Menuju konten utama

Warisan Blokir Kominfo: Internet di Papua, Netflix dan IndoXXI

Kemenkominfo memiliki sejarah memblokir mulai dari internet di Papua dan Papua Barat hingga pemblokiran situs film bajakan INDOXXI dan Netflix.

Warisan Blokir Kominfo: Internet di Papua, Netflix dan IndoXXI
Ilustrasi Pemblokiran internet dan situs. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tahun lalu, ketika Rudiantara menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), ia berupaya membatasi akses internet di Papua dan Papua Barat.

Mereka berharap dengan kebijakan pemblokiran itu situasi sosial usai kerusuhan lebih cepat pulih. Aksi kerusuhan di Papua disulut dari insiden rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada pertengahan Agustus 2019.

Kebijakan ini diumumkan dalam Siaran Pers Nomor 155/HM/KOMINFO/08/2019 bertanggal 21 Agustus 2019. Pemblokiran berlaku sejak putusan dikeluarkan.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay berpendapat pemblokiran itu untuk menyembunyikan fakta yang terjadi di dua provinsi ujung timur Indonesia itu.

"Hal itu dilakukan untuk menyembunyikan fakta objektif yang sedang terjadi saat rakyat Papua lakukan aksi antirasisme di seluruh kota besar di Tanah Papua. Ada pihak-pihak yang berkepentingan memanfaatkan saluran media yang aktif untuk memutarbalikkan fakta," ucap Emanuel ketika dihubungi Tirto, Minggu (12/1/2020).

Dia menyatakan semestinya pemerintah tidak perlu membatasi akses internet di Papua, sebab berkaitan dengan penyampaian dan pendapatan informasi melalui media apapun, termasuk media elektronik bagi warga setempat. Hak itu, lanjut dia, hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam UUD 1945.

Emanuel menyampaikan beberapa dampak buruk dari pemblokiran internet di Papua, seperti masyarakat setempat tidak dapat memenuhi kebutuhan internet seperti pembelian saldo listrik, pulsa, maupun tiket.

"Kedua, kebutuhan informasi yang bersumber dari media elektronik terhambat. Imbasnya, masyarakat berada dalam ketidakpastian, informasi tidak berimbang dan terkesan menyudutkan pihak tertentu sehingga rentan terjadi konflik sosial," jelas Emanuel.

Dampak lainnya, banyak calon mahasiswa yang kesulitan mendaftarkan diri lantaran tidak bisa mendaftar secara online. "Pemblokiran telah masuk dalam kategori pelanggaran HAM dan juga pelanggaran UU Konsumen," imbuh dia.

Ganti Menteri, Blokir Masih Ada

Presiden Joko Widodo mendapuk Johnny G Plate sebagai Menkominfo di Kabinet Indonesia Maju Jilid II periode 2019-2024. Pada pemerintahannya, kader Partai Nasdem itu berencana blokir situs streaming film ilegal, IndoXXI dan sempat diduga melarang peredaran film asing di Indonesia yang tayang di Netflix.

Upaya itu dilakukan dengan menggandeng kementerian lain, lembaga dan asosiasi yang terkait dengan hak kekayaan intelektual (HAKI) serta industri kreatif. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Semuel Pangerapan menegaskan upaya tersebut merupakan langkah pemerintah dalam melindungi hak cipta.

"Di era digital, kekayaan [hak cipta] harus dilindungi. Kalau tidak, nanti orang malas berkreasi," kata Semuel di sela-sela diskusi "Darurat Perlindungan Data Pribadi di Era Digital 4.0" di Jakarta, Senin (23/12/2019), demikian seperti dikutip Antara.

Berdasarkan data Kominfo, ada 1.745 situs dan konten yang diblokir sejak tahun 2017-2019. Sepanjang 2017, Kominfo blokir 190 situs dan konten bajakan, angkanya naik pada 2018 menjadi 412 situs dan konten bajakan. Jumlah situs dan konten bajakan yang diblokir naik tajam menjadi 1.143 di tahun lalu.

Kendati dijegal di sana-sini, Netflix justru mendapat dukungan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Keduanya bekerja sama menumbuhkan perfilman Indonesia. Kemitraan berfokus pada pengembangan kemampuan kreatif, yang meliputi penulisan kreatif (creative writing), pelatihan pasca-produksi, serta kompetisi konsep cerita untuk film pendek.

Untuk mewujudkan kemitraan ini, Netflix menggelontorkan investasi sejumlah $1 juta dolar AS setara Rp14 miliar, melalui beberapa inisiatif. “Kerja sama ini bisa membantu meningkatkan kapasitas dan membuka potensi Indonesia. Ini juga bisa membantu memamerkan budaya Indonesia di tingkat dunia," ujar Nadiem.

Sementara INDOXXI mengumumkan pamit per 1 Januari 2020 setelah menjadi target pemblokiran Kominfo.

Kementerian Pemblokiran

Kepala Divisi Akses Informasi SAFEnet, Unggul Sagena berpendapat pemblokiran internet di Papua seolah hanya seremonial lantaran pemerintah tidak peduli masukan pihak lain. Selain itu, karena dianggap tupoksi blokir hanya di Kominfo dan jika rekan di luar pemerintah mau berkontribusi, maka ada forum lain.

"Memang wewenang ada di Kominfo, tapi tahap pembuatan kebijakan harus pertimbangkan banyak hal. Selama ini hanya ambil masukan dari intelijen (Kemenkopolhukam), alasan keamanan dan ketertiban," ucap Unggul ketika dihubungi Tirto, Minggu (12/1/2020).

Berkaitan dengan Netflix, ia menanggapi omongan Plate soal terdapat urusan bisnis. Unggul menyatakan ketika Kemendikbud buka keran kerja sama dengan Netflix, akhirnya Kominfo kelabakan karena urusan bisnis tersebut.

"Mereka [Kominfo] lekat dengan pemblokiran. [Sebutan] Kementerian Pemblokiran belum bisa dibuang. Padahal itu gelar yang sangat buruk bagi institusi di negara demokrasi," tutur Unggul.

Kominfo ingin blokir, Kemendikbud rangkul sineas lokal, perbedaan ini ia nilai karena komposisi menteri yang berbeda sehingga sulit koordinasi. Meski dibutuhkan koordinasi antarinstansi, para menteri dituntut presiden berinovasi dan ambil langkah cepat.

Pendekatan yang berbeda ini menomorduakan koordinasi, tapi menomorsatukan inovasi dan target. Literasi digital yang digembar-gemborkan pemerintah selama ini kurang jelas. "Karena yang mengerjakan literasi digital itu multistakeholder, tidak hanya dibebankan ke Kominfo, tapi ada lembaga swadaya masyarakat," sambung Unggul.

Ia menyatakan pemerintah tidak bisa menahan laju kemajuan teknologi, tidak tepat jika pemblokiran karena alasan kepentingan bangsa.

"Tentu masyarakat mengandalkan aplikasi ini, yang dibutuhkan ialah seperti yang dilakukan Kemendikbud, dibuat kerja sama dan aturan. Kita tidak bisa menahan laju aplikasi," imbuh Unggul.

Jika lembaga dalam sebuah negara, dalam hal ini Kominfo, masih berkutat dengan paradigma 'budaya asing merupakan ancaman', seolah melanjutkan sudut pandang Orde Baru.

"Secara tidak sadar [paradigma itu] terinternalisasi di masyarakat. Jika paradigma seperti itu, kapan majunya?" ucap kritikus film Hikmat Darmawan, ketika dihubungi Tirto, Minggu (12/1/2020).

Ia mengingatkan agar pemerintah mawas diri soal Netflix yang berada dalam konteks digital dalam zaman revolusi industri. Ada kepentingan seperti perluasan pasar, juga transfer keilmuan dalam kerja sama yang akan dibangun pemerintah dan Netflix, maka diharapkan ada tenaga kreatif yang sesuai dengan standar Netflix.

"Kalau mau luas pasarnya, maka butuh konten lokal. Kalau mawas kepentingan ini, kita bisa masuk ke dalam permainannya dengan sadar, bisa mencari untung untuk kita," kata Hikmat.

Lainnya, Indonesia harus menguatkan kekuatan komunitas lokal untuk menyangga industri seni negara ini.

Terbukti, lanjut dia, periode tahun 2000-an, komunitas lokal menyuplai tenaga kreatif dalam perfilman nasional. "Dengan keterbatasan, belajar secara otodidak dan ditambah pengetahuan, nekat bikin film, maka jadi industri dengan corak yang sekarang," ucap Hikmat.

Dia anggap Kemendikbud progresif dengan kerja sama dengan Netflix, menyelaraskan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Baca juga artikel terkait PEMBLOKIRAN SITUS atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri