Menuju konten utama

Wartawan di Babel, Diancam. Di Papua, Dipukul. Pers Bisa Tumpul

Menjelang tutup tahun 2019, kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan masih terjadi; terbaru di Bangka Belitung dan Papua. 

Wartawan di Babel, Diancam. Di Papua, Dipukul. Pers Bisa Tumpul
Sejumlah wartawan yang tergabung dalam Wartawan Hitam Jakarta menggelar aksi mengecam kekerasan terhadap jurnalis di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Intimidasi terhadap jurnalis kembali terjadi. Kali ini menimpa jurnalis MNC Group Haryanto dan jurnalis Antara TV Merryanti saat meliput penyitaan daging beku oleh Balai Karantina Hewan Pangkalpinang pada Jumat pekan lalu (20/12/2019).

Haryanto menceritakan ia menerima informasi dari Balai Karantina Hewan Pangkalpinang bahwa mereka telah menyita 235,1 kg daging beku yang dicurigai tanpa dokumen dari KM Salvia, yang baru bersandar di Pelabuhan Pangkal Balam, Bangka Belitung (Babel).

Haryanto langsung menuju lokasi. Saat tiba, sudah ada Merryanti, wartawan Antara TV.

"Sekitar jam 1 lewat, kami ke sana. Ada tiga orang yang kami duga pemilik [daging] dan ternyata memang pemilik," kata Haryanto kepada Tirto.

Salah satu dari tiga orang itu diketahui bernama Monica, orang yang diperiksa petugas Balai atas temuan daging itu. Ada juga seorang warga negara asing, yang mengaku suami Monica; sementara seorang pria lain mengaku adik Monica.

Haryanto dan Mery merekam kejadian itu serta daging-daging beku disita Balai.

Namun, Monica dan kedua pria itu mendatangi Merryana dan Heryanto dan meminta rekaman dihapus. Keduanya menolak.

"Pokoknya kalau sampai video itu enggak dihapus, kami akan tuntut kalian," kata Haryanto menirukan ancaman Monica.

Monica dan rekannya menanyakan surat tugas kepada Haryanto dan Merry. Kedua wartawan itu menunjukkan kartu pers dan difoto oleh Monica.

Malam hari, Merry berkata mendapatkan pesan dari petugas Balai Karantina Hewan. Isinya peringatan agar berhati-hati sebab sempat ada terduga "dua anggota TNI" menyambangi Balai menanyakan soal daging yang disita Balai. Terduga dua anggota TNI itu mengklaim bahwa daging beku itu milik sanak familinya.

"Saya hanya diminta hati-hati," kata Merry, mengonfirmasi kepada Tirto.

Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia Pengurus Daerah Bangka Belitung Joko Setyawanto berkata telah mendampingi Haryanto dan Merryanti, selain telah melaporkan ke Dewan Pers dan Pengurus Pusat IJTI.

Joko berkata kasus ancaman dan kekerasan terhadap jurnalis sudah memprihatinkan, bahkan intimidasi sudah dilakukan pada level regulasi.

Pemerintah Bangka Belitung menerapkan Pergub 18/2019 tentang penyebarluasan informasi penyelenggaraan pemerintahan di lingkungan Pemprov Kep. Bangka Belitung. Beleid yang berlaku pada 18 April 2019 ini mengatur jenis informasi yang bisa diberikan ke media dan memberi kriteria terhadap media yang berhak mendapat informasi, contohnya media harus terdaftar di Dewan Pers dan wartawan yang bertugas harus tersertifikasi.

"IJTI Babel memahami niat baik gubernur untuk turut mendorong profesionalisme wartawan dan media massa melalui pendataan di Dewan Pers maupun uji kompetensi, namun sekali lagi itu bukan domain pemerintah daerah atau gubernur, dan biarkan tetap menjadi kewenangan Dewan Pers," ujar Joko.

Ironi Indeks Kebebasan Pers

Pada 4 November 2019, Dewan Pers merilis Indeks Kebebasan Pers tahun 2019. Hasilnya, skor Indonesia mencapai angka 73,71 atau dalam kategori "cukup bebas". Skor ini meningkat meski tak signifikan jika dibandingkan capaian 2018 pada angka 69 atau "agak bebas".

Di sisi lain, ancaman kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan masih terjadi.

Dalam seminggu ini saja, selain di Bangka Belitung, kekerasan terhadap jurnalis dialami oleh Piter Lokon, wartawan Tabloid Jubi, di Papua.

Lokon dihantam popor senjata oleh terduga personel Polri di bagian tangan dan pinggang. Terduga polisi juga menyita alat kerjanya.

Kekerasan itu terjadi saat Lokon meliput insiden di Yahukimo pada Rabu pekan ini, (18/12/2019), dilansir Jubi.

Mencegah wartawan menjalankan profesinya juga terjadi di Kendari, Sulawesi Tenggara, saat hendak meliput rekonstruksi penembakan terhadap La Randi, mahasiswa Universitas Halu Oleo yang tewas ditembak oleh polisi dalam aksi demonstrasi, September lalu.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Abdul Manan menilai ada dua aspek yang menyebabkan kekerasan terhadap wartawan terus langgeng.

Pertama, minimnya produk hukum yang melindungi wartawan. Dalam UU 40/1999 tentang Pers hanya ada satu pasal tentang perlindungan pers.

"Political will pemerintah melindungi kebebasan pers itu sangat rendah," ujar Manan. "Itu tercermin dalam revisi KUHP yang memasukkan kembali pasal yang bisa mengirim wartawan ke penjara."

Kedua, aparat penegak hukum tidak sungguh-sungguh menangani kasus kekerasan terhadap wartawan.

Manan menilai pengabaian aparat penegak hukum atas pengaduan wartawan yang mendapatkan kekerasan atau intimidasi membuat kasus-kasus ini terus berulang.

Manan berkata masalah ini harus segera diatasi. Jika tidak, rentetan teror terhadap wartawan akan menimbulkan "efek jera" sehingga fungsi kontrol sosial dari pers menjadi tumpul.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN JURNALIS atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri