Menuju konten utama

Yang Bisa Dipelajari dari Cina bagi Peta Jalan Sepak Bola Indonesia

Peta Jalan Pembangunan Persepakbolaan Nasional sudah diterbitkan. Apa saja kelemahannya dan apa yang bisa dipelajari dari Cina?

Yang Bisa Dipelajari dari Cina bagi Peta Jalan Sepak Bola Indonesia
Renata Melati Putri. tirto.id/Sabit

tirto.id - Setelah dinanti-nanti, tahun ini, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan akhirnya menerbitkan Permenko No. 1/2020 tentang Peta Jalan Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional. Permenko tersebut merupakan turunan dari Instruksi Presiden No. 3/2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional.

Permenko PMK No. 1/2020 terbilang penting karena memuat peta jalan pengembangan sepak bola Indonesia. Di dalamnya tercantum lima arah strategis kebijakan, yaitu infrastruktur dan sport science, kompetensi sumber daya manusia, pengembangan bakat, sistem kompetisi, dan tata kelola dan pendanaan.

Permenko ini mengingatkan saya pada Dokumen Reformasi Sepak Bola Cina yang dicanangkan sejak 2016. Ia merupakan manifestasi World Cup Dream Presiden Xi Jinping: lolos kualifikasi Piala Dunia FIFA, jadi tuan rumah Piala Dunia, dan memenangi titel juara dunia pada 2050.

Cina yang berada di posisi 76 dalam ranking dunia FIFA tidak sekadar berambisi meraih prestasi bidang sepak bola. Dosen senior di University of Bedfordshire Ping Wu dalam bunga rampai China’s Football Dream (PDF) mengatakan bahwa sudah sejak lama Cina menjadikan olahraga sebagai instrumen untuk mencapai tujuan politik dan memupuk nasionalisme rakyatnya. Xi Jinping ingin menjadikan sepak bola sebagai bentuk diplomasi dan pendekatan soft power.

Selain target utama Piala Dunia 2050, Pemerintah Cina juga memacak sejumlah target untuk membudayakan sepak bola di Negeri Tirai Bambu itu. Hal itu dilakukan, terutama, dengan menggeber pembangunan infrastruktur dan kuantitas sumber daya manusianya.

Pada aspek infrastruktur, Cina menargetkan per 2020 ini sudah membangun 70.000 lapangan sepak bola dan 20.000 pusat latihan baru. Target selanjutnya ialah pembangunan satu lapangan sepak bola per 10.000 orang pada 2030.

Pada aspek sumber daya manusia, Cina membuat rencana peningkatan jumlah pelatih dan wasit dengan pendekatan pertukaran ilmu. Cina merekrut sejumlah tenaga ahli dari luar negeri sebagai instruktur pelatih-pelatih Cina. Timnas atau klub profesional Cina juga bisa merekrut pelatih asing.

Pemerintah Cina menilai sekolah-sekolah dengan spesialisasi olahraga perlu diperbanyak demi melahirkan atlet mumpuni sebanyak-banyak. Pengembangan bakat juga digeber sejak jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Di akar rumput, Pemerintah Cina juga menargetkan dibukanya puluhan ribu klub amatir dan klub lokal.

Strategi ini diharapkan dapat membentuk budaya sepak bola yang kuat di masyarakat. Target yang dicanangkan tidak main-main: 30-50 juta anak usia sekolah menjadikan sepak bola sebagai pengisi waktu luang mereka.

Kelemahan Cina

Meski terlihat kuat, rencana strategis sepak bola Cina pun punya kelemahan dalam eksekusinya. Tidak sedikit pelaku dan pengamat olahraga Cina yang skeptis terhadap rencana reformasi tersebut.

Praktisi media dan sepak bola akar rumput Rowan Simons menyatakan, Cina kekurangan lapangan sepak bola agar industri dan prestasinya dapat berkembang. Pun demikian, angka penggunaan lapangan yang sudah ada juga masih sangat perlu ditingkatkan. Satu faktor yang perlu diperhatikan Cina, menurut Simons yang mukim di sana sejak 1980-an, adalah mahalnya biaya penggunaan stadion dan lapangan sepakbola.

Pada 2017, terdapat tiga pusat pengembangan sepak bola di sekitar Stadion Nasional Beijing. Ketiganya saling berkompetisi dengan model bisnis yang berbeda dan cukup mahal biaya sewanya. Karena itu, menurut Simons, tidak banyak klub yang mampu menyewa fasilitas-fasilitas tersebut sepanjang tahun.

Sementara itu, program pertukaran ilmu yang digemborkan Pemerintah Cina juga belum efektif. Alih-alih melahirkan ribuan pelatih lokal yang mumpuni, Asosiasi Sepakbola Cina (CFA) justru semakin tergantung pada pelatih asing. Hal yang sama juga terjadi di antara klub-klub yang berlaga dalam Chinese Super League (CSL). Kondisi ini kemudian mendorong banyak pelatih lokal mendesak CFA membangun sistem pendidikan pelatih yang berkualitas untuk memutus ketergantungan itu.

Selain aspek insfrastruktur dan sumber daya manusia, Cina juga masih punya pekerjaan rumah dalam soal pembudayaan sepak bola yang justru terbentur ketimpangan sosio-ekonomi dalam masyarakat Cina sendiri.

Menurut Profesor Mary Gallagher dari University of Michigan, investasi di sepak bola Cina cenderung terpusat di kota-kota besar di wilayah pesisir. Proyek pembangunan sepak bola tidak banyak menggapai daerah perdesaan yang tingkat ekonominya lebih rendah dari perkotaan. Karenanya, Pemerintah Cina harus menurunkan tingkat kesenjangan itu jika benar-benar ingin menjadi negara sepak bola.

Penghambat cita-cita Cina lainnya adalah sistem pendidikannya yang terlalu ketat, kaku, dan kompetitif. Menurut Gallagher, hal ini membuat anak-anak lebih fokus pada sekolahnya daripada sepak bola. Lain itu, para orang tua di Cina enggan menambah jadwal bermain dan kegiatan esktrakurikuler demi menjaga prestasi akademis anak-anaknya tetap bagus.

Menambahkan olahraga dalam agenda anak-anaknya bukanlah pilihan yang akan diambil oleh orang tua di Cina. Sekolah juga sering meremehkan olahraga karena para orang tua lebih menginginkan anaknya berprestasi secara akademis,” tulis Gallagher dalam artikelnya di laman Conversation.

Gallagher juga menyebut bahwa penduduk Cina yang bermain bola persentasenya hanya 2 persen dari total populasi. Itu jauh lebih sedikit dibanding Eropa dan Amerika Latin yang 7 persen penduduknya aktif bermain sepak bola. Lagi pula, di Cina sepak bola masih kalah populer dengan basket.

Presiden Xi jelas harus bekerja lebih keras lagi untuk membudayakan sepak bola jika ingin mimpinya tercapai. Lantas, bagaimana dengan peta jalan reformasi sepak bola Indonesia jika dibandingkan dengan Cina?

Peta Jalan Sepak Bola Indonesia

Pemerintah Indonesia sebenarnya juga memiliki program-program besar seperti Cina. Dalam soal infrastruktur, Permenko PMK No. 1/2020 mengamanatkan renovasi enam sampai sepuluh stadion serta pembangunan lima stadion baru untuk persiapan Piala Dunia U-20 pada 2021. Selain itu, terdapat rencana pembangunan 245 lapangan sepak bola—sebanyak 40 di antaranya akan dijadikan tempat latihan persiapan Piala Dunia U-20. Lima pusat latihan timnas sepak bola juga termasuk dalam peta jalan pembangunan infrastruktur ini.

Di luar urusan Piala Dunia U-20, Permenko menargetkan pembangunan 3.468 lapangan desa dan sekolah selesai pada 2024.

Lalu, pembangunan SDM sepak bola dilakukan melalui peningkatan jumlah pelatih berlisensi—termasuk untuk sepak bola wanita. Lain itu, Pemerintah juga membuat program peningkatan jumlah wasit dan pengawas pertandingan nasional berlisensi.

Ada pula program peningkatan mutu tenaga keolahragaan. Langkah pertama ialah penyetaraan sarjana kepelatihan sepak bola dengan lisensi kepelatihan AFC (Asian Football Confederation) level C. Kemudian, setiap provinsi di Indonesia diharapkan memiliki setidaknya 15 orang tenaga keolahragaan dengan kualifikasi bidang sport science.

Permenko PMK 1/2020 juga merencanakan program beasiswa magister dan doktor luar negeri bidang sport science untuk 70 orang dan bidang manajemen olahraga untuk 10 orang sebelum 2024. Peta jalan ini juga mendorong perguruan tinggi di Indonesia membuka program studi manajemen olahraga.

Apa yang Kurang dari Indonesia?

Jika menilik sekilas, program-program dalam Permenko PMK 1/2020 itu barangkali tidaklah terlalu kontras dengan Dokumen Reformasi Sepak Bola Cina. Secara garis besar, persamaan strategi pembangunan sepak bola antara Cina dan Indonesia menitik pada besarnya keterlibatan pemerintah dalam segala aspek.

Dalam konteks Indonesia, prestasi PSSI yang stagnan selama bertahun-tahun menjadi dasar mengapa pemerintah merasa perlu untuk terjun langsung. Namun, tetap saja ada satu perbedaan yang sangat mencolok di antara kebijakan kedua negara: Sementara Cina memacak target jangka panjang yang jelas dan terukur berupa World Cup Dream, target Indonesia justru sumir.

Permenko tidak menyebut apa pun mengenai kapan Indonesia harus lolos kualifikasi Piala Dunia senior atau kapan harus menjuarai kompetisi internasional tertentu. Permenko hanya menyebut target yang sangat umum bahwa pada 2045 sepak bola Indonesia sudah harus mempunyai prestasi internasional tanpa ada deskripsi yang lebih detail.

Selain itu, beberapa aspek dalam kebijakan persepakbolaan yang perlu dibenahi. Terkait kompetensi SDM, banyak pemangku kepentingan olahraga keliru menganggap Indonesia belum menerapkan sport science. Lalu, muncul pula anggapan bahwa kita kekurangan tenaga ahli di bidang ini.

Padahal, bidang keilmuan ini sudah ada sejak dulu di Indonesia. Lagi pula, hampir seluruh program studi keolahragaan di perguruan tinggi di Indonesia berkaitan dengan sport science—kadang diartikan sebagai human-movement science.

Jadi, Indonesia sebenarnya memiliki cukup banyak pakar sport science. Namun, perhatian para pemangku kepentingan agaknya lebih menitik pada penerapan aspek teknologinya. Padahal, semestinya pemerintah perlu memperbaiki administrasi dan tata kelola keolahragaan lebih dulu. Tanpa dua hal itu perangkat teknologi secanggih apa pun tidak akan banyak membantu.

Selanjutnya, saya tidak melihat adanya rencana aksi yang signifikan untuk memperkuat industri sepak bola profesional. Padahal, industri sepak bola profesional dapat pula berkontribusi pada produk domestik bruto Indonesia. Pemerintah pun belum pernah tegas menetapkan akan terlibat secara penuh dalam industri sepak bola profesional atau justru akan menderegulasinya.

Aspek sosial sepak bola yang dijadikan sasaran strategis oleh Cina sepertinya merupakan puzzle yang hilang dari peta jalan pembangunan sepak bola Indonesia. Peta jalan Indonesia lebih didasari prinsip-prinsip pengembangan olahraga prestasi atau pengembangan bakat yang hanya menyasar atlet elite saja. Kebijakan olahraga Indonesia selama ini tidak pernah benar-benar memikirkan pemuda-pemudi dengan kemampuan teknis sepak bola yang kurang mumpuni.

Padahal, Pemerintah semestinya memfasilitasi mereka untuk meningkatkan kemampuan teknisnya, bukan malah bertumpu pada atlet-atlet naturalisasi.

Selain itu, aspek tata kelola kurang mendapat pengertian yang pas dalam Permenko. Sejatinya, prinsip tata kelola yang baik (good governance) ditujukan untuk meningkatkan standar etika para pemangku kepentingan, menghindari praktek korupsi, dan terpenuhinya unsur checks and balances. Perlu diperhatikan bahwa tata kelola tidak sama dengan kebijakan, tidak pula sekadar urusan koordinasi, administrasi, dan manajemen.

Aspek tata kelola adalah bagian sangat penting dalam pembangunan sepak bola Indonesia. Bagi saya, berbagai langkah strategis yang dilakukan pemerintah akan jadi percuma jika pengaturan skor tidak diberantas dengan serius.

Demikian pun, pola koordinasi antarinstansi dalam Permenko ini masih terlalu kompleks. Praktik di lapangan menunjukkan bahwa Kemenpora, Kemdikbud, dan kementerian-kementerian lain hampir selalu berjalan sendiri-sendiri dalam membuat kebijakan.

Terkait dengan pendanaan, Permenko tidak menyebut dengan jelas besaran alokasi APBN dan dana swasta untuk mencapai target yang diinginkan pemerintah. Padahal, dana APBN semestinya lebih banyak dialokasikan untuk rencana aksi yang sifatnya berhubungan langsung dengan olahraga masyarakat, seperti pembangunan lapangan desa, peningkatan kompetensi SDM, dan infrastruktur stadion.

Sedangkan capaian target kompetisi, pembinaan atlet jalur prestasi, dan pusat latihan tim nasional sebaiknya menggunakan dana swasta melalui skema sponsorship, public-private partnership, sumbangan, atau dukungan BUMN.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.