Menuju konten utama

Widodo Sutiyo, Juru Bahasa Kesayangan daripada Soeharto

Selama tiga dasawarsa, Soeharto berkomunikasi dengan dunia melalui tutur kata Widodo Sutiyo, juru bahasanya yang setia.

Widodo Sutiyo, Juru Bahasa Kesayangan daripada Soeharto
Ilustrasi Widodo Sutiyo Juru Bahasa Kesayangan Soeharto. tirto.id/Fuadi

tirto.id - Presiden Soeharto satu-satunya kepala negara Republik Indonesia yang tidak pernah terlihat menggunakan bahasa asing di depan publik. Beberapa jurnalis asing telah diberinya kesempatan wawancara pada awal Orde Baru, namun tidak satupun dilakukan secara pribadi. Seluruh pernyataan resminya dalam bahasa Inggris keluar dari mulut juru bahasa kepresidenan.

Meski begitu, bukan berarti Soeharto tidak bisa berbicara dalam bahasa Inggris seperti yang kerap disangkakan orang. Sejarawan Robert Elson menulis dalam Suharto: A Political Biography (2001: 299) bahwa Soeharto dan keluarganya pernah kursus bahasa Inggris dari seorang guru asal Australia. Bekal bahasa Inggris yang barangkali tidak sempurna itu lebih kerap dipakai untuk mengobrol santai pada acara jamuan kenegaraan.

Menurut pengamatan ajudan Presiden Soeharto, Letkol Soeyono, Soeharto dan istrinya, Siti Hartinah, sebenarnya cukup fasih berdialog dalam bahasa Inggris. Akan tetapi, pada setiap kesempatan diplomatik, Soeharto memilih tetap berbahasa Indonesia dan menggunakan penerjemah demi menghindari jargon politik yang kurang tepat. Kebijakan untuk tidak menggunakan bahasa asing dalam forum internasional berkaitan dengan usaha Orde Baru membentuk identitas nasional.

“Memang terlihat hebat bila seorang presiden mampu berbahasa Inggris sehari-hari dengan para tamunya, tetapi alangkah hebatnya bila presiden bisa berkomunikasi diplomatik secara tepat, termasuk saat menghadapi wartawan asing,” kata Soeyono dalam biografinya, Bukan Puntung Rokok (2003: 81).

Selama tiga dasawarsa masa kepemimpinannya, Soeharto berkomunikasi dengan dunia melalui tutur kata Widodo Sutiyo, juru bahasanya yang setia. Widodo, pria berkepala botak yang menguasai bahasa Inggris, Prancis, dan Italia ini dikenal sebagai satu-satunya penerjemah resmi yang pernah dimiliki penguasa Orde Baru. Dia bertugas dari tahun 1968 sampai ketika gelombang Reformasi melengserkan Soeharto pada Mei 1998.

“Bukannya karena saya juru bahasa yang hebat, tetapi yang dapat menggantikan saya tidak ada. Dan tidak ada yang peduli mencarikan pengganti,” ujar Widodo kepada François Raillon, mantan juru bahasa Presiden Prancis.

Diantarkan Nasib

Dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (2009: 1094), Widodo mengaku kepada Raillon bahwa dirinya tidak pernah dilatih menjadi juru bahasa sungguhan. Nasib mengantarkannya bekerja di bidang penerjemahan, alih-alih menjemput mimpi menjadi diplomat. Widodo selalu mengelak saat ada yang memanggilnya dengan julukan interpreter.

Widodo Sutiyo lahir di Purwakarta pada 16 Oktober 1939. Ayahnya adalah atase pertanian Indonesia pertama untuk Food and Agriculture Organization (FAO), organisasi pangan PBB yang didirikan di Roma tahun 1945. Menginjak usia remaja, Widodo ikut merantau bersama keluarganya ke Italia dan masuk ke SMA Overseas School of Rome sampai tahun 1958.

