Menuju konten utama

Yang Dikhawatirkan dari Langkah Pansel KPK Undang Personel Polri

Langkah Pansel KPK undang personel Polri menjadi komisioner KPK dinilai salah jalan dan kontraproduktif. Sebab menurut ICW nilai Polri dalam Survei Penilaian Integritas (SPI) rendah.

Yang Dikhawatirkan dari Langkah Pansel KPK Undang Personel Polri
Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan (kanan) bersama Ketua Pansel calon pimpinan KPK Yenti Garnasih (kedua kanan) dan anggota memberi keterangan kepada wartawan seusai pertemuan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (12/6/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.

tirto.id - Panitia seleksi (pansel) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemui Kapolri Jendral Tito Karnavian. Pansel bermaksud mengundang personel Polri mengikuti seleksi calon komisioner KPK periode 2019-2023.

"Kami mengundang calon-calon dari polisi untuk mendaftar," kata Ketua Pansel KPK Yenti Ganarsih di Mabes Polri, Kamis (13/6/2019).

Alasan Yenti mengundang aktif personel polri mengikuti seleksi adalah: "Di dalam undang-undang itu jelas disampaikan bahwa komisioner KPK terdiri dari unsur pemerintah dan unsur masyarakat. Unsur pemerintah, di antaranya penegak hukum."

Ajakan Yenti mendapat sambutan positif Tito. Ia mengatakan telah sudah ada sedikitnya delapan anggota korps Bhayangkara untuk menempati posisi pimpinan KPK.

"Sudah ada beberapa nama yang menyampaikan keinginannya (ke Biro Asisten Sumber Daya Manusia) untuk maju, ada delapan orang. Tapi masih terbuka kesempatan, karena pembukaan dari 17 Juni sampai 4 Juli, masih ada waktu," kata Tito.

Tito bilang masuknya personel Polri ke institusi KPK akan memperkuat sinergitas kedua lembaga. Apalagi, kata Tito, Polri juga memiliki jaringan nasional dan direktorat penanganan pemberantasan korupsi.

Namun ajakan Yenti dan harapan Tito tak menihilkan kritik. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana justru khawatir masuknya personel Polri ke posisi pimpinan KPK justru malah akan membuat kerja lembaga anti rasuah itu melempem.

"Jika pimpinan KPK ke depan berasal dari institusi penegak hukum tertentu, bagaimana publik akan percaya bahwa ia juga akan menerapkan pemberantasan korupsi yang maksimal di lembaganya tempat ia berasal?" kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana saat dihubungi Tirto, Kamis (13/5/2019).

Pada masa kepemimpinan Agus Rahardjo saja, sambung dia, tidak ada satupun kasus korupsi yang ditangani KPK melibatkan petinggi Polri. Padahal banyak survei yang menyatakan ada masalah serius soal korupsi di tubuh Polri, salah satunya Survei Penilaian Integritas (SPI) yang menempatkan Polri salah satu institusi dengan nilai SPI terendah. Salah satu personel polri yang saat ini menjabat sebagai komisioner KPK adalah Irjenpol Basaria Panjaitan.

Kurnia menyarankan kapolri maupun Jaksa Agung untuk menempatkan personel terbaiknya di pos-pos strategis pada institusi masing-masing guna mengembalikan citra bersih penegak hukum di mata masyarakat. "Itu menjadi PR bagi Kapolri untuk memberdayakan kader terbaiknya agar dapat memimpin serta memberantas korupsi di lembaga Kepolisian," jelas dia.

Pansel Salah Jalan

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Feri Amsari menyatakan pansel sudah salah jalan. “Kepolisian tentu institusi penting, namun KPK dibangun untuk memperkuat pemberantasan korupsi yang tidak berjalan baik di aparat hukum konvensional sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang KPK,” ujar dia ketika dihubungi Tirto, Jumat (14/6/2019).

Artinya, KPK semestinya minus dari unsur kepolisian. Feri yakin unsur kepolisian hanya akan mengarahkan kepada mono perspektif dalam pemberantasan korupsi, yaitu perspektif kepolisian. Ia menyatakan mono perspektif dan mono loyalitas itu akan merusak KPK.

“Kalau (Pansel) mau jemput bola, harusnya kepada figur yang secara profil memang bergerak di isu korupsi. Kepolisian itu korps keamanan, secara kelembagaan memiliki garis komando. Itu harus dihormati mekanisme kelembagaannya, namun mekanisme itu tidak cocok untuk kelembagaan KPK,” jelas Feri.

Figur itu, menurut dia, tidak mesti dari kepolisian tapi bisa dari stakeholder lain. Jika diambil dari Polri, kesan yang didapatkan seolah Pansel hendak mengutamakan kepolisian. “Bahkan unsur kepolisian tidak dibutuhkan di pimpinan KPK karena kepolisian bagian dari kekuasaan eksekutif,” ucap dia.

“Usul saya taati saja kehendak UU KPK dimana sebaiknya pimpinan dan kelembagaan KPK bukan dari aparat hukum konvensional,” sambung Feri.

Anggota Pansel KPK, Hendardi tidak mempersoalkan kekhawatiran dan kritik yang dialamatkan kepada pansel.

“Silakan saja siapapun berpendapat karena itu hak. Namun unsur dari polisi atau kejaksaan atau institusi lain yang punya pengalaman dalam penyidikan justru sangat dibutuhkan oleh KPK, di samping penyidik yang (merupakan) produk KPK,” ujar dia ketika dihubungi Tirto, Jumat (14/6/2019).

Asalkan, lanjut dia, sistemnya diatur baik dan kuat. Semua dibatasi dan diikat oleh sistem KPK, karena itu juga dibutuhkan pimpinan yang kuat di KPK. “Itu menjadi tugas Pansel untuk mendapatkan pimpinan yang kuat dan baik guna menguatkan serta menjalankan sistem,” kata Hendardi.

Baca juga artikel terkait PANSEL PIMPINAN KPK atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Jay Akbar