Menuju konten utama

Yang Perlu Dilakukan Indonesia dalam Perang Dagang AS-Cina

Ekonom dari Indef menyarankan, pemerintah menerapkan bea masuk anti-dumping atau non-tariff barrier untuk mengendalikan impor yang dapat membanjiri Indonesia sebagai peralihan pasar Cina maupun AS yang bersitegang.

Yang Perlu Dilakukan Indonesia dalam Perang Dagang AS-Cina
ILUSTRASI. Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dollar AS di Jakarta, Senin (2/7/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina tak bisa lagi dicegah. Presiden AS, Donald Trump bahkan sejak 6 Juli kemarin mulai memberlakukan kenaikan tarif impor untuk produk dari Cina senilai 34 dolar AS miliar. Besaran tarif impor yang dikenakan sebesar 25 persen.

Kebijakan kontroversial itu bermula dari keinginan AS di bawah kepemimpinan Donald Trump yang ingin menurunkan defisit neraca perdagangan dari berbagai negara dunia, khususnya Cina. Pemerintah AS mengklaim defisit neraca dagang hingga 375 miliar dolar AS dengan Cina.

Perang dagang antara AS dengan Cina itu bakal berdampak pada perekonomian global. Penyebabnya tak lain karena keduanya sama-sama merupakan negara besar yang memiliki peranan maupun kebijakan penting dalam memengaruhi perekonomian dunia. Tak terkecuali bagi Indonesia.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengatakan, ancaman perang dagang tersebut perlu terus dicermati pemerintah. Alasannya, karena ketegangan perdagangan antara kedua negara itu akan berdampak buruk secara umum. Tidak hanya bilateral AS-Cina, tetapi juga pertumbuhan ekonomi dunia.

“Karena perang dagang atau ketegangan antara kedua negara itu akan menurunkan ekspor dan impor. Dan juga pertumbuhan kedua negara itu kemudian akan merambat juga ke negara-negara lain,” kata Perry, di kantor Kemenko Perekonomian Jakarta, Senin (9/7/2018).

Perry menambahkan, perang dagang juga akan berpengaruh terhadap sektor keuangan negara dalam beberapa hal, seperti defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD), karena adanya respons terhadap kebijakan moneter AS berupa kenaikan suku bunga acuan (Fed Fund Rate) yang agresif. Sehingga, kata dia, berakibat risiko di pasar keuangan juga tinggi. “Dan itu membuat penarikan modal negara-negara berkembang termasuk Indonesia,” kata Perry.

Melihat situasi itu, sejumlah menteri ekonomi kabinet kerja pun melakukan rapat terbatas dengan Presiden Jokowi, di Istana Bogor, Senin (9/7/2018). Rakor dengan presiden yang membahas strategi menghadapi efek domino dari perang dagang AS-Cina itu sebagai tindak lanjut dari pertemuan Minggu malam (8/7/2018) yang dihadiri para menteri ekonomi dan kepala lembaga negara, di kantor Kemenko Perekonomian.

Yang Perlu Dilakukan Pemerintah

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, dalam konteks ini, pemerintah dapat menerapkan bea masuk anti-dumping (BMAD) atau non-tariff barrier (NTB) untuk mengendalikan impor yang dapat membanjiri Indonesia sebagai peralihan pasar Cina maupun AS yang bersitegang.

Menurut Bhima, Non-Tariff Measures (NTM) atau Non-Tariff Barrier (NTB) yang tergolong masih rendah mengakibatkan barang impor bebas masuk ke Indonesia. “Tapi tetap harus hati-hati, jangan sampai blunder ke pengusaha dalam negeri yang butuh impor bahan baku, sementara substitusi impornya belum bisa memenuhi kebutuhan,” kata Bhima kepada Tirto, Senin (9/7/2018).

Selain industri yang membutuhkan bahan baku impor, kata Bhima, penyebab impor bengkak adalah proyek infrastruktur yang sedang dikerjakan BUMN. Indikasinya, impor mesin dan mekanik tumbuh 31,9 persen (year on year/yoy) selama Januari-Mei 2018. Impor mesin dan peralatan listrik naik 28,16 persen (yoy) dan besi baja 39 persen (yoy).

“Kalau mau mengurangi impor kewajiban TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) proyek infrastruktur disarankan menjadi 60-70 persen. Atau proyek infrastrukturnya kembali dirasionalisasi karena sekarang trade off mau mengembalikan posisi neraca dagang menjadi surplus atau proyek infrastruktur segera rampung. Enggak bisa pilih dua-duanya,” kata Bhima.

Infografik CI Dampak Perang Dagang

Terkait Evaluasi GSP AS kepada Indonesia

Sikap proteksionisme Donald Trump yang agresif terhadap perdagangan AS menyulut perang dagang internasional dan belum lama ini membidik Indonesia. Trump mengevaluasi 124 produk Generalized System of Preference (GSP) AS ke Indonesia.

Berdasarkan catatan terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari hingga Mei 2018, neraca perdagangan non-migas Indonesia terhadap AS mengalami surplus sebesar US$ 3,56 miliar. Sementara bagi AS, angka tersebut menunjukkan defisit negara.

Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita mengatakan, pemerintah telah berencana melakukan dialog bilateral dengan AS terkait hubungan dagang. Salah satu hal khusus yang akan dibahas mengenai langkah evaluasi pemerintah AS terhadap 124 produk GSP AS ke Indonesia. Dialog dilakukan sebelum mengambil sikap lanjutan.

“Lagi diatur jadwalnya,” kata Enggar, usai pertemuan di kantor Kemenko Perekonomian, Minggu malam (8/7/2018).

Hal tersebut juga diungkapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Oke Nurwan, pada Senin (9/7/2018). Menurut dia, kemungkinan pertemuan itu akan dilaksanakan pada akhir Juli oleh tim yang akan dibentuk pemerintah.

“Kemungkinan akhir Juli berangkatnya. Tapi, yang lain saya belum bisa sampaikan yang kaitannya di GSP, yang akan di-review itu. Kami sudah memutuskan akan kirim tim,” kata Oke.

Oke mengatakan, jika GSP dicabut, maka produk Indonesia ke AS bisa kurang kompetitif. “Itu ada [hitungannya], tapi enggak boleh saya yang sampaikan," kata Oke. Angkanya yang jelas, kata Oke, memengaruhi 10 persen dari produk ekspor Indonesia.

Langkah itu sebagai respons pemerintah terhadap kebijakan AS yang mengevaluasi GSP untuk Indonesia terhadap 124 produk ekspor, meliputi tekstil, kapas, dan beberapa hasil perikanan, seperti udang dan kepiting. GSP merupakan kebijakan perdagangan suatu negara yang memberikan manfaat pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor dari negara yang memperoleh manfaat GSP.

Sesuai dengan ketentuan World Trade Organization (WTO), kebijakan GSP merupakan kebijakan perdagangan sepihak (unilateral) yang umumnya dimiliki oleh negara maju untuk membantu perekonomian negara berkembang. Namun, kebijakan ini tidak bersifat mengikat negara yang memberikan GSP maupun negara yang menerima manfaat GSP.

Negara yang memiliki program GSP memiliki diskresi untuk menentukan negara mana dan produk apa yang akan memperoleh manfaat GSP dari negaranya. Hingga saat ini, Indonesia memperoleh manfaat GSP dari beberapa negara, seperti AS, Uni Eropa, dan Australia.

Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin Indonesia, Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, GSP AS masih diperlukan oleh pengusaha dalam negeri agar produk dalam negeri tetap bisa kompetitif. Menurut Shinta, GSP ini tidak hanya menguntungkan bagi Indonesia, melainkan bagi AS juga.

“Secara keseluruhan kami menganggap proses review kelayakan Indonesia untuk tetap memperoleh GSP AS sebagai suatu proses yang penting untuk menjaga hubungan perdagangan strategis Indonesia-AS yang saling menguntungkan,” kata Shinta.

Sebab, selain membantu daya saing beberapa produk ekspor Indonesia, Shinta menilai, hal itu juga dibutuhkan oleh pelaku usaha dan konsumen AS. GSP AS untuk Indonesia memungkinkan pelaku usaha AS, khususnya UKM di AS, dan konsumen di AS memperoleh barang konsumsi dan input produksi yang berkualitas dengan harga terjangkau yang diekspor oleh Indonesia.

“Kami juga menyakini bahwa GSP AS untuk Indonesia juga mengurangi ketergantungan AS terhadap impor dari negara lain melalui diversifikasi impor dan turut menjaga persaingan dagang yang sehat di AS,” kata Shinta.

Sementara itu, ekonom dari Indef, Bhima Yudhistira mengatakan, evaluasi yang memungkinkan 124 GSP AS untuk Indonesia dicabut kecil. Sebab, kata dia, hal itu dapat menyulut Indonesia melakukan perang dagang dengan AS.

Perang dagang artinya ada retaliasi atau pembalasan dari negara lainya. Misalnya, kata Bhima, AS akhirnya menerapkan tarif yang lebih tinggi bagi barang asal Indonesia. Lalu pemerintah Indonesia membalas dengan menaikkan tarif tinggi produk ekspor AS, seperti kedelai, gandum, dan pesawat terbang.

"Tapi saya ragu Indonesia berani ambil langkah retaliasi dagang mengingat ketergantungan impor dari AS khususnya bahan pangan cukup tinggi,” kata Bhima.

Menurut Bhima, bila pemerintah Indonesia melakukan retaliasi alias pembalasan dagang dengan naikkan tarif bea masuk produk asal AS, maka efeknya adalah kenaikan harga bahan kebutuhan pokok.

Berdasarkan data BPS tahun 2017, misalnya, Bhima menyebut bahwa per tahun Indonesia mengimpor kedelai segar dan olahan hingga 6,9 juta ton. Gandum, Indonesia impor dari AS dengan volume sebesar 1,1 juta ton per tahun. Sedangkan, impor kedelai asal AS mencapai 2,6 juta ton atau 37 persen total impor kedelai.

"Bahan baku kedelai harganya naik pasti harga tempe tahu akan naik juga. Gandum juga sama, sebagai bahan baku mie instan. Intinya yang akan terpukul pertama kali adalah kelompok masyarakat miskin," kata Bhima.

Baca juga artikel terkait PERANG DAGANG atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz