Menuju konten utama
5 Desember 1791

Wolfgang Amadeus Mozart: Hidupnya Pahit, Musiknya Tidak

Mozart sudah terkenal sejak kecil sebagai wonderkid. Ketika dewasa, hidupnya penuh kesuraman tapi tak ia tunjukkan dalam musiknya.

Wolfgang Amadeus Mozart: Hidupnya Pahit, Musiknya Tidak
Wolfgang Amadeus Mozart. tirto.id/Nauval

tirto.id - Sehabis memimpin premier La Clemenza di Tito pada 6 September 1791, Wolfgang Amadeus Mozart jatuh sakit dan pingsan di Praha. Tubuhnya tak kuat dihajar kelelahan bertubi-tubi. Mozart memang sedang kejar setoran menerima banyak pesanan. Opera yang libretonya ditulis Caterino Mazzola itu cuma salah satu dari tiga proyek besar yang sedang digarapnya.

Tiga minggu berselang, Mozart memimpin premier opera lagi. Kali ini di Wina. Die Zauberflöte, opera itu, kelak menjadi sangat legendaris. Bukan cuma lantaran Mozart memperkenalkan lagi opera fairy tale yang hampir redup, tapi ia juga mengangkat harkat opera berbahasa Jerman satu level dengan opera Italia.

Simaklah bagaimana Mozart mengeksploitasi habis-habisan kemampuan para pemainnya dalam bel canto—teknik vokal ala opera Italia yang kadang membuat para soprano Jerman kelimpungan.

Dalam salah satu adegan di opera tersebut, Mozart menampilkan sebuah aria yang paling dikenang opera-goers seluruh dunia: “Der Hölle Rache kocht in meinem Herzen”. Queen of the Night memaksa putrinya sendiri, Pamina, untuk membunuh musuh bebuyutannya, Sarastro. Sambil menempelkan pisau di leher Pamina, sang ratu menyanyikan dialog yang membuat semua nada di partitur terasa seperti tenggelam—tentu saja dengan teknik bel canto. [Anda bisa menyaksikan versi modern aria ini di sini].

Komposisi yang lebih populer dengan nama “Queen of the Night’s Aria” itu, menurut sebuah ulasan di Listverse, adalah salah satu aria terhebat sekaligus paling sulit di dunia.

Emanuel Schikaneder menawarkan libreto Die Zauberflöte garapannya kepada Mozart untuk digubah. Iming-imingnya menggiurkan: fulus besar sesuai jumlah tiket yang terjual. Mozart pun menyanggupinya.

Tapi, komponis kelahiran Salzburg, 17 Januari 1756 ini melupakan—lebih tepatnya tak memedulikan—kesehatan yang terus memburuk. Kondisi keuangannya memang sedang sekarat. Gaya hidup boros ditambah kesenangan pada barang-barang mahal kian menyeret Mozart ke jurang kebangkrutan. Sementara kegemaran minum-minum dan nge-bar saban malam kian meruntuhkan daya tahan tubuhnya.

Dalam keadaan macam itu, Mozart mengerjakan semua pesanan dengan kepayahan. Ia hampir tak pernah tidur. Waktu istirahatnya malah dihabiskan minum-minum di bar.

Menurut Daniel N. Leeson dalam Opus Ultimum: The Story of the Mozart Requiem (2004), sewaktu Mozart masih dalam proses penggarapan La Clemenza di Tito dan Die Zauberflöte, datang lagi pesanan lain. Seorang bangsawan tajir bernama Franz von Walsegg memesan gubahan requiem yang akan dipersembahkan kepada istrinya yang baru saja mati. Mozart, apa boleh buat, menerima pula pesanan ini (hlm. 18).

Order itu adalah komposisi terakhir yang digubah Mozart. Belum sempat menyelesaikan requiem untuk istri Walsegg, Mozart keburu meninggal pada 5 Desember 1791, tepat hari ini 227 tahun lalu.

Ia mati pada usia yang masih amat muda, 35 tahun, tapi telah menghasilkan 626 karya—jumlah yang sungguh besar dalam rentang waktu yang begitu pendek.

Anak Ajaib yang Dihantui Bapaknya

Mozart lahir dengan nama yang amat panjang, sebagaimana lazimnya orang-orang yang hidup di Austria zaman wangsa Habsburg. Anda mesti menghabiskan satu tarikan napas untuk mengeja nama lengkapnya: Johannes Chrysostomus Wolfgangus Theophilus Mozart.

Bapaknya, Leopold Mozart, dihormati penduduk Salzburg sebagai guru musik dan komponis yang saleh. Sementara ibunya, Anna Maria Walburga, adalah putri seorang pejabat tinggi tingkat kabupaten.

Sejak kecil, Mozart senior mendorong anak-anaknya bermain musik. Leopold dan Anna Maria punya tujuh anak, lima di antaranya meninggal saat bayi. Mozart dan saudarinya, Maria Anna alias Nannerl, adalah dua anak yang tersisa. Karena itu tidak mengherankan, Leopold amat menyayangi keduanya.

Pada umur 5, ketika anak sebayanya masih bermain pasir dan rumah-rumahan, Mozart sudah menciptakan komposisi pertamanya. Itu cuma beberapa larik pendek yang dimainkan dengan piano. Skornya pun masih ditulis sang bapak dan diberi judul “Minuet in G”.

Tiga tahun kemudian, kala usia Mozart menginjak 8, simfoni pertamanya selesai ditulis. Catatan di skor orisinal tertera titi mangsa Agustus 1764. Di sinilah Mozart mulai dikenal sebagai wonderkid dalam kancah musik Eropa.

“Mozart amat beruntung memiliki seorang ayah musisi berpengalaman. Leopold segera mengetahui potensi Wolfgang. Ia pun membaktikan hidupnya demi mendukung bakat anaknya,” catat situs Mozart.com.

Tapi Leopold adalah bapak yang ambisius. Ia tak puas dengan kecakapan sang anak bermain dan menggubah musik. Leopold ingin seluruh Eropa mengetahuinya. Maka dibawalah Mozart kecil berkeliling menunjukkan bakatnya dari satu kota ke kota lain. Dari istana para kaisar di Eropa barat hingga Basilika Santo Petrus di Roma.

Di tengah kesibukan berkeliling, Mozart tetaplah bocah yang punya dunia sendiri. Ia sebenarnya lebih senang bermain-main dengan teman sebaya ketimbang menuruti ambisi sang bapak. Tapi hidup mesti berjalan. Leopold telah mengorbankan profesinya sebagai pengajar musik dan berkonsentrasi penuh pada pertunjukan keliling anaknya yang menghasilkan banyak uang. Dengan kata lain, Mozart kecil adalah tulang punggung keluarga.

Kelak, masa kecil yang terampas itu memengaruhi kepribadiannya yang arogan, manja, dan kekanak-kanakan hingga Mozart dewasa. Apalagi sang ayah juga selalu mengekang kebebasannya.

Ketika Leopold meninggal pada 28 Mei 1787, Mozart mengalami kesedihan yang begitu mendalam dan menerbitkan perasaan rindu-dendam kepada sosok kawan sekaligus ayah. Perasaan ini begitu jelas tergambar kala lima bulan kemudian Mozart mementaskan operanya yang paling muram: Don Giovanni.

Penafsiran sutradara Milos Forman dalam biopik Mozart, Amadeus (1984), yang mengasosiasikan karakter Commandatore dan Don Giovanni sebagai penjelmaan Leopold dan Wolfgang, adalah tepat belaka.

Cerita Don Giovanni berkisar di sekitar hubungan Commandatore dengan anaknya, Don Giovanni. Sang anak menginginkan kebebasan penuh dari bayang-bayang dan pengaruh bapaknya. Tapi semua percuma belaka. Commandatore bahkan masih terus menghantui Don Giovanni sampai setelah meninggalnya.

Infografik Mozaik Wolfgang Amadeus Mozart

Menyingkirkan Hidup yang Muram

Maka demikianlah, Mozart tumbuh dan berkembang sebagai seorang dewasa sekaligus komponis produktif dalam kondisi mental macam itu. Ia memang sangat berbakat dan barangkali layak digelari musisi paling jenius sepanjang zaman. Tapi hampir semua karyanya lahir dari keadaan yang muram.

Hebatnya, Mozart mampu menyembunyikan kemuraman itu dalam musik-musiknya. Jika Anda seksama mendengarkan beberapa karyanya yang paling menonjol dan menyimpulkan bahwa mereka digubah Mozart dengan tujuan menghibur belaka, Anda tak sepenuhnya salah.

Bila dibandingkan dengan Beethoven, yang hidupnya sama-sama muram, Mozart bisa dijadikan teladan yang baik bagaimana memperlakukan musik tak melulu soal kedalaman dan kepedihan. Beethoven kelewat serius menggurat satu demi satu nada hingga dua baris saja seseorang mempelajari partiturnya, ia akan sampai pada keyakinan: lelaki ini jelas pelamun ulung. Tapi ketika beralih ke skor Mozart, sedikit sekali kegetiran di sana; bahkan cenderung playful dan main-main.

Salah satu adegan dalam Amadeus menggambarkan karakter musik Mozart dengan sangat mengena. Di depan Kaisar Joseph II, Mozart, yang sedang mempresentasikan rencana operanya, berkata tandas, “Hidupku memang getir, tapi musikku tidak.”

Baca juga artikel terkait MUSIK KLASIK atau tulisan lainnya dari Ivan Aulia Ahsan

tirto.id - Musik
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Nuran Wibisono