Dekat dengan kebudayaan asing sejak muda mendorong Widodo punya angan-angan menjadi seorang diplomat. Sekembalinya ke Indonesia dia memilih belajar hubungan internasional di Universitas Gadjah Mada dan lulus tahun 1965. Sempat belajar di Institut International d’Administration Publique (IIAP) di Paris, sebelum akhirnya magang di Kedutaan Besar Prancis di Tokyo.

Kunjungan Menteri Luar Negeri Kamboja ke Jakarta pada 1968 lantas mengubah jalan karier Widodo. Mayjen Widya Latief, salah seorang asisten pribadi Soeharto, meminta Departemen Luar Negeri menyiapkan seorang juru bahasa yang menguasai bahasa Prancis. Jadilah Widodo yang baru saja diangkat menjadi pegawai tetap Deplu didaulat menunaikan tugas penerjemahan yang belum pernah dia lakukan.

Setelah tugas pertamanya sukses, Widodo hampir selalu dipanggil dalam setiap pertemuan bilateral yang menuntut penggunaan bahasa Inggris. Seperti yang dicatat dalam Apa & Siapa Sejumlah Alumni UGM (1999: 625), kemampuan bahasa Inggris yang dia miliki merupakan hasil kerja kerasnya sebagai seorang otodidak. Setiap hari, dia setidaknya harus menghapal beberapa istilah baru sambil berusaha menangkap nuansa antara kedua bahasa.

Setelah menjalani serangkaian tes bahasa, Widodo ditempatkan di Sekretariat Negara dan diangkat menjadi juru bahasa presiden pada tahun 1969. Baik dalam kesempatan diplomatik di Jakarta maupun di luar negeri, Widodo dipastikan selalu hadir menjadi orang ketiga di antara pertemuan empat mata dua kepala negara. Widodo baru bisa liburan jika kepala negara yang datang berbicara Indonesia-Melayu, seperti Sultan Hassanal Bolikiah, Mahathir Mohamad, atau Lee Kuan Yew.

“Tetapi untuk Goh Chok Tong saya harus ada karena bahasa Indonesianya tidak sebaik Lee,” katanya.

Harus Naik Gaji

Kepada Raillon pula Widodo mengakui kelemahannya dalam menjalankan tugas. Tidak seperti penerjemah pada umumnya, Widodo tidak terbiasa menulis cepat ataupun menggunakan steno sehingga dia harus selalu mengandalkan ingatan. Pernyataan Soeharto yang harus dia terjemahkan pun makin lama makin panjang yang acap kali membuatnya kelabakan. Tidak jarang sebagian kecil isi pembicaraan hilang.

“Mengenai Pancasila umpamanya. Semua orang tahu asasnya ada lima. Tetapi ada kalanya saya lupa yang keempat dan hanya menyebut empat asas. Tetapi Pak Harto tidak mengoreksi saya, beliau menunggu kesempatan lain dan akan berkata bahwa ‘Pancasila terdiri dari lima asas dan yang keempat tidak boleh dilupakan’. Beliau sangat sabar dan halus budi bahasanya,” kenang Widodo.

Sebagai penerjemah resmi kenegaraan satu-satunya, Widodo harus bekerja ekstra keras untuk menutupi kekurangannya. Ketika Soeharto menghadiri pertemuan puncak para kepala negara anggota ASEAN di Malaysia, dia ditempatkan di bilik penerjemah seorang diri. Padahal menurut ketentuan PBB, seorang penerjemah harus diganti setiap 15 menit untuk menghindari burnout. Widodo secara luar biasa melakukan terjemahan dua arah tanpa henti selama tiga sampai empat jam.

“Begitu berat cobaannya hingga pada suatu ketika perlu dipasang tempat kencing di bawah tempat duduknya agar ia dapat membuang air kecil,” tulis Raillon.

Di lain waktu, Widodo rela pontang-panting saat menjalankan tugas. Posisi paling bawah dalam tata keprotokolan kala itu membuatnya harus selalu berlari-lari mengejar mobil kepala negara dari iring-iringan paling belakang. Pernah juga dalam suatu perjalanan dinas Presiden Soeharto dari Italia menuju India, Widodo sampai ketinggalan pesawat lantaran terjebak macet di barisan buntut.

Widodo pun menyadari bahwa eksistensi seorang penerjemah kepala negara tidak banyak diketahui. Merunut dari pengalamannya, penerjemah nyaris seperti profesi yang tidak kasatmata bagi masyarakat Indonesia kala itu. Beruntung dalam suatu pertemuan kenegaraan Soeharto dengan Presiden Swiss yang humoris, Widodo masih sempat mendapat pujian dan saran kenaikan gaji.

“Juru bahasa Anda bagus sekali,” katanya Presiden Swiss kepada Soeharto yang dengan sigap diterjemahkan oleh Widodo. “Anda sebenarnya harus minta kenaikan gaji,” lanjutnya melirik juru bahasa lawan bicaranya, “Karena Anda bicara dalam banyak bahasa dan bekerja tanpa henti. Kerja Anda juga hebat dan sementara bos Anda makan, Anda diam saja.” Menurut ingatan Widodo seperti yang disarikan dalam Pak Harto: The Untold Stories (2011: 446), Soeharto hanya tertawa geli mendengarnya.

Infografik Widodo Sutiyo

Infografik Widodo Sutiyo Juru Bahasa Kesayangan Soeharto. tirto.id/Fuadi

Bahasa Tubuh Soeharto

Terlepas naik atau tidak gaji Widodo saat itu, yang jelas Soeharto enggan melepaskan juru bahasa kesayangannya. Soeharto bahkan pernah melarang Widodo kembali bekerja di Deplu hanya agar siap mendampinginya dalam setiap lawatan kenegaraan. Barangkali itulah alasannya, tidak ada orang yang berani menggantikan Widodo sebagai juru bahasa kepresidenan.

Setelah sekian lama, hanya Widodo seorang yang mampu menerjemahkan ungkapan-ungkapan Jawa andalan Soeharto. Presiden RI ke-2 itu juga punya kebiasaan memberikan jawaban samar-samar khas orang Jawa yang harus diterjemahkan dengan lebih hati-hati.

“Andaikata Pak Harto ditanyai apakah dia atau Indonesia lebih menyukai merah atau putih, maka beliau akan mengacu kepada indahnya pelangi sebagai jawaban,” kata Widodo.

Tidak jarang pula Soeharto manggut-manggut sambil berkata “Ya” saat merespon lawan bicaranya yang malah sering disalahartikan sebagai tanda setuju oleh kepala negara lain. Gara-gara hal itu, pernah terjadi kehebohan usai pembicaraan empat mata Presiden Soeharto dengan Presiden Marcos dari Filipina. Sudah menjadi tugas Widodo meluruskan arti dari bahasa tubuh kepala negaranya saat itu juga.

“Rupanya yang terjadi adalah ketika soal Timor Timur disinggung, sambil mendengarkan Presiden Marcos berbicara, Pak Harto mengangguk-anggukan kepala yang disalahartikan sebagai semacam tanda setuju bahwa Indonesia hendak melepaskan Timtim,” ungkap Widodo.

Setelah Reformasi, Indonesia sempat tidak memiliki juru bahasa kepresidenan selama beberapa tahun. Baik BJ Habibie maupun Abdurahman Wahid sama-sama menguasai bahasa Inggris dengan baik. Menurut Widodo, meski seorang presiden fasih berbahasa asing, tapi sebaiknya selalu memakai juru bahasa resmi dalam setiap pertemuan diplomatik agar bahasa Indonesia tetap dihormati di mata dunia.

Baca juga artikel terkait PENERJEMAH atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Humaniora
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Irfan Teguh