Menuju konten utama

WP KPK: Omong Kosong KPK Perjuangkan Nasib Pegawai Tak Lolos TWK

Wadah Pegawai KPK menilai jika memang pimpinan KPK serius hendak memperjuangkan nasib pegawainya, semestinya rekomendasi Ombudsman dijalankan.

WP KPK: Omong Kosong KPK Perjuangkan Nasib Pegawai Tak Lolos TWK
Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo memberikan pernyataan kepada wartawan usai menyerahkan surat permintaan salinan Hasil Tes Asesmen Wawasan Kebangsaan (TWK) kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (4/6/2021). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.

tirto.id - Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) menilai klaim pimpinan KPK bahwa mereka tengah memperjuangkan nasib 75 pegawai yang tidak lolos proses alih status pegawai KPK cuma omong kosong belaka.

Pernyataan itu merespon pimpinan KPK yang menolak Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman tentang proses alih status pegawai KPK.

"Sikap KPK ini juga menunjukkan bahwa dalih pimpinan KPK telah memperjuangkan hak dan nasib 75 orang pegawai KPK, adalah suatu retorika belaka," kata Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo lewat keterangan tertulis pada Jumat (6/8/2021).

Yudi mengatakan jika memang serius hendak memperjuangkan nasib pegawai KPK, semestinya pimpinan KPK menunaikan langkah-langkah perbaikan yang disodorkan Ombudsman. Salah satu rekomendasi Ombudsman adalah mengangkat 75 pegawai yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai aparatur sipil negara (ASN).

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo pun telah secara gamblang menyatakan proses alih status pegawai KPK tidak boleh menjadi alasan pemecatan pegawai. Selain itu, ada pula putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan proses alih status tidak boleh mengurangi hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN.

"Seharusnya pimpinan KPK menjadikan rekomendasi Ombudsman sebagai dasar memperjelas status 75 pegawainya sesuai dengan Revisi UU KPK, Putusan MK, dan arahan Presiden sehingga 75 pegawai tersebut bisa segera kembali bekerja melaksanakan tupoksinya dalam memberantas korupsi di Indonesia," kata Yudi.

Yudi mengatakan, penolakan KPK terhadap LAHP Ombudsman RI merupakan sikap anti-koreksi. Padahal, KPK semestinya taat hukum tanpa pilih-pilih aturan yang hendak ditaati.

"Tindakan korektif dari Ombudsman sepatutnya dijadikan bahan KPK untuk perbaikan, bukan malah menyerang pemberi rekomendasi yang mencari solusi terhadap permasalahan status 75 pegawai KPK," jelas Yudi.

"Ini sama saja KPK memilih untuk kill the messenger bukannya mengapresiasi rekomendasi Ombudsman," imbuh Yudi.

Secara terpisah, penyidik non-aktif KPK Novel Baswedan mengatakan penolakan oleh pimpinan KPK sangat memalukan dan tidak semestinya dilakukan aparat penegak hukum. Laporan Ombudsman dinilai penting karena telah membuka skandal serius dalam upaya pemberantasan korupsi.

"Luar biasa, ini memalukan, dan menggambarkan hal yang tidak semestinya dilakukan oleh pejabat penegak hukum. Karena kaidah penting yang mesti dipegang oleh pejabat penegak hukum adalah taat Hukum dan Jujur,

sayangnya Pimpinan KPK tidak bisa menjadi contoh atas hal itu," kata Novel pada Kamis (5/8/2021) malam.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan lembaganya keberatan atas LAHP Ombudsman yang menyatakan ada malaadministrasi dalam proses TWK.

KPK beranggapan Ombudsman banyak menyinggung soal cacat formil dalam pembentukan Peraturan KPK Nomor 1 tahun 2021 tentang Tata Cara Peralihan Pegawai KPK Menjadi ASN (Perkom 1/2021). Padahal, Perkom 1/2021 saat ini tengah disengketakan juga di Mahkamah Agung.

Menurut Ghufron, sesuai prinsip negara hukum, tidak boleh ada lembaga yang menandingi, membersamai, apalagi mendahului putusan pengadilan. Hal itu dinilai mengganggu kebebasan hakim dalam memutus perkara.

Hal itu pun sudah ditegaskan di dalam Undang-Undang 37 tahun 2008 tentang Ombudsman RI dan diturunkan ke dalam Peraturan Ombudsman Nomor 48 tahun 2020.

Karenanya, Ghufron beranggapan Ombudsman telah melanggar kewajiban hukumnya untuk menolak laporan atau tidak memeriksa perkara yang tengah berjalan di pengadilan.

"Jadi, tentang larangan itu di konstitusi, di undang-undang Ombudsman, maupun di peraturan Ombudsman-nya sendiri diatur untuk menolak laporan yang sedang diperiksa oleh mahamamah agung atau lembaga peradilan," kata Ghufron.

Ghufron pun beranggapan memeriksa aspek formil dalam proses penyusunan peraturan di bawah undang-undang adalah kewenangan absolut Mahkamah Agung.

Selanjutnya Ghufron mengatakan, kewenangan Ombudsman terbatas pada pemeriksaan dugaan malaadministrasi pada pelayanan publik, pelapornya pun semestinya adalah masyarakat penerima layanan lembaga negara.

Dalam hal ini, urusan kepegawaian (mutasi, kenaikan pangkat, promosi, kenaikan gaji, pemberhentian) dianggap bukan pelayanan publik KPK sehingga bukan domain Ombudsman. Selain itu, 75 pegawai KPK yang mengadukan masalah itu pun bukan penerima layanan publik KPK sehingga tidak memenuhi syarat untuk melapor ke Ombudsman.

Selanjutnya, Ghufron masuk ke poin-poin yang menjadi catatan Ombudsman terkait TWK.

Dalam LAHP, Ombudsman mengatakan TWK adalah ketentuan selundupan yang disisipkan pada akhir pembahasan Perkom 1/2021 tepatnya 5 Januari 2021. Namun, Ghufron mengatakan, kesimpulan itu tidak didasarkan bukti, sebab dalam keterangan saksi maupun ahli yang terlampir di dalam dokumen LAHP yang diterima KPK, tidak ada satupun indikasi TWK adalah ketentuan selundupan.

Ombudsman juga menyampaikan ada dugaan maladministrasi dalam proses harmonisasi Perkom 1/2021, sebab rapat itu diikuti oleh menteri dan pimpinan lembaga padahal merujuk pada Permenkumham 23/2018 rapat itu cukup diikuti oleh pejabat setingkat direktur atau kepala biro.

Anehnya, yang menandatangani berita acara rapat harmonisasi itu justru kepala biro hukum KPK dan direktur di Kemenkumham yang tidak mengikuti rapat itu.

Menjawab hal itu, Ghufron mengatakan merujuk pada Undang-Undang 4 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan, kewenangan kepala biro hukum mengikuti rapat harmonisasi adalah delegasi dari pimpinan, sehingga tak ada yang salah jika delegasi itu ditarik kembali dan pimpinan langsung yang hadir di dalam rapat.

Ghufron juga menjawab temuan Ombudsman mengenai dokumen Nota Kesepahaman dan kontrak swakelola antara KPK dan BKN tentang tahapan pelaksanaan Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dibuat secara backdate.

Menurut Ghufron, temuan itu tidak relevan sebab dokumen itu tidak pernah digunakan dan tidak ada konsekuensi hukumnya dengan keabsahan TWK dan hasilnya.

"Berdasarkan kesimpulan tersebut dan mengingat Tindakan Korektif yang harus dilakukan oleh terlapor didasarkan atas pemeriksaan yang melanggar hukum, melampui wewenangnya,melanggar kewajiban hukum untuk menghentikan dan tidak berdasarkan bukti serta tidak konsisten dan logis, oleh karena itu kami menyatakan keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disarankan Ombudsman RI," tutup Ghufron.

Baca juga artikel terkait MALAADMINISTRASI TWK KPK atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Bayu Septianto