Menuju konten utama

Warga Tolak Tambang Sangihe, Tuntut Negara Selesaikan Perkara

Warga Sangihe sebut PT TMS telah mengeksploitasi pulau, maka mereka mendesak beberapa hal kepada pemerintah.

Warga Tolak Tambang Sangihe, Tuntut Negara Selesaikan Perkara
Foto udara pertambangan Rakyat di Binebase pada 8 Agustus 2021. Pertambangan emas rakyat menjamur di Kampung Bowone dan Binebase hingga mencapai sekira 200 lubang. tirto.id/Adi Renaldi

tirto.id - Aliansi Rakyat Nusa Utara Tolak PT Tambang Mas Sangihe menuntut agar korporasi itu tidak beroperasi di tanah mereka. Warga mengklaim perusahaan itu mengeksploitasi pulau tersebut, maka mereka mendesak beberapa hal kepada pemerintah.

“Meminta dengan hormat kepada Menteri Energi Sumber Daya Mineral untuk segera mencabut Surat Keputusan yang telah diterbitkan Dirjen Minerba ESDM Nomor: 163.K/MB.04/DJB/2021 kepada PT. TMS, karena telah melanggar UU Nomor 1 Tahun 2014 dan UU Nomor 43 Tahun 2008,” kata Jull Takaliuang, Direktur Yayasan Suara Nurani Minaesa sekaligus anggota Save Sangihe Island, dalam keterangan tertulis, Rabu (10/11/2021).

Aliansi juga meminta Kapolri untuk menegur Kapolda Sulawesi Utara dan Kapolres Sangihe yang telah menugaskan aparat kepolisian yang mengawal beroperasinya PT. TMS. Sedangkan desakan kepada Menteri Dalam Negeri ada tiga hal, yakni menegur Gubernur Sulawesi Utara dan dan Bupati Kabupaten Sangihe karena tidak melaksanakan sumpah kepala daerah sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014; menegur karena mengabaikan tugas menjaga wilayah perbatasan NKRI Kabupaten Kepulauan Sangihe sesuai dengan amanat UU Nomor 43 Tahun 2008; dan menegur Bupati Kepulauan Sangihe lantaran tidak menyediakan air bersih kepada masyarakat Kampung Bowone yang kini kekurangan air karena dampak operasi tambang PT. TMS.

Tuntutan lainnya dilayangkan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membatalkan Amdal yang telah diterbitkan Provinsi Sulawesi Utara karena dalam proses penyusunannya telah melanggar peraturan perundang-undangan; serta menginginkan agar Menteri Kelautan dan Perikanan tidak menerbitkan surat izin lokasi sebagai dasar pengelolaan pulau kecil, karena bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2014.

Tuntutan selanjutnya ialah Presiden dan Wakil Presiden menegur Menteri ESDM dan Pejabat Eselon 1 Dirjen Minerba yang telah mempermalukan ketulusan Presiden karena selama ini sangat memperhatikan masyarakat pulau kecil dan perbatasan NKRI Kabupaten Kepulauan Sangihe; dan meminta negara untuk menjamin hak hidup masyarakat Kepulauan Sangihe, memproses secara hukum proses pengajuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. TMS karena melanggar peraturan.

“Sebelum IUP PT.TMS dicabut oleh pemerintah, masyarakat Sangihe di seluruh Indonesia dan internasional berjanji akan terus memperjuangkan hak kami sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Jull.

PT Tambang Mas Sangihe adalah pemegang Kontrak Karya (KK) generasi ke-7 antara pemerintah Indonesia dan seorang warga negara Indonesia yang terdaftar. Kedua pihak menandatangani KK pada 27 April 1997 dan berlaku hingga 2027, kesepakatan itu dapat dua kali diperpanjang selama 10 tahun.

Pemegang saham asli PT TMS adalah Laarenim Holding BV, sebuah perusahaan berbasis di Belanda yang dimiliki oleh Bre-X Minerals Ltd selaku korporasi tambang asal Kanada, dan perusahaan Indonesia. Sementara, pemegang saham mayoritas 70 persen adalah Baru Gold Corporation --sebelumnya bernama East Asia Minerals Corporation—

Sejak 1989-1993 program bor 5.000 meter dilakukan di area Binebase dan Bawone. Hingga 2006, dengan berbagai pengusaha pertambangan lokal dan perusahaan pertambangan junior, penggalian dan eksplorasi lebih lanjut dilakukan. Selama kampanye pengeboran dan eksplorasi historis, emas oksida yang terpapar permukaan di Binebase dan emas sulfida dangkal di Bowone ditemukan dan anomali emas kecil diidentifikasi di Taware.

“Kami tak mau punya musuh. Bahkan (dengan) kelompok yang bertentangan dengan kami. Kapanpun kami siap diskusi. Sayang, di beberapa kesempatan, kelompok-kelompok ini tidak mau langsung berdiskusi dengan kami. Tapi hubungan (kami) dengan gubernur, bupati, baik,” kata External Affair and CSR Superintendent PT. TMS Bob Priya Husada, kepada Tirto, 13 Juni 2021.

Ia membenarkan bahwa Bupati Sangihe tidak menandatangani proses Amdal. Sebab pada 2017, PT. TMS daftar ke PTSP Kabupaten Kepulauan Sangihe, namun ditolak karena alasan tak punya Komisi Amdal. Maka perusahaan meneruskan berkas ke PTSP Provinsi Sulawesi Utara.

Bob melanjutkan perihal konsesi 41.770 hektare, itu merupakan peta potensi hasil penciutan tahap dua. Bahkan Kementerian ESDM berencana menggodok penciutan tahap ketiga. Ada proses eksplorasi dan penyesuaian tata ruang wilayah dalam luas konsesi yang sudah disepakati kali ini. Bob bilang tak mungkin PT. TMS menambang di area taman nasional, laut, ataupun hutan mangrove, karena pasti tak keluar izin mengolah kawasan tersebut.

Kini PT. TMS hanya memanfaatkan 65,48 hektare berdasarkan izin lingkungan yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM. Maka luas izin yang lingkungan lebih kecil dari total luas KK Wilayah. Perihal tuduhan perusahaan menerabas izin resmi, Bob meyakinkan bahwa pihaknya lurus-lurus saja.

“TMS sudah memenuhi semua persyaratan izin untuk memulai operasi produksi, tidak ada izin yang kami langgar. Izin sudah komplet semua,” aku dia.

Baca juga artikel terkait PENOLAKAN TAMBANG SANGIHE atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz