Menuju konten utama

Yakin Seks Tidak Perlu Dibicarakan, dan Cukup Dipraktekkan Saja?

Membicarakan seks sah-sah saja dilakukan oleh suami atau istri karena hubungan yang setara dalam rumah tangga.

Yakin Seks Tidak Perlu Dibicarakan, dan Cukup Dipraktekkan Saja?
foto/istockphoto

tirto.id - Seberapa percaya diri Anda berbicara soal seks dengan pasangan Anda? Apakah ia tahu apa yang Anda suka dan tidak suka saat melakukan hubungan seksual? Tahukah ia bahwa Anda suka dengan cara dia melancarkan aksi foreplay, tapi Anda paling jengah diajak quicky di pagi hari, sedang bosan dengan posisi misionaris, dan ingin mencoba posisi lain yang sepertinya lebih menantang serta fun?

“Aduh, sampai sudah punya 1 anak pun, rasanya malu, deh, ngomongin seks dengan suami. Just do it sajalah!” kata Anggi, mama 1 balita.

“Ah, yang penting performa saya bagus, istri juga kelihatan menikmatinya, kok,” kata Jo, yang baru menikah 6 bulan dengan Dita.

Yakin seks itu tidak perlu diomongin, yang penting dilakukan saja?

Kendala Itu Ada di Kepala

Berbagi keintiman melalui seks adalah salah satu aspek pernikahan yang paling positif. Tapi, bukan hanya Anggi, Jo, dan beberapa orang saja (termasuk Anda?), ada banyak pasangan yang mengalami kesulitan mendiskusikan seks.

Topik ini memang terasa intim sekali, apalagi banyak di antara kita dibesarkan dengan budaya bahwa seks itu tabu, harus ditutup-tutupi, sehingga bisa menimbulkan rasa malu, jengah, atau tidak nyaman ketika seseorang harus membicarakannya secara terbuka dan jujur, bahkan dengan pasangannya.

Tantangan itu lebih terasa terutama bagi perempuan, karena masih banyak yang menganggap perempuan tidak pantas bicara seks.

“Kadang-kadang ketika berbicara apa yang diinginkan dan disukai dalam seks, atau punya pengetahuan tentang seksualitas, perempuan dicap yang tidak-tidak. (Selama ini) sebagian perempuan dididik tidak boleh terlalu vokal dalam urusan seks, lalu khawatir jika menginisiasi seks akan dianggap agresif dan takut dianggap itu tidak patut dilakukan. Padahal, sebenarnya ini adalah sesuatu yang sah-sah saja dilakukan oleh setiap jenis kelamin, karena kita berada di dalam hubungan yang setara,” papar Inez Kristanti, M.Psi., Psikolog, seorang Psikolog Klinis Dewasa.

Bagaimana dengan pria? Mungkin kita berpikir bahwa pria akan lebih mampu mengekspresikan diri dalam hal seks, karena selama ini mereka diposisikan sebagai pemegang kendali. Ternyata, banyak yang canggung juga, kalau harus mengomunikasikannya dengan pasangan.

Salah satu kekhawatiran yang muncul ketika ingin terbuka soal seks adalah apakah pasangan mau menerima kejujuran Anda. Kalau sudah begini, komunikasi soal seks pun bisa makin macet. Jadi, bisa dibilang, salah satu kendala atau tantangan dalam keterbukaan seks itu ada di dalam kepala atau pikiran.

Padahal, berbicara tentang seks secara blakblakan (bukan hanya melakukannya) dengan pasangan itu penting sekali bagi pasangan suami istri.

“Aspek seksualitas adalah salah satu bagian yang penting di dalam hubungan suami-istri, bukan hanya intimacy secara emosional saja. Sehingga, sangat penting pasangan mendiskusikan apa, sih, yang sebenarnya mereka rasakan dan inginkan di dalam hubungan seksual. Dan, itu perlu kejujuran,” kata Inez.

Mari Pecahkan Kecanggunggan Itu!

Dalam satu artikel di healthline.com, Kate McCombs, seorang pakar seks dan relationship, menegaskan bahwa ketika menghindari percakapan penting soal seks, Anda mungkin menghindari kecanggungan, tetapi Anda juga puas dengan seks yang kurang optimal.

Ia juga mengungkap manfaat keterbukaan seks dengan pasangan itu bukan semata tentang kepuasan sesaat, namun berdampak pada hubungan dan memiliki manfaat emosional, psikologis, dan mental bagi Anda dan pasangan.

Ada begitu banyak topik seks yang bisa dibicarakan dengan pasangan, meliputi kesehatan seksual, seberapa sering kita menginginkan seks, bagaimana menjelajahi hal baru yang belum diketahui atau dilakukan, bagaimana mengelola perbedaan harapan kita dan pasangan, hingga perencanaan keluarga.

“Itulah mengapa diskusi-diskusi terkait peran di dalam hubungan dan seksualitas itu perlu dibicarakan sebelum menikah. Ini merupakan salah satu persiapan pernikahan. Anda bisa melihat nilai-nilai yang dipegang pasangan Anda dan sikapnya di dalam topik ini seperti apa. Apakah ia bisa menghargai pendapat Anda atau tidak. Apakah ia cenderung judgemental atau tidak. Sehingga, Anda bisa lebih menentukan apakah ingin berkomitmen dengannya atau tidak,” jelas Inez.

Namun, ketika sudah telanjur menikah, bahkan sudah memiliki anak seperti Anggi, bukan berarti sudah terlambat untuk memulai komunikasi soal seks dengan pasangan. Kecanggungan mungkin masih akan muncul, namun itu bisa dipecahkan dan keterlambatan itu dikejar. Bagaimana caranya?

Landasan pertama adalah memperkuat komunikasi dengan pasangan, sebelum mulai membicarakan topik seks yang cenderung sensitif. Menurut Inez, jika Anda belum terlalu kuat dan terbiasa berdiskusi soal apa pun dengan pasangan, mungkin tantangan untuk membicarakan seks akan menjadi lebih sulit.

“Anda bisa lihat dulu apakah saat membahas topik-topik lain pasangan cukup menghargai Anda atau tidak, apakah ia membuat Anda merasa aman dan nyaman,” kata Inez.

Berada dalam rasa aman dan nyaman itu perlu. Jika Anda merasa tidak nyaman untuk berkomunikasi atau menyuarakan apa pun pendapat Anda, perlu dipertanyakan apakah ini hubungan yang sebenarnya Anda inginkan atau tidak.

Ketika sudah menemukan rasa nyaman untuk berkomunikasi dua arah soal apa pun, barulah Anda bisa membicarakan topik seksualitas.

Pembicaraan bisa dimulai dengan apa, sih, pandangan masing-masing tentang seksualitas, karena tiap orang memiliki latar belakang berbeda yang memengaruhi nilai-nilai yang dianutnya.

Beberapa orang mungkin sama sekali tidak familiar dengan topik ini, bahkan ketika sudah menikah, sehingga masih saja merasa canggung. Namun, pasangan bisa menenangkan, memahami, dan memberikan ruang yang aman dan nyaman untuk mereka berdiskusi secara sehat.

Kenyamanan dan keterbukaan tentu membutuhkan rasa saling percaya dan sikap tidak menghakimi (judgemental) satu sama lain. Ketika rasa nyaman dan percaya sudah terbangun, maka diskusi bisa mengarah lebih jauh pada ekspektasi seksual masing-masing.

Topik ini tentu saja bisa dibahas tidak hanya oleh pasangan yang mempersiapkan pernikahan, namun juga suami-istri yang sudah aktif secara seksual.

Salah satu yang terkait dengan ekspektasi adalah kenyamanan kita sendiri dalam melakukan hubungan seksual.

Jika belum menikah dan tidak aktif secara seksual (belum pernah berhubungan seksual), maka ekspektasi bisa berasal dari pengetahuan, pemahaman, dan nilai-nilai yang diyakini.

Tapi, jika sudah menikah dan aktif secara seksual, maka semestinya Anda sudah bisa memastikan apa yang terasa nyaman atau tidak untuk diri sendiri berdasarkan pengalaman, termasuk hal yang ingin dicoba dan tidak ingin dilakukan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai pribadi dan menyakitkan.

Infografik Ngomongin Seks

Infografik Ngomongin Seks. tirto.id/Fuad

“Sebagian perempuan masih menganggap bahwa rasa sakit (nyeri) saat berhubungan seks itu normal, nggak apa-apa, ditahan saja karena memang itu tugasnya, jadi harus terima. Padahal, sebenarnya, rasa nyeri dan tidak nyaman itu sesuatu yang perlu kita cari solusinya. Itu, kan, butuh keterbukaan juga, bahwa ternyata Anda nggak nyaman di posisi ini, atau ketika mau penetrasi rasanya nyeri, misalnya. Bicara, jangan hanya dipendam saja, karena perlu dicari solusinya. Kita berhak merasa nyaman dan menemukan pleasure ketika berhubungan,” saran Inez.

Namun, ketika berusaha untuk lebih mengambil sikap di dalam hubungan itu, belum tentu Anda mendapat respons positif atau sesuai harapan dari pasangan, karena mungkin saja ia masih memiliki pemikiran-pemikiran yang sebelumnya.

Karena itu, perlu strategi sebelum menyampaikan maksud Anda. Misalnya, cari waktu yang relaks dan saat mood Anda berdua sedang baik, beri apresiasi atau pujian terhadap apa yang sudah ia lakukan kepada Anda, atau bisa juga gunakan media lain, misalnya film, untuk membuka obrolan.

Lalu, bagaimana jika pasangan berusaha terbuka dan jujur, ternyata justru kita yang tidak siap, merasa sedih, kecewa, baper, bahkan insecure?

“Kita perlu belajar dan mengatakan kepada diri sendiri bahwa performance kita atau sebagian kecil di dalam diri kita itu tidak mendefinisikan kebahagiaan kita secara keseluruhan. Kita tetap berharga, dan suatu hubungan, termasuk seks, memerlukan usaha bersama, tidak langsung klop tanpa diskusi apa-apa,” kata Inez.

Hubungan seksual itu sebuah perjalanan. Tidak selamanya ideal, suatu ketika terasa ada hal yang kurang tepat, namun di lain waktu semua tampak sempurna.

Untuk bisa menerimanya perlu keterbukaan, yang pada akhirnya dapat memperkuat hubungan Anda dan pasangan, menjadi lebih harmonis dan solid. Rasa percaya diri makin kuat, karena mengenal diri sendiri dan pasangan dengan lebih baik.

Jadi, kalau sebenarnya Anda tidak nyaman diajak quicky di pagi hari atau ingin mencoba posisi lain yang sepertinya lebih menantang serta fun, coba bicarakan saja, ya!

Baca juga artikel terkait HUBUNGAN SUAMI ISTRI atau tulisan lainnya dari Gracia Danarti

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Gracia Danarti
Penulis: Gracia Danarti
Editor: Lilin Rosa Santi