Menuju konten utama

Yang Perlu Dilakukan Jokowi agar Tak Diingat sebagai 'Pembunuh' KPK

Jokowi dinilai semestinya menerbitkan Perppu sebagai solusi dari revisi UU KPK yang telah disahkan DPR.

Yang Perlu Dilakukan Jokowi agar Tak Diingat sebagai 'Pembunuh' KPK
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Kepala Staf Kepresiden Moeldoko (kiri) dan Mensesneg Pratikno (kanan) menyampaikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc.

tirto.id - Aksi massa menentang revisi UU KPK dan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) kontroversial seperti RKUHP, RUU Pemasyarakatan (PAS), RUU Pertanahan, hingga RUU Minerba pecah di berbagai kota sejak Senin 23 September. Empat RUU ini pengesahannya memang ditunda, tapi UU KPK sudah terlanjur direvisi.

Penundaan pengesahan RUU kontroversial yang diminta Presiden Joko Widodo itu diputuskan DPR melalui rapat paripurna yang digelar Selasa (24/9/2019).

Terhadap revisi UU KPK, Jokowi sebetulnya bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang isinya lebih mengakomodasi suara masyarakat sipil dan benar-benar menguatkan KPK. Tapi Jokowi enggan melakukan itu.

Keengganan Jokowi ini, menurut peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, adalah bukti bahwa Presiden ke-7 Indonesia itu memang benar-benar punya komitmen minimalis memberantas korupsi.

“KPK sejak awal [didirikan, tahun 2002] ditekankan sebagai garda utama dalam pemberantasan korupsi dan sepertinya Pak Jokowi tidak memandang itu sebagai insturmen hukum penting dalam membangun negara,” kata Kurnia kepada reporter Tirto, Selasa (24/9/2019).

UU KPK versi revisi menyimpan sejumlah masalah. Misalnya, Pasal 29 huruf e yang menyatakan pimpinan KPK harus berusia "paling rendah 50 dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan."

Masalahnya, peraturan baru ini berpotensi menjegal salah satu calon pimpinan KPK periode 2019-2023 Nurul Ghufron. Sebab, Ghufron yang lahir pada 22 September 1974 usianya belum genap 50 tahun.

Selain itu, ada pula potensi lumpuhnya penindakan oleh KPK karena status komisioner yang dipreteli. Dalam UU KPK versi revisi, status komisioner bukan lagi penyidik dan penuntut umum. Akibatnya, pimpinan tak bisa lagi memerintahkan penetapan tersangka atau upaya paksa, misalnya penyadapan, dalam penegakan hukum .

Satu poin lagi yang paling disorot adalah keberadaan badan baru bernama Dewan Pengawas KPK, yang diberi kewenangan memberi izin penyadapan. Bagi sebagian orang, dengan mekanisme demikian, informasi tentang penyadapan sangat rawan bocor.

ICW mengatakan setidaknya ada 15 poin dalam revisi UU KPK yang berpotensi melemahkan komisi antirasuah.

Karena itu, kata Kurnia, ICW berharap Jokowi mau mendengar masukan publik yang mengemuka dalam dua hari terakhir ini. Sebab, ia khawatir penolakan Jokowi untuk menerbitkan Perppu itu justru akan jadi 'bensin' yang membuat aksi massa makin besar.

“Kalau melihat statement Pak Jokowi yang sudah tegas menyatakan tidak akan mengeluarkan Perppu, ya ini [aksi massa] merupakan ekspresi yang wajar yang dilakukan publik,” kata Kurnia.

Usai bertemu dengan pimpinan DPR di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin, 23 September lalu, Jokowi menyampaikan tidak ada rencana menerbitkan Perppu untuk menggantikan UU KPK yang sudah direvisi.

Sementara terhadap RKUHP dan RUU kontroversial lain, Jokowi tegas meminta DPR menunda pengesahannya.

Jokowi berdalih ia tak bisa mengeluarkan Perppu untuk UU KPK versi revisi karena beleid itu diusulkan DPR. “Yang satu itu [revisi UU KPK] inisiatif DPR. Ini [RUU lainnya] pemerintah aktif karena memang disiapkan oleh pemerintah,” kata Jokowi.

Pakar hukum tata negara dari Sekolah Hukum Jentera Bivitri Susanti menilai Jokowi salah paham. Menurut dia, tak ada satu pun ketentuan yang melarang presiden mengeluarkan Perppu atas RUU yang diusulkan DPR.

Menurut Bivitri, Pasal 22 UUD 1945 hanya membatasi Perppu dikeluarkan pada hal ihwal atau keadaan genting yang mendesak. Karena itu, Jokowi diharapkan masih mau mendengar suara publik dan meralat pernyataannya itu.

Bivitri pun memperingatkan Jokowi yang saat ini mulai ditinggalkan pemilihnya. Hal itu bisa dilihat dari latar belakang anak muda yang turun aksi pada dua hari terakhir.

Selain itu, kata Bivitri, jika Jokowi tidak membatalkan revisi UU KPK, maka itu akan jadi titik awal yang buruk bagi kepemimpinannya pada periode kedua.

"Jadi [Jokowi] akan tercatat di dalam sejarah sebagai orang yang mewariskan KPK yang tidak ada gunanya," kata Bivitri kepada reporter Tirto.

Penerbitan Perppu untuk membatalkan UU juga pernah dilakukan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pada 2014, DPR sempat menyepakati UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu poin dalam peraturan itu ialah menghapus pemilihan kepala daerah secara langsung oleh warga dan dipilih DPRD.

SBY meresponsnya dengan menerbitkan dua Perppu, kata Bivitri. Sama seperti sekarang, ketika itu rancangan aturan ini diprotes masyarakat. Legislatif dianggap hendak membawa Indonesia kembali ke masa Orde Baru.

“Jadi pola yang sama masih jadi jalan keluar terbaik,” katanya.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah enggan berkomentar banyak soal penolakan Jokowi menerbitkan Perppu. Menurutnya, KPK sejak awal memang tidak menuntut itu.

“Pengajuan surat Perppu itu muncul dari teman-teman mahasiswa dan masyarakat yang berharap ada proses koreksi terhadap rancangan undang-undang yang telah dibahas dan disahkan dalam waktu cepat tersebut," kata Febri di KPK, Kuningan, Jakarta, Senin (23/9/2019) malam.

Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan HAM, Jaleswari Pramodhawardani juga enggan menanggapi banyak soal kemungkinan Jokowi menerbitkan Perppu.

“Sampai hari ini apa yang disampaikan presiden belum berubah,” kata dia saat dihubungi pada Rabu (25/9/2019).

Baca juga artikel terkait REVISI UU KPK atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz