Menuju konten utama

Wawancara Legendaris: dari Richard Nixon hingga Edy Rahmayadi

Melihat berbagai wawancara legendaris yang pernah ada.

Wawancara Legendaris: dari Richard Nixon hingga Edy Rahmayadi
Adegan wawancara David Frost (Michael Sheen) dengan Richard Nixon (Frank Langella) dalam film Frost/Nixon, disutradarai oleh Ron Howard. FOTO/Universal Studios

tirto.id - Konon, tolak ukur sebuah wawancara yang hebat adalah ketika seorang jurnalis dapat menampilkan sosok “nyata” sang narsum melalui jawaban-jawaban tak terduga yang ia berikan. Atas dasar inilah kenapa wawancara David Frost dengan Richard Nixon tahun 1977 jadi terasa begitu fenomenal.

Pada tahun 1974, Nixon telah mengundurkan diri dari kursi presiden AS ke-37, jabatan yang ia panggul sejak 1969. Usai pengunduran tersebut, ia selalu menolak segala undangan untuk tampil di acara publik. Maka ketika tersiar kabar Frost dapat mewawancarai Nixon pada tahun 1977, publik pun tak sabar menanti.

Wawancara tersebut terhitung amat ekslusif dalam artian Nixon memang mendapat bayaran agar bersedia melakukannya. Terbagi menjadi 12 seri dan dimulai sejak 23 Maret 1977, wawancara dilakukan tiap tiga hari (Senin, Rabu, Jumat) sepanjang empat pekan, dengan durasi total hingga mencapai 28 jam 45 menit. Lokasi wawancara bertempat di sebuah rumah tepi laut di Monarch Bay, California, yang dimiliki oleh pasangan pendukung Nixon, Harold H. Smith dan istrinya. Frost menyewa rumah tersebut sebesar 6 ribu dolar.

Jauh-jauh hari, Frost dan tim BBC sudah melakukan segala persiapan total. “Tentu saja kami sudah melakukan persiapan maksimal. Demikian juga dengan David. Kami menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mempelajari segala transkrip dan bukti (terkait skandal Watergate). David punya kemampuan luar biasa dalam hal itu, seperti pengacara,” ujar John Birt, mantan kepala penyiaran BBC, yang kala itu memproduseri seri wawancara Frost dan Nixon tersebut.

Namun, di balik itu semua ada satu hal yang tidak mampu mereka prediksi: bagaimana reaksi Nixon nanti ketika diajak berbincang soal skandal Watergate.

Satu hal lain, sebelumnya pada 1968 Frost juga pernah mewawancarai Nixon. Namun wawancara tersebut dianggap buruk oleh banyak kalangan. TIME pun sempat menyebutnya sebagai “wawancara yang begitu lembut, sampai-sampai Presiden Nixon seperti mengangkut Frost dan ibunya, lalu laki-laki Inggris itu diminta membuat sebuah acara untuk merayakan natal ala Amerika”.

Syahdan, wawancara pun dimulai dan tiba ke pembahasan terkait skandal Watergate. Di luar dugaan, Nixon yang kala itu selalu bersikap defensif saban ditanya soal skandal tersebut, dapat dibujuk Frost untuk meminta maaf.

“Saya membiarkan teman-teman saya bersedih, negara saya, rakyat saya, semua bersedih. Dan saya harus membawa beban tersebut seumur hidup saya,” ujar Nixon, dengan mimik wajah yang tampak dibuat setegar mungkin.

Setelah selesai, wawancara fenomenal tersebut dibagi menjadi empat sesi dengan durasi masing-masing 90 menit. Banyak televisi memburunya untuk ditayangkan. Hingga sekarang, itulah wawancara tokoh politik yang paling banyak ditonton orang: mencapai lebih dari 45 juta penonton. Tahun 2008, wawancara tersebut juga difilmkan dengan judul Frost/Nixon dan dinominasikan meraih lima penghargaan Oscar.

Reputasi Frost sebagai pewawancara ulung memang bukan sembarangan. Selain Nixon, ia juga pernah mewawancarai sederet tokoh besar. Mulai dari pemimpin Syah Iran terakhir, Muhammad Reza Pahlavi; Michael Gorbachev, Vladimir Putin, Yasser Arafat, FW de Klerk, hingga Jacques Chirac. Ia juga satu-satunya orang yang pernah mewawancarai tujuh presiden terakhir Amerika Serikat sebelum Barack Obama.

Di luar kancah politik, Frost juga pernah mewawancarai para figur papan atas lain seperti Elton John, Woody Allen, Muhammad Ali, Tennessee Williams, Noel Coward, Clint Eastwood, Anthony Hopkins, Norman Mailer, bahkan juga The Beatles.

Frost dikenal sebagai sosok pewawancara yang bersahabat. Ia jarang mengajukan pertanyaan ekstrim yang mendesak narasumber. Sebaliknya, ia selalu bersikap santun, namun justru dengan cara tersebutlah ia menggiring narasumber untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya tidak bersedia mereka jawab dengan jujur.

Sebagaimana yang pernah dikatakan mantan Pemimpin Partai Demokrat Liberal Inggris, Menzies Campbell: “Di balik kesopanannya, Frost memiliki kemampuan untuk menyembuyikan pikirannya seperti ‘penjahat’. Ia dapat mengulik informasi dan membuat narasumber melakukan sesuatu tanpa sadar hingga ketika mereka tahu, semua sudah terlambat (untuk dihentikan).”

Frost meninggal pada 31 Agustus 2013 ketika usianya 74 tahun. Ia mewarisi dunia jurnalistik, wabilkhusus televisi, dengan berbagai wawancara hebat. Namun demikian, tentunya bukan hanya Frost yang pernah melakukan wawancara legendaris.

Wawancara-Wawancara Legendaris yang Patut Dikenang

Dunia tidak akan pernah tahu bagaimana keretakan rumah tangga Putri Diana dengan Pangeran Charles sebelum Martin Bashir dari BBC mewawancarainya untuk acara Panorama Interview pada 1995. Dua tahun usai wawancara tersebut, berbagai gosip terus menerus menerjang keluarga kerajaan Inggris dan berakhir dengan kematian tragis Diana.

Wawancara hebat lainnya juga terjadi ketika Bill Clinton dan istrinya, Hillary Clinton, bersedia diwawancara untuk acara “60 Minutes” yang tayang di CBS. Dalam wawancara tersebut, Hillary membela suaminya dari isu perselingkuhan dengan salah seorang penyanyi bernama Gennifer Flowers.

"Anda tahu, saya duduk di sini karena saya mencintai suami saya dan saya menghormatinya, saya menghormati apa yang telah ia lalui dan apa yang telah kami lalui bersama. Dan Anda tahu, jika itu tidak cukup bagi masyarakat, maka jangan pilih dia.”

Pembelaan Hillary tersebut dianggap berhasil menyelamatkan karier politik Bill hingga ia terpilih menjadi presiden AS ke-42. Namun sikap Hillary juga dapat dimaknai sebagai caranya untuk memperkenalkan diri ke dalam kancah perpolitikan Amerika. Satu hal yang jelas, beberapa tahun usai Clinton terpilih sebagai presiden AS, muncullah Clinton–Lewinsky Scandal yang menggegerkan itu.

Infograrfik wawancara terbaik dalam sejarah

Berpuluh tahun lalu, tepatnya 1923, George Sylvester Viereck pernah mewawancarai Adolf Hitler yang kala itu bukan siapa-siapa. Wawancara tersebut bisa jadi merupakan referensi paling awal yang memperlihatkan watak ekstrem politik Hitler untuk kebangkitan Jerman, salah satunya ditunjukkan melalui kebencian terhadap kaum Bolshevik. Kelak ia juga turut ia menuliskannya di Mein Kampf tahun 1924.

Dalam tiga sesi wawancara yang dilakukan pada 1963, 1966, dan 1979, Francis Bacon mengungkapkan kepada David Sylvester tentang seluk beluk jati dirinya yang musykil diketahui orang kala itu: kebiasaannya yang selalu mabuk saat melukis, kekerasan yang ia terima di dalam keluarga, hingga ketertarikan seksualnya terhadap sang ayah.

Usai membaca naskah hasil wawancaranya dengan Michael Mok dari New York Post yang tayang pada 25 September 1936, F. Scott Fitzgerald, salah seorang novelis tersohor di dunia, konon mencoba bunuh diri karena ia menyadari sudah bukan siapa-siapa lagi. Sikap Fitzgerald kala itu dianggap telah meremehkan pencapaian kesusastraan yang suatu hari kelak akan menghidupkan kembali reputasinya.

Di tengah pelariannya sebagai kombatan di pedalaman Sierra Maestra tahun 1957, Fidel Castro secara mengejutkan bersedia diwawancara Herbert Matthews dari The New York Times dan membicarakan tentang rencana pemberontakannya terhadap pemerintahan Kuba yang saat itu dipimpin Fulgencia Batista. Wawancara tersebut segera menjadi berita utama dan diberi judul "Cuban Rebel Is Visited in Hideout".

Butuh waktu berminggu-minggu bagi Alex Haley dari Playboy agar dapat mewawancarai Malcolm X. Ketika mereka pertama kali bertemu, X bahkan sempat mendampratnya: “Anda hanyalah orang kulit putih lain yang datang hanya untuk memata-matai saya!”

Hingga akhirnya pada Mei 1963, X akhirnya bersedia untuk diwawancarai Playboy mengenai gerakan Black Muslim dan visi politiknya yang ekstrem terkait sentimen rasial di AS saat itu. Relasi Haley dan X pun menjadi lebih intim usai wawancara tersebut dilakukan. X bahkan meminta Haley menjadi penulis buku otobiografinya. “Dia penulis yang saya inginkan, bukan seorang penerjemah."

Daftar wawancara-wawancara legendaris ini masih bisa diperpanjang lagi: wawancara Michael Jackson oleh Oprah Winfrey pada 10 Februari 1993, Bill Grundy dengan Sex Pistols pada 1 Desember 1976, John Lennon bersama Jann Wenner, editor Rolling Stone, Monica Lewinsky dengan Barbara Walters, hingga wawancara Marlon Brado yang dilakukan oleh Truman Capote pada 1957 di Jepang.

Belum lama ini, Indonesia juga memunculkan sebuah wawancara yang kelak bisa jadi dianggap “legendaris”, ketika Edy Rahmayadi, ketua PSSI saat ini, ditanya soal rangkap jabatan oleh presenter Aiman Witjaksono dalam siaran langsung Kompas Petang di Kompas TV, Senin kemarin.

Aiman bertanya: “Anda kan sekarang menjabat Gubernur Sumatera Utara, apakah Anda merasa terganggu ketika tugas Anda, tanggung jawab Anda menjadi gubernur kemudian juga menjadi Ketua Umum PSSI?”

Edy tak lantas menjawab. Berselang jeda dua detik kemudian, dengan wajah merengut, mantan Pangkostrad TNI AD ini menjawab: “Apa urusan Anda menanyakan itu. Bukan hak Anda bertanya kepada saya.”

Baca juga artikel terkait WAWANCARA LEGENDARIS atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Nuran Wibisono