Menuju konten utama

Warga Terdampak Proyek Nasional Terpojok UU Ciptaker & Turunannya

UU Cipta Kerja dan peraturan turunnya membuat warga khawatir karena dapat mempermulus konversi lahan atas nama proyek nasional dan kepentingan umum.

Warga Terdampak Proyek Nasional Terpojok UU Ciptaker & Turunannya
Suasana terowongan air proyek Bendungan Cipanas di Ujung Jaya, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Selasa (21/7/2020). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/hp.

tirto.id - Beberapa peraturan pemerintah (PP) turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja semakin mempermudah pengadaan dan alih fungsi lahan untuk proyek strategis nasional. Warga terdampak yang hendak mempertahankan tanah mereka pun semakin terpojok.

Salah satu peraturan yang dimakud adalah PP Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian. Dalam pasal 103 ayat 2 disebutkan “untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional, lahan budidaya pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan.”

Pasal 105 menyebut kepentingan umum dan atau proyek strategis nasional yang dimaksud di antaranya adalah jalan umum; waduk; bendungan; irigasi; saluran air minum atau air bersih; drainase dan sanitasi; bangunan