Menuju konten utama

Warisan Komunis Tan Malaka

Keterlibatan Tan Malaka dalam gerakan anti-kolonialisme melegenda di Asia.

Warisan Komunis Tan Malaka
Wildan Kolumnis. tirto.id/Sabit

tirto.id - Tan Malaka adalah seorang tokoh revolusioner besar Asia yang jejak dan pemikirannya selama ini sering disalahpahami bahkan tidak diketahui. Upaya Mata Najwa untuk mengangkat biografi Tan Malaka setidaknya patut diapresiasi karena ia berani mengangkat tokoh yang kontroversial di mata publik dalam acara yang memiliki penonton yang besar.

Dalam acara Mata Najwa, Tan Malaka dibedah dari pelbagai sisi: karakternya, riwayat hidupnya, pemikirannya, dan kontribusinya bagi pendirian Indonesia. Semua pembicara sepakat bahwa kontribusi Tan Malaka bagi berdirinya Indonesia tidak diragukan lagi.

Tan Malaka terjun dalam gelanggang pergerakan melawan kolonialisme Belanda. Bahkan, pada 1925, Tan Malaka menggagas ide mengenai "Republik Indonesia" dalam buku berjudul Naar de Republiek Indonesia. Buku yang beredar di bawah tanah inilah yang menginspirasi pergerakan dan pemikiran para tokoh bangsa selain Massa Actie (1926).

Meski demikian, yang mengganjal dalam pikiran banyak orang, termasuk beberapa pembicara dalam acara tersebut, adalah kenyataan Tan Malaka seorang komunis pada awal kiprahnya dalam dunia pergerakan tahun 1920-an. Tan Malaka tercatat pernah memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) dan bahkan menjabat sebagai wakil Komintern untuk wilayah Asia Tenggara. Namun, Tan Malaka (di)keluar(kan) dari keanggotaan PKI setelah pemberontakan yang gagal terhadap pemerintah Belanda pada 1926-1927.

Fakta keterlibatan Tan Malaka dalam jaringan komunis nasional dan internasional pada masa awal perjalanan politiknya sepertinya dianggap merusak kebesaran namanya. Ben Ibratama Tanur, pendiri Tan Malaka Institute, mengatakan Tan Malaka menganggap (gerakan) “komunis adalah alat, bukan tujuan“ (negara komunis).

Tan Malaka pada awal 1920-an tidak pernah menganggap komunisme sekadar alat, tetapi ia model perjuangan bersama kelas tertindas. Dalam pertemuan dengan Hatta pada 1922, Hatta mengungkapkan Tan Malaka menginginkan “negara yang berlaku dasar sama rata sama rasa, berlaku demokrasi sepenuhnya”. Ia tidak menginginkan model komunisme “diktatoriat orang-seorang" seperti model Stalin. “Ia tidak mempunyai tulang punggung yang mudah membungkuk” tulis Hatta dalam memoarnya, Untuk Negeriku, Vol 1: Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi (2011).

Fadli Zon, Wakil Ketua DPR, dalam acara itu mengatakan keterlibatan Tan Malaka dalam gerakan komunis "hanyalah" salah satu fase awal dalam perjalanan hidupnya. Ia menekankan Tan Malaka adalah seorang manusia multidimensi, bukan satu dimensi.

Meski mengakui Tan Malaka adalah sosok manusia multidimensi, Fadli Zon dalam pelbagai acara tidak pernah menyinggung mengenai pentingnya keterlibatan Tan Malaka dalam gerakan komunis internasional dan bagaimana komunisme juga bercampur dengan pemikiran nasionalis, Islamis, dan humanis dalam karya-karya Tan Malaka.

Mengecilkan, menutup-nutupi, atau menyangkal Keterlibatan Tan Malaka dalam gerakan komunis pada fase awal perjalanan politik sang konseptor republik sama artinya dengan menihilkan warisan politiknya untuk Indonesia dan Asia serta gagal menjelaskan faktor yang membuatnya jadi legenda.

Stigma terhadap Gerakan Komunis

Sebelum menjelaskan mengapa keterlibatan Tan Malaka dalam gerakan komunis penting, pertama-tama, kita harus melepaskan cara pandang atau stigmatisasi masa kini yang memandang komunis dengan sangat buruk. Kita harus melepaskan dulu cara pandang atau stigmatisasi kita yang mungkin dipengaruhi oleh narasi peristiwa 1948 atau 1965. Untuk menilai gerakan komunis pada 1920-an, kita harus objektif menempatkan gerakan itu sesuai konteks masa lalunya.

Pada 1920-an, ada tiga gerakan besar yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda: nasionalis, Islamis, dan Marxis-Komunis. Sukarno telah menekankan pentingnya tiga gerakan besar ini lewat tulisannya, “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang diterbitkan Suluh Indonesia Muda pada 1926.

Tiga gerakan besar ini dalam gelanggang pergerakan nasional saling mengisi dan memengaruhi satu sama lain, tapi juga acap kali bertengkar. Tapi, yang pasti, ketiga arus besar gerakan ini punya andil dalam meruntuhkan kolonialisme Belanda.

Keterlibatan Tan Malaka dalam gerakan komunis dipengaruhi pemikiran Marxisme serta terinspirasi dari keberhasilan Revolusi Bolshevik yang ia pelajari ketika menimba ilmu di Belanda. Selain itu, ketertarikan Tan Malaka dengan gerakan komunis di Hindia Belanda didorong oleh fakta bahwa gerakan inilah yang paling menaruh simpati terhadap nasib rakyat miskin, seperti buruh dan petani, serta terkenal paling radikal dalam melawan kolonialisme Belanda.

Ketika terlibat dalam gerakan komunis inilah nama Tan Malaka melambung dan menjadi legenda dalam kancah pergerakan Indonesia bahkan Asia. Mengapa demikian?

Pertama-tama, kita mesti melihat dan memahami dunia pergerakan anti-imperialisme global pada periode interwar 1918-1939, atau jeda waktu antara Perang Dunia I dan II. Masa ini adalah periode yang disebut oleh Ali Raza, Franziska Roy, dan Benjamin Zachariah (2015) sebagai “internationalist moment”: sebuah periode ketika secara kualitatif interaksi aktor-aktor non-negara dan sirkulasi ide di sekitarnya semakin intensif melewati garis batas teritori negara-bangsa.

Hal ini dimungkinkan tak hanya karena apa yang disebut Ben Anderson sebagai “kapitalisme cetak”, melainkan juga substansi pergerakan pada periode ini didorong oleh peristiwa global yang berdampak sangat besar bagi dunia jajahan. Salah satu yang menyediakan sumber utama inspirasi bagi pergerakan revolusioner di seluruh dunia (jajahan) adalah Revolusi Bolshevik pada 1917.

Kesuksesan Revolusi Rusia 1917 sungguh impresif. Di Asia Tenggara dan Asia Timur, menurut Takeshi Onimaru (2011), komunisme diterima dengan antusias oleh aktivis dan intelektual muda yang ingin membebaskan negaranya dari penjajahan kolonial. Soviet yang sadar dengan potensi gerakan nasionalis anti-kolonialisme di dunia jajahan lalu mendirikan Komintern pada 1919. Organisasi ini meliputi seluruh dunia, bermarkas di Moskow, yang dipersiapkan untuk menjadi basis bagi gerakan revolusioner seluruh dunia untuk berkumpul.

Melalui jaringan yang dibentuk oleh Komintern untuk menyatukan pergerakan komunis dan gerakan-gerakan anti-kolonialisme di dunia jajahan inilah Tan Malaka bergerak aktif membangun jaringan dengan tokoh-tokoh anti-imperialis Asia. Dalam pengasingannya di Belanda pada 1922, Tan Malaka menyeberang dari Rotterdam, singgah dua bulan di Berlin, untuk datang menghadiri Kongres Komintern keempat di Moskow sebagai perwakilan Indonesia.

20 Tahun di Pengasingan

Dalam kongres yang dihadiri oleh tokoh-tokoh anti-imperialisme dunia itu, Tan Malaka berbicara tentang pembentukan aliansi antara Pan-Islamisme dan Komunisme. Idenya terinspirasi oleh pengalaman pergerakan di Hindia Belanda ketika Sarekat Islam, yang beranggotakan sekitar satu juta orang, sangat revolusioner menentang kolonialisme Belanda. Proposal kerjasama yang diajukan Tan Malaka menimbulkan penolakan sebagian kalangan, meski pidatonya mendapat tepuk tangan riuh. Rupanya, dalam pengakuan Tan Malaka dalam Dari Penjara ke Penjara bagian I, “Kongres Komintern ... menganggap Pan-Islamisme sebagai imperialisme corak lama”.

Tan Malaka kemudian ditunjuk sebagai wakil Komintern Asia Tenggara, membawahi wilayah Filipina, Burma, Siam, Annam, dan Indonesia. Dalam tugas barunya ia mulai berkeliling dari dari satu tempat ke tempat lain, dari Kanton, Tokyo, Manila, hingga Singapura. Tapi pemberontakan komunis yang gagal pada 1926-1927 membuat hubungan dengan koleganya di PKI dan komunis Soviet renggang.

Tan Malaka kemudian melanglang buana, bersembunyi dari kejaran intel imperialis Eropa, berpindah-pindah tempat mulai dari Bangkok, Manila, Amoy, Shanghai, Hongkong, Singapura, Rangon, hingga Penang. Total Tan Malaka menghabiskan 20 tahun sebagai pelarian politik mengelilingi hampir seluruh dunia.

Meski pada akhirnya Tan Malaka meninggalkan gerakan komunis, tetapi masa penugasannya yang singkat sebagai wakil Komintern Asia Tenggara berdampak signifikan pada perjalanan pemikirannya. Ketika ditugasi oleh Komintern untuk membangun kontak dengan jaringan nasionalis dan anti-imperialis Asia, Tan Malaka mulai berkenalan dengan tokoh revolusioner Asia, salah satunya Dr. Sun Yat Sen.

Tan Malaka kagum dengan sosok Sun Yat Sen. Seperti yang ditulisnya dalam Dari Penjara ke Penjara bagian I, “Berjumpa dengan revolusioner besar di Rusia adalah hal biasa, tetapi berjumpa revolusioner besar di Asia adalah sesuatu yang istimewa, karena revolusioner sejati yang jaya di kawasan ini jumlahnya sangat kurang”.

Meski Sun Yat Sen adalah seorang nasionalis bukan marxis dan cara berpikirnya logis bukan dialektis, Tan Malaka mengakui kekuatan Dr. Sun terletak pada demokrasi dan sosialisme. Ia orang yang ulet, jujur, dan dekat dengan Murba (rakyat jelata), ujar Tan Malaka dalam autobiografinya.

Lewat kekagumannya terhadap Dr. Sun Yat Sen, juga terhadap Jose Rizal dari Filipina, itu menandakan Tan Malaka bukanlah seorang komunis yang dogmatis. Ia seorang komunis yang berpikiran terbuka terhadap pelbagai corak pemikiran dan gerakan rakyat, asalkan berjuang demi kemerdekaan tanpa kompromi dan memihak rakyat jelata yang tertindas. Inilah keyakinan yang konsisten yang dibawanya hingga ditembak mati oleh bangsanya sendiri.

Sang Patriot Ekspatriat

Periode singkat sebagai wakil Komintern di Tiongkok juga penting sebab di sinilah Tan Malaka menulis Naar de Republiek Indonesia yang melambungkan namanya sebagai tokoh penting yang berjasa mengonsepsikan pendirian Republik Indonesia.

Tan Malaka agaknya mendapatkan inspirasi dari Revolusi Perancis ketika kaum petani, buruh, serta borjuis bersatu mendirikan suatu Majelis Permusyawaratan Nasional (Assemblée nationale), kemudian menggulingkan kekuasaan raja dan bangsawan. Dari Majelis Permusyawaratan Nasional inilah, tulis Tan Malaka, lahir kemerdekaan Perancis dan cita-cita republik.

Sugata Bose dalam A Hundred Horizons: The Indian Ocean in the Age of Global Empire (2006) menyebut orang seperti Tan Malaka sebagai “patriot ekspatriat”. Menurut Bose, pembentukan bangsa tidak hanya dipengaruhi oleh nasionalisme yang berakar di tanah jajahan, tetapi juga dipengaruhi oleh aspek “yang bergerak”.

Patriot ekspatriat adalah orang-orang yang menumbuhkan imajinasi dan pemikiran terhadap tanah airnya melalui perjalanan yang melampaui tanah airnya, berinteraksi dan membangun jaringan transnasional, serta menuliskan pemikirannya yang sebagian dipengaruhi oleh pengalaman dalam pengembaraan. Bila dilihat secara saksama, para figur tokoh pendiri negara modern di Asia Tenggara memiliki karakteristik seperti ini. Tidak hanya Tan Malaka (Indonesia), tapi juga Moh. Hatta (Indonesia), Ho Chi Minh (Vietnam), Phan Bôi Châu (Vietnam), Jose Rizal (Filipina), dan Mariano Ponce (Filipina).

Tan Malaka adalah seorang legenda dalam narasi pergerakan anti-kolonialisme Asia. Namun, menulis kebesarannya tanpa membicarakan keterlibatannya dalam gerakan komunis nasional dan internasional hanya akan menutupi fakta kebesarannya sebagai tokoh revolusioner Asia.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.