata dia, bahkan merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara dunia ke angka yang lebih rendah.

Selain itu, kata Budimanta, permintaan dari negara-negara tujuan ekspor Indonesia juga menurun. Akibatnya, kata dia, pemerintah mau tidak mau harus mencari pasar baru.

Namun, Arif mengatakan kubunya tetap optimistis target pertumbuhan ekonomi 7 persen dapat tercapai. Dia mengklaim pemerintah Jokowi akan berupaya mendorong pertumbuhan dengan peningkatan investasi pada kisaran 5-10 persen setahun.

Dalam rangka meningkatkan konsumsi rumah tangga di angka minimal 5 persen, ia menilai investasi yang dilakukan juga perlu menyasar pasar dalam negeri. Dalam hal ini, ia mengatakan dampaknya harus lebih banyak menciptakan lapangan pekerjaan.

Menurut Arif, kendati perekonomian global sedang bergejolak, penguatan ekonomi domestik dapat mengerek pertumbuhan sesuai target Jokowi.

“Dalam 2-3 tahun ke depan, kalau itu bisa dilakukan konsisten maka pertumbuhan ekonomi 7 persen enggak mustahil. Faktor eksternal bisa kita terobos kalau domestiknya kuat,” ujar Arif.

Sebaliknya, Juru Debat BPN Prabowo Sandiaga, Ramson Siagian mengatakan hingga saat ini kubunya belum menyebut angka yang dipatok secara resmi. Ia juga mengklarifikasi pernyataan Rizal Ramli yang menyebut pertumbuhan ekonomi 8 persen jika Prabowo terpilih.

“Pak Prabowo belum sebut angka. Itu baru Rizal Ramli,” kata Ramson kepada reporter Tirto.

Kendati demikian, Ramson optimistis bila angka 8 persen yang diungkapkan Rizal Ramli dapat dicapai. Hanya saja, kata dia, pasangan calon Prabowo-Sandi akan memerlukan sejumlah tahapan untuk mencapai target itu.

Saat dikonfirmasi ulang, Rizal Ramli mengatakan jawaban mengenai realisasi dan langkah-langkah Prabowo-Sandiaga untuk mencapai angka pertumbuhan ekonomi 8 persen baru akan dijawabnya usai debat.

“Maaf, baru akan dirilis [informasinya] sebulan lagi,” kata Rizal Ramli ketika dihubungi reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Abdul Aziz