Menuju konten utama

Wiranto Ingin Jerat Penyebar Hoaks Pakai UU Terorisme, Tanda Panik?

Keinginan Wiranto menjerat penyebar hoaks dengan UU Terorisme dinilai sebagai bentuk kepanikan atas trend golput yang meningkat.

Wiranto Ingin Jerat Penyebar Hoaks Pakai UU Terorisme, Tanda Panik?
Wiranto. FOTO/Antaranews

tirto.id - Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar menyebut ada yang tersirat dari pernyataan Menko Polhukam Wiranto soal terorisme dan hoaks. Yang tersirat itu terkait dengan Pilpres 2019.

Panglima ABRI terakhir (sebelum berubah jadi TNI) itu bilang para penyebar hoaks perlu dijerat Undang-Undang UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme.

"Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk tidak ke TPS, itu sudah terorisme. Maka tentu kita gunakan UU Terorisme. Saya sudah minta agar aparat keamanan waspada ini," kata Wiranto di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (20/3/2019) kemarin.

Bagi Haris, pernyataan itu menunjukkan Wiranto panik karena kemungkinan pada pilpres nanti angka golongan putih alias golput akan tinggi--yang bagi sebagian pihak, semisal LSI, merugikan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

"Jadi itu pernyataan ngaco dan panik. Ngaco karena enggak ada basis argumentasi yang jelas. Panik karena jagoannya merasa terancam oleh orang-orang golput," kata Haris kepada reporter Tirto, Rabu (20/3/2019).

"Ini menunjukkan ketidakcerdasan sebagai pejabat negara," tambahnya.

Apa yang dikatakan Haris soal kerugian golput untuk Jokowi terkonfirmasi salah satunya lewat survei LSI yang diselenggarakan pada 8 Februari sampai 25 Februari 2019 dengan responden 1.200 orang dan margin of error 2,9 persen.

LSI membagi mereka yang golput ke dalam enam kategori: 'wong cilik', milenial, emak-emak, terpelajar, muslim, dan non-muslim. Dari enam kategori ini, Prabowo-Sandi hanya menang di kalangan terpelajar (45,4 persen lawan 36,1 persen).

"Jika pemilihnya ternyata banyak golput, pasangan 01 akan dirugikan," ujar peneliti LSI, Ikrama Masloman.

Kenapa petahana yang dirugikan, bukan oposisi? Karena potensi golput lebih banyak berasal dari calon pendukung Jokowi, kata Ikrama. Sementara pendukung Prabowo-Sandi cenderung sudah tak akan mengubah pilihan politik.

"Jika terjadi golput yang masif di kalangan pendukungnya, sementara pendukung Prabowo-Sandiaga militan ke TPS, hasil akhir bisa berubah," tambahnya.

Dalam survei itu elektabilitas keduanya hanya terpaut 27,8 persen. Angka ini bahkan lebih rendah dari tingkat golput pada pilpres terakhir: 30,42 persen. Angka ini tertinggi sejak pilpres pertama kali digelar. Pada pemilu 2004 angka golput sebesar 23,3 persen, lalu naik jadi 27,45 persen pada 2009.

Bahkan survei terakhir dari Litbang Kompas menunjukkan bahwa elektabilitas keduanya hanya terpaut 11,8 persen.

Dugaan Haris kalau pernyataan itu terkait dengan kekhawatiran besarnya gelombang golput seakan dikonfirmasi Wiranto sendiri. Soalnya, dalam kesempatan yang sama ketika bilang penyebar hoaks bisa dijerat UU terorisme, ia juga bilang kalau sebaiknya masyarakat menggunakan hak pilihnya.

"Maka tugas saudara sekalian [aparat dan intelijen] di daerah, bagaimana menjelaskan kepada masyarakat pemilu ini aman, kemudian mengajak mereka untuk tidak golput, tapi berbondong-bondong ke TPS untuk melaksanakan hak pilihnya," kata Wiranto.

Jokowi sendiri kerap bicara agar masyarakat tak golput. Dia bahkan memasukkan golput sebagai "ancaman faktual." Ini tertulis dalam Instruksi Presiden RI Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Bela Negara Tahun 2018-2019.

Direktur Indonesia Political Review Ujang Komarudin memandang pernyataan Wiranto bisa saja terkait kepentingan politik pada pemilu 2019 mendatang.

Wiranto saat ini memang diketahui dekat dan mendukung Presiden Joko Widodo di pPlpres 2019. Apa yang disampaikan Wiranto, kemungkinan tak lepas dari usaha menguntungkan Jokowi.

Ujang menilai Wiranto khawatir jika golput terus bertambah, maka Jokowi-Ma'ruf akan dirugikan.

"Golput kan banyak di kalangan milenial. Nah milenial ini tidak bisa diprediksi. Jadi tidak bisa dihitung nanti. Inilah yang mengkhawatirkan," kata Ujang kepada Tirto.

"Kalau berkaca di Litbang Kompas, kalau incumbent [perolehan suara] di bawah 50 persen itu sudah warning. Peringatan. Harus jadi pelecut untuk kerja keras lagi," kata Ujang lagi.

Dibantah

Tapi Wakil Direktur Saksi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Lukman Edy mengaku tak khawatir. Dia bahkan menyebut "tidak mengurusi golput."

"Golput kita enggak uruslah. Terlalu kecil," kata Lukman Edy di kawasan Menteng, Jakarta, Selasa (19/3/2019).

Pun ketika menanggapi survei Litbang Kompas. Jubir TKN Ace Hasan Syadzily mengatakan meski jarak elektabilitas survei Litbang Kompas paling dekat dibanding survei-survei lain, tapi itu tetap tak bakal dengan mudah dikejar.

"Selisih 11,8 persen dalam hitungan statistik merupakan angka yang signifikan. Memerlukan effort dan upaya yang luar biasa untuk dapat mengejar selisih itu. Untuk menaikkan satu persen saja, jika mengacu pada tren survei Kompas, memerlukan waktu satu bulan," kata Ace melalui keterangan tertulis.

Terkait tuduhan bahwa Wiranto sedang melawan Golput karena itu merugikan Jokowi, Jubir TKN Arya Sinulingga membelanya. Dia bilang Wiranto tak bermaksud begitu. Dia pasti sudah punya pertimbangan sendiri yang telah dipikirkan matang-matang.

"Enggak mungkin Pak Wiranto bicara di luar kewenangan Undang-undang," kata Arya kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait UU TERORISME atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Politik
Penulis: Rio Apinino
Editor: Jay Akbar