Menuju konten utama

Warganet Tajam Mengawasi Sikap Lancung Pejabat dan Keluarganya

Kini pengawasan tak hanya dapat dilakukan penguasa, masyarakat pun dapat bersikap sebaliknya: mengawasi penguasa lewat gawai di genggaman.

Warganet Tajam Mengawasi Sikap Lancung Pejabat dan Keluarganya
Header Mozaik Kekuatan Pengawasan. tirto.id/Quita

tirto.id - Belakangan banyak warganet yang rajin mengunggah hasil tangkapan layar dari ponsel ke media sosial dan menyebarluaskannya, terkadang lintas platform. Tangkapan layar ini diambil dari akun keluarga pejabat publik yang doyan memamerkan gaya hidup mewah dan barang-barang mahal. Ulah warganet ini membuat sejumlah akun dikunci, meski sering kali sudah terlambat.

Tangkapan layar yang kesannya remeh, rupanya punya kekuatan dalam perubahan sosial lewat sousveillance. Istilah ini berasal dari bahasa Prancis, sous yang berarti “di bawah” dan veiller yang artinya “mengawasi”.

Sousveillance merupakan perlawanan dari surveillance yang berarti “mengawasi dari atas”, dengan sifatnya yang penuh kerahasiaan--mengawasi tanpa persetujuan atau pengetahuan subjek yang diawasi.

Sebaliknya, sousveillance menjunjung transparansi dan berfokus meningkatkan kemampuan untuk mengakses serta mengumpulkan data dan menetralkan pengawasan penguasa.

Menurut Steve Mann dalam "Cyborglogging with Camera Phones: Steps toward Equiveillance" (October 2006), sousveillance merupakan istilah baru yang muncul dengan dukungan kemudahan teknologi, termasuk telepon seluler.

Filisofinya adalah penggunaan teknologi untuk memberi cermin sekaligus mengkonfrontasi birokrasi alias menyodorkan situasi panoptikon terbalik. Situasi panoptikon menjadikan seseorang merasa diawasi terus-menerus meskipun ketika sedang tidak diawasi.

Dalam definisi lain, sousveillance berarti “penggunaan teknologi milik pribadi untuk memantau atau mengawasi dari bawah pihak-pihak yang berkuasa”. Dengan cuma modal dengkul yakni tangkapan layar, warganet berpeluang menumbuhkan kesadaran akan ketidakadilan, membangun solidaritas, dan menuntut akuntabilitas para pemegang kekuasaan.

Istilah dan penggunaan sousveillance baru dibahas secara akademik sekitar tahun 2003, tetapi sousveillance pertama yang paling sering dirujuk adalah peristiwa tahun 1991.

Pada 4 Maret 1991, seorang tukang ledeng menyerahkan rekaman video yang ia ambil menggunakan Sony Video8 Handycam CCD-F77 ke sebuah stasiun televisi lokal Los Angeles, KTLA. Tukang ledeng itu adalah George Holliday. Pada 3 Maret dini hari, dari balik jendela apartemennya, Holliday merekam penganiayaan terhadap seorang pengendara motor berkulit hitam, Rodney King, yang dilakukan oleh sejumlah anggota kepolisian Los Angeles (LAPD).

Video dengan kualitas buruk tersebut menjadi viral setelah disiarkan KTLA dan juga CNN. Sepuluh detik pertama yang buram itu berhasil menyeret para anggota LAPD pelaku penganiayaan ke pengadilan.

Setahun kemudian setelah para juri memutuskan bahwa keempat polisi tersebut tidak bersalah, kerusuhan besar pun pecah di Los Angeles, menewaskan lebih dari 50 orang, 2300 orang terluka, ribuan orang ditahan, 1100 bangunan hancur, dan kerugian sekitar 1 miliar dolar AS. Kerusuhan itu tercatat sebagai salah satu kerusuhan sipil terbesar dalam sejarah AS.

George Holliday awalnya menghubungi LAPD dan menyampaikan bahwa dirinya memiliki rekaman video penganiayaan tersebut. Tetapi tak ada seorang pun di LAPD yang memahami signifikansi video dari warga biasa dalam proses penyelidikan kasus. Seorang kawan Holliday kemudian menyarankan untuk mengirimkan rekaman video itu ke stasiun TV KTLA.

LAPD terlambat menyadari kekuatan video amatir milik tukang ledeng. FBI bahkan baru mengakuinya setahun kemudian bahwa “belum pernah ada yang seperti ini sebelumnya”, merujuk pada kemampuan teknologi dalam memberikan informasi penting dan merevolusi cara penegak hukum melakukan investigasi.

Video tersebut sering disebut sebagai contoh sousveillance pertama yang paling dikenal. Video penganiayaan Rodney King sekaligus mengirimkan pesan bahwa siapa pun, baik individu, lembaga, maupun organisasi tidak ada yang kebal atas tindakan pengawasan. Dengan demikian, dinamika kekuasaan pun menjadi suatu keniscayaan, sebab menurut Faucoult dalam History of Sexuality (1978), “di dalam kekuasaan, selalu ada perlawanan.”

Kekuatan Warganet Indonesia

Di Indonesia, sejak kasus penganiayaan akhir Februari lalu yang dilakukan oleh Mario Dandy--anak pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan yang kini sudah dicopot--warganet gencar memburu dan memviralkan perilaku hidup mewah yang tak wajar dari para pejabat publik dan keluarganya.

Dibandingkan dengan kualitas rekaman video tahun 1991 yang menggunakan handycam yang tidak terlalu mudah dibawa dan tidak semua orang memilikinya, perkembangan teknologi saat ini menjadikan sousveillance jadi lebih mudah, murah, dan lebih cepat tersebar luas difasilitasi oleh media sosial.

Termasuk dalam daftar para pejabat yang terdampak sousveillance ini, antara lain Eko Darmanto, kini mantan Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta, dicopot dari jabatan setelah gaya hidupnya yang mewah di Instagram diviralkan. Kementerian Keuangan melakukan penyelidikan internal dan terbukti sejumlah aset Eko Darmanto tidak dilaporkan di LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara).

Lalu Andhi Pramono, sebelumnya Kepala Kantor Bea Cukai Makassar, kini ditetapkan sebagai tersangka dan dicekal bepergian ke luar negeri. Gaya hidup mewah keluarganya juga tersebar luas di media sosial.

Sementara itu, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Timur, Sudarman Harjasaputra, juga telah dicopot dari jabatan dan tengah diperiksa KPK setelah gaya hidup keluarganya yang diduga hasil korupsi disorot warganet.

Terdapat nama-nama lain yang gaya hidupnya juga diawasi warganet. Misalnya, istri pejabat Kementerian Sekretariat Negara Esha Rahmashah Abrar, istri Pejabat Pembuat Kebijakan Direktorat Jenderal Hubungan Laut Kementerian Perhubungan Muhammad Rizky Alamsyah. Dan yang terbaru adalah Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, Reihana, yang tengah diperiksa KPK.

Infografik Mozaik Kekuatan Pengawasan

Infografik Mozaik Kekuatan Pengawasan. tirto.id/Quita

Sejalan dengan pandangan Foucault, sosiolog Universitas Gadjah Mada, Heru Nugroho, seperti dilansir BBC, juga menyebut pengawasan warganet tersebut sebagai “cara perlawanan mereka yang kecewa” dengan sistem politik yang dikuasai oligarki.

Frustrasi masyarakat atas lemahnya hukum pada tindakan korupsi yang sama sekali tidak memiliki efek jera pada pelakunya, tren penggunaan media sosial yang semakin meningkat, serta semakin canggih dan mudahnya akses teknologi, sangat memungkinkan sousveillance menjadi bagian dari keseharian masyarakat di era digital.

Dalam dinamika kekuasaan terutama di negara berkembang dan komunitas adat, sousveillance mengubah hubungan antara “penguasa” dan “yang dikuasai” serta antara “pengawas” dan “yang diawasi”.

Seperti dilansir Kompas, kendati KPK meminta bantuan warganet untuk memviralkan harta tak wajar pejabat publik, diperlukan suatu sistem yang memungkinkan tindakan pengawasan dari warga berlangsung sehat dan warga yang melakukan sousveillance mendapatkan perlindungan hukum.

Dengan Kepolisian RI memiliki Virtual Police yang beredar di media sosial dan melakukan pengawasan serta peringatan dengan berlandaskan UU ITE, upaya pendisiplinan demi menjaga kamtibnas di ruang digital tetap menjadi tantangan sousveillance warganet versus surveillance penguasa.

Baca juga artikel terkait PENGAWASAN atau tulisan lainnya dari Uswatul Chabibah

tirto.id - Hukum
Kontributor: Uswatul Chabibah
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Irfan Teguh Pribadi