Menuju konten utama
Round Up

Yang Absen dari Pidato Presiden Jokowi Saat Hakordia 2021

Direktur Eksekutif PSHK Gita Putri menilai pidato Jokowi saat Hakordia 2021 hanya retorika yang tidak merefleksikan situasi lapangan.

Yang Absen dari Pidato Presiden Jokowi Saat Hakordia 2021
Presiden Joko Widodo memberikan arahan saat memimpin rapat terbatas (Ratas) di Istana Negara, Jakarta, Senin (29/11/2021). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/rwa.

tirto.id - Presiden Joko Widodo menghadiri Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) secara langsung pelaksanaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta Selatan, Kamis (9/12/2021). Dalam sambutannya, Jokowi menekankan para penegak hukum tidak boleh berbangga diri dengan pencapaian penanganan korupsi selama 2021.

Jokowi mengingatkan publik masih mempersepsikan masalah korupsi adalah pekerjaan rumah pemerintah sesuai survei yang dirilis lembaga survei pada November 2021 serta indeks persepsi korupsi Indonesia yang rendah.

Selain itu, Jokowi menekankan soal metode pendekatan penanganan korupsi. Ia ingin metode penanganan korupsi tidak mengedepankan penanganan hukum yang heboh, tetapi lebih pada upaya yang dirasakan publik.

“Penindakan jangan hanya menyasar peristiwa hukum yang membuat heboh di permukaan, namun dibutuhkan upaya-upaya yang lebih fundamental, upaya-upaya yang lebih mendasar, dan lebih komprehensif yang dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat,” kata Jokowi.

Jokowi sebut penindakan penting dilakukan tegas tanpa pandang bulu. Namun pendekatan pemidanaan tidak boleh fokus pada pemberian efek jera pelaku, tetapi harus mengedepankan penyelamatan uang negara dan pengembalian kerugian negara. Pendekatan asset recovery, penerimaan negara bukan pajak serta memitigasi perilaku korupsi adalah hal utama.

Oleh karena itu, Jokowi berharap KPK dan Kejaksaan Agung terus menerapkan pendakwaan pencucian uang lewat Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) hingga mengingatkan soal kerja sama dengan negara lain seperti Swiss dan Rusia dalam pengejaran aset koruptor.

Jokowi juga ingin agar penindakan korupsi tidak mengedepankan penegakan hukum. Ia ingin agar penanganan kasus korupsi mengedepankan upaya pencegahan daripada penegakan hukum sebagai solusi utama.

“Pemberantasan korupsi tidak boleh terus-terusan identik dengan penangkapan, pemberantasan korupsi harus mengobati akar masalah," tegas Jokowi. Ia menambahkan, "Pencegahan merupakan langkah yang lebih fundamental dan kalau korupsi bisa kita cegah, kepentingan rakyat dapat terselamatkan.”

Jokowi mengingatkan bahwa ekosistem antikorupsi mempengaruhi investasi dan penciptaan lapangan kerja. Ia sebut Indonesia menargetkan investasi hingga Rp1.200 triliun. Oleh karena itu, Jokowi ingin agar perizinan di daerah sederhana, cepat dan bebas korupsi.

Oleh karena itu, Jokowi ingin tata kelola di masa depan bebas korupsi dengan pelayanan berbasis cepat, efisien, tanpa ongkos khusus, dan transparan. “Jangan sampai investor kapok karena terlalu banyak ongkos di sana sini, terlalu banyak ketidakpastian dan banyaknya permainan di sana sini," kata Jokowi.

Isu Krusial Luput dari Fokus Jokowi

Pidato Jokowi tidak menjawab sejumlah catatan pegiat antikorupsi dalam upaya pemberantasan rasuah. Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan catatan bahwa kondisi pemberantasan korupsi Indonesia berada di titik nadir.

“Fenomena state capture, di mana cabang-cabang kekuasaan negara semakin terintegrasi dengan kekuatan oligarki untuk menguasai sumber daya publik dengan cara-cara korup dan kemampuan untuk meruntuhkan sistem penegakan hukum terjadi di berbagai bidang,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan, Rabu malam (8/12/2021).

Pernyataan ICW pun didukung sejumlah fakta. Pertama, mereka mencatat pandemi COVID digunakan elite politik dengan meraup keuntungan di tengah masalah ekonomi dan sosial.

Kedua, mereka mengutip hasil survei yang menggambarkan situasi pemberantasan korupsi Indonesia. Sebagai contoh, ICW mengutip indeks perilaku korupsi 2021 yang dirilis BPS bahwa ada peningkatan praktik suap-menyuap publik saat mengakses pelayanan publik. ICW juga mengutip skor indeks persepsi korupsi Indonesia yang skor maupun peringkatnya mengalami penurunan dalam 5 tahun terakhir.

ICW juga menyinggung hasil survei lembaga survei Indikator Indonesia yang mengingatkan bahaya serius dengan menurunnya kepercayaan publik kepada KPK.

Situasi agenda pemberantasan korupsi, dalam pandangan ICW, pun semakin buruk. Mereka mengaitkan dengan putusan MK yang menolak uji materi revisi Undang-Undang 19 tahun 2019 tentang KPK, penghapusan pengetatan remisi hingga soal vonis ringan kasus korupsi yang melibatkan pejabat politik.

Presiden pun dinilai tidak pro pemberantasan korupsi. ICW mengacu pada persetujuan revisi UU KPK yang dinilai melemahkan, pemilihan komisioner KPK bermasalah, pemecatan puluhan pegawai KPK secara ugal-ugalan lewat Tes Wawasan Kebangsaan menjadi indikator mereka. Presiden pun dinilai abai dalam kasus TWK padahal instansi seperti Ombudsman dan Komnas HAM menyatakan ada pelanggaran HAM.

“Bisa dikatakan, presiden gagal menjadi panglima besar dalam agenda pemberantasan korupsi," tegas Kurnia.

Pidato Jokowi saat Hakordia Dinilai Hanya Retorika

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Gita Putri Damayana melihat banyak hal yang absen dari pidato Jokowi. Menurut Gita, pidato Jokowi saat Hakordia hanya retorika yang tidak merefleksikan situasi di lapangan.

“Pemulihan aset penting, peningkatan PNBP penting, tapi bagaimana dengan kasus-kasus yang selama ini jadi berhenti di pinggir jalan? Misalnya, presiden enggak bicara soal korupsi di KPU. Bicara soal pemulihan aset, tapi enggak bicara soal pengejaran buron misalnya," kata Gita kepada reporter Tirto, Kamis (9/12/2021).

Gita menilai pernyataan Jokowi soal pencegahan menarik. Ia mengaitkan dengan langkah yang mirip seperti Presiden SBY pada 2009 yang juga menyuarakan soal pencegahan. Tidak lama berselang muncul kasus operasi tangkap tangan terhadap Deputi Gubernur BI Aulia Pohan yang notabene adalah besan SBY. Aulia ditangkap KPK karena terlibat kasus aliran dana Bank Indonesia dan divonis 3 tahun penjara.

“Jadi ketika seseorang bicara soal pencegahan sebetulnya kalau ngomongin atau bicara pencegahan itu adalah bagian inheren dari korupsi, bukanlah menjadi penegakan, bukan hal itu yang didorong karena pencegahan itu merupakan bagian yang inheren dari pemberantasan korupsi," kata Gita.

Menurut Gita, isu antikorupsi yang penting adalah soal penyelesaian kasus-kasus sistemik seperti kasus korupsi di Ditlantas pada 2012 maupun korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto. Kasus-kasus itu justru harus dibongkar hingga ke akarnya, tetapi malah tidak disinggung Jokowi.

“Jadi ketika dia bilang penindakan jangan menyasar peristiwa hukum yang heboh di permukaan saja, justru sebetulnya penindakan yang tidak usah pandang bulu, tapi tebang matang dan narasi ini sepertinya absen dari Presiden Jokowi," kata Gita.

Selain itu, kata dia, Jokowi tidak memunculkan referensi jelas soal indeks persepsi korupsi maupun pendapat Jokowi soal kinerja KPK yang turun. Padahal, kata Gita, masalah pemberantasan korupsi adalah isu yang ditawarkan Jokowi saat pemilu.

Gita khawatir pemberantasan korupsi di masa depan semakin tidak jelas. Ia mencontohkan bagaimana presiden yang berwenang justru tidak merespons soal pelanggaran etik yang dilakukan dua komisioner KPK.

Kemudian, Jokowi juga tidak mau menyebut soal kinerja KPK dalam penanganan perkara korupsi di 2021. Ia pun menilai janggal perayaan Hakordia yang digelar KPK kali ini justru dihadiri mobil antihuru-hara daripada nuansa yang lebih merakyat dibanding periode sebelumnya.

“Ini KPK yang berbeda, kita sudah tahu KPK Firli itu, KPK yang berbeda, tapi sekarang ini KPK yang ada merupakan KPK yang bukan lagi sebagai KPK [yang dulu] sempat dibilang sebagai rumah rakyat, tapi sekarang KPK bukan rumah rakyat, KPK semakin menjauhkan rakyat," kata Gita.

Oleh karena itu, Gita mendorong agar pemerintah mengevaluasi KPK setelah revisi UU KPK maupun evaluasi soal substansi revisi UU KPK. Hal itu penting karena sudah banyak kejadian yang mengarah ke memburuknya KPK seperti polemik pelanggaran etik pimpinan KPK sampai penanganan perkara KPK.

Gita juga meminta presiden tidak lepas tangan karena upaya revisi ada peran serta presiden serta diatur dalam undang-undang sesuai Pasal 95A UU 12 2011 tentang peraturan perundang-undangan.

“Seharusnya presiden menjadikan hari antikorupsi ini sebagai momentum untuk merefleksi kepada Undang-Undang KPK, apalagi indikatornya sudah banyak dimunculkan, KPK prestasinya semakin menurun, citra semakin jelek, dan ada kontribusi presiden di sini, kontribusi pemerintah ini," kata Gita.

Baca juga artikel terkait HAKORDIA 2021 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz