Menuju konten utama

WNI Simpatisan ISIS di Suriah: 'Kami Minta Bantuan Bisa Pulang'

Ada 'puluhan' hingga 'ratusan' WNI simpatisan ISIS di kamp-kamp tahanan Kurdi dan Pasukan Demokratik Suriah.

Salah satu WNI di kamp pengungsian Al-Hol, 6 jam perjalanan dari Baghouz, Suriah. Ada sekitar 50 WNI di kamp ini, menurut wartawan lepas Afshin Ismaeli yang melaporkan untuk Tirto.id. Pasukan Demokratik Suriah mengumumkan pada Sabtu (23/3/2019) bahwa Baghouz berhasil direbut, menjadi puncak kejatuhan ISIS dan menyudahi perang 4 tahun melawan organisasi teroris terkaya di dunia itu. FOTO: Afshin Ismaeli untuk Tirto.id.

tirto.id - Menjelang tengah malam Sabtu waktu setempat, akhir pekan lalu, Mustafa Bali, juru bicara Pasukan Demokratik Suriah (SDF), menyiarkan kabar resmi melalui akun Twitter dia bahwa teritorial ISIS di Baghouz telah 100 persen ditaklukan.

"Pada hari yang khusus ini, kami memperingati ribuan martir yang berjuang menjadikan kemenangan ini terwujud," tulis Mustafa.

Baghouz, sebuah desa di tepi Sungai Eufrat yang menjadi basis terakhir kekuatan ISIS di Suriah, dibombardir SDF bersama milisi Kurdi sejak 9 Februari 2019. Tanda-tanda kekalahan ISIS mulai terlihat ketika SDF berhasil membuat 3.000 kombatan bersama belasan ribu keluarga ISIS menyerahkan diri, pertengahan Maret lalu.

Menurut data dari Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), ada sekitar 8.500 milisi ISIS yang terkonsentrasi di Baghouz. Dari 8000-an orang itu, hampir sepertiganya telah tewas dan diserahkan SDF secara bertahap.

Jumlah pengungsi pun terus bertambah. Diperkirakan, lebih dari 72.000 warga sipil telah keluar dari Baghouz, hampir 10 kali lipat dari total perkiraan Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).

Para kombatan itu adalah para simpatisan ISIS dari Eropa, Asia, termasuk dari Indonesia. Ribuan kombatan itu terkunci di balik penjara, sementara puluhan ribu anggota keluarga mereka, mayoritas perempuan dan anak-anak, mendekam di kamp-kamp pengungsian di Suriah.

Mereka terpikat pada panji kekhalifahan ISIS, menyerahkan masa depan kehidupannya sebagai warga tanpa negara, ditolak oleh negara tempat mereka berlabuh, dan dianggap musuh dari negara-negara tujuan. Mereka juga ditolak oleh negara asal ketika ingin pulang, sebagaimana nasib Shamima Begum, eks-anggota keluarga ISIS, yang emoh diterima Inggris.

Menurut Afshin Ismaeli, wartawan lepas yang meliput konflik terakhir ISIS di Suriah dan melaporkan untuk Tirto, ada sekitar 50 warga negara Indonesia di sebuah kamp pengungsian Al-Hol, sebuah desa kecil di pinggiran kota Al Hasakeh, 6 jam perjalanan dari Baghouz.

Sejak Januari 2019, sekitar 66.000-67.000 orang meninggalkan basis terakhir ISIS di Baghouz, termasuk 5.000 kombatan dan 24.000 anggota keluaraga ISIS, perempuan maupun anak-anak.

Perihal ada WNI di sebuah kamp pengungsian itu pertama kali ditemui oleh Hisham Arafat, wartawan Kurdi yang berbasis di Kota Qamishlo, Rojava.

Pada 26 Februari, Hisham mengunggah video di akun Twitter, "Anak-anak ISIS asal Indonesia baru tiba dari Baghouz. Ayah mereka masih berperang dan ibu mereka sudah meninggal akibat serangan Koalisi."

WNI lain ditemukan oleh Issam Abdallah, jurnalis video Reuters, yang mengunggah foto di akun Twitter pada 2 Maret lalu, "Gadis asal Indonesia yang keluar dari kantong Negara Islam di Desa Baghouz, provinsi Deir ez-Zor, Suriah, dengan membawa roti, selimut, dan gayung di lokasi transit."

Ismaeli, yang melaporkan untuk Tirto, sempat menemui seorang lelaki muda asal Indonesia, yang menyebut namanya Muhammad ketika dikumpulkan dengan sesama lelaki dewasa lain untuk dibawa ke penjara.

Muhammad mengaku punya nama panggilan Abu Ukasya dan menyebut usianya sekitar 17 tahun.

Tidak hanya Muhammad. Di kamp pengungsi Al-Hol, Ismaeli bertemu dengan Mariam Abdullah, ibu empat anak yang mengaku dari Bandung, Jawa Barat.

Mariam datang bersama suaminya bernama Saifuddin dan memboyong anak-anak ke Suriah buat bergabung dengan ISIS.

“Suami saya hilang tidak ada kabar,” ujar Mariam kepada Ismaeli, yang baru dua hari keluar dari Baghouz.

Mariam memiliki putri yang sudah besar bernama Nabila. Ketika diwawancarai, Nabila sempat membuka nikab yang dipakainya.

“Ayah saya bernama Saifuddin,” kata Nabila, menampakkan wajah polos. Ia sedang menyuapi tiga adiknya yang masih kecil.

'Puluhan' hingga 'Ratusan' WNI Simpatisan ISIS di Suriah

Akhir Februari lalu, ketika wilayah kekuasaan ISIS di Baghouz hanya tinggal 700 meter persegi, kabar ada WNI simpatisan ISIS sempat tersiar setelah Abu Walid dikabarkan tewas.

Walid adalah salah satu kombatan ISIS asal Solo, Jawa Tengah, yang memiliki nama alias Mohammed Yusop Karim Faiz.

Pada November 2016, pria berbadan mungil ini muncul dalam video yang menenteng AK-47, berlatar desiran angin dan ombak. Tapi, pada 2 Februari 2019, Abu Walid dikabarkan tewas setelah terkena pecahan peluru.

Menurut Sidney Jones, pemerhati terorisme dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), dua minggu setelah Abu Walid tewas dalam serangan di Suriah, ada 25 WNI simpatisan ISIS yang juga tewas dalam serangan bom oleh pasukan SDF.

“Diperkirakan masih ada WNI di sana,” kata Sidney kepada Tirto. “Saya tidak tahu jumlahnya. Perkiraan sekitar 30 orang."

Di grup telegram yang terafiliasi dengan ISIS, kabar ada 25 simpatisan ISIS asal Indonesia meninggal itu sudah jauh lebih dulu tersebar. Kabar itu mengutip Abu Musa Al Indonesi kepada media Al Fuquyat yang merinci 25 WNI itu terdiri dari 17 laki-laki dan 8 perempuan.

Profil Abu Musa, berdasarkan jejaring informan di Indonesia, masihlah sumir. Salah seorang perwira di Detasemen Khusus 88 Anti Teror hanya berkata kepada Tirto bahwa Mabes Polri “masih mendalami” latar belakang Abu Musa, orang yang disebut-sebut sebagai kombatan asal Indonesia di Suriah.

Menurut International Centre for the Study of Radicalisation (ICSR) yang berbasis di London, dalam riset bertajuk From Daesh to ‘Diaspora’: Tracing the Women and Minors of Islamic State (Juli 2018), ada 'ratusan' perempuan dan anak-anak asal Indonesia yang bergabung dengan ISIS di Suriah.

Studi ICSR, yang mengumpulkan data dari pemerintah, media, lembaga pemikiran dan nirlaba sejak kejayaan hingga kejatuhan ISIS, mengungkapkan dari total 700-an sampai 800-an WNI simpatisan ISIS di Suriah, sekitar 113 orang adalah perempuan dan 100 orang adalah anak-anak. Dari angka itu, sekitar 54 perempuan dan 60 anak terdeteksi telah kembali ke Indonesia. Total yang kembali pulang ke Indonesia (returnee) antara 183 hingga 300 orang.

“Perempuan dan anak-anak memiliki peran signifikan dalam penyebaran ideologi ISIS setelah ambruknya ‘Kekhalifahan’ pada akhir 2017,” tulis laporan tersebut, menyebut kejatuhan Mosul di Irak dan Raqqa di Suriah.

Infografik HL ISIS

Infografik WNI simpatisan ISIS di Suriah. tirto.id/Lugas

'Perlu Proses Cukup Panjang' buat Memulangkan Simpatisan ISIS

Sementara itu, di salah satu kamp pengungsian yang jadi teritori pasukan Kurdi, ada 38 WNI simpatisan ISIS, menurut seorang pejabat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme kepada Tirto. Ke-38 WNI itu adalah perempuan dan anak-anak.

Abdul Karim Omar, kepala urusan luar negeri pemerintahan Rojava-Kurdi, menyatakan jumlah kombatan dan anggota keluarga ISIS terus meningkat sejak akhir Februari 2019.

Otoritas Kurdi kewalahan menangani pengungsi ISIS dari warga negara asing itu. Ia meminta negara-negara asal untuk memulangkan mereka karena dianggap menjadi beban otoritas Kurdi.

“Ada ribuan pejuang, anak-anak dan perempuan dan dari 54 negara, tidak termasuk orang Irak dan Suriah, yang jadi beban serius dan bahaya bagi kami,” kata Omar.

Desakan agar negara-negara asal mau menerima simpatisan dan kombatan ISIS diserukan juga oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump, tapi banyak ditolak oleh negara-negara Eropa, termasuk pemerintahan Inggris.

Pemerintah Indonesia sendiri, sebagai satu dari 54 negara yang ikut menyumbang para simpatisan ISIS di Irak dan Suriah, mempertimbangkan akan memulangkan 38 WNI di kamp pengungsian Kurdi tersebut.

Pertimbangan itu dilakukan di bawah kerja sama lintas lembaga dari Kementerian Politik Hukum dan HAM, Polri, BNPT, Densus 88, Imigrasi dan Kementerian Luar Negeri.

Meski begitu, belum ada keterangan resmi dari pemerintah Indonesia sampai sekarang.

Dua pejabat dari Kementerian Luar Negeri, Arrmanantha Nasir dan Lalu Muhammad Iqbal, menyatakan pemerintah Indonesia belum bisa merespons bagaimana proses pemulangan tersebut.

Nasir, juru bicara Kemenlu, mengatakan pemerintah belum bisa berkata "ya" untuk memulangkan WNI simpatisan ISIS di Suriah meski ada pertimbangan ke arah sana.

“Itu pun perlu proses cukup panjang. Jadi sebelum mengambil langkah apa pun, kami melakukan verifikasi," kata Nasir, menerangkan proses penyaringan WNI simpatisan ISIS yang kini berada di kamp-kamp pengungsian.

Di kamp pengungsi Al-Hol, 6 jam perjalanan dari Baghouz, Mariam Abdullah, ibu empat anak yang mengaku dari Bandung, memohon agar ia bisa dibantu untuk pulang ke Indonesia bersama empat anaknya.

“Mungkin minta bantuan untuk bisa pulang ke negara asal kami, Indonesia,” kata Mariam dalam bahasa Indonesia.

=======

Afshin Ismaeli, wartawan lepas yang meliput konflik terakhir ISIS di Suriah, membantu laporan ini untuk Tirto.

Baca juga artikel terkait ISIS atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Politik
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam
-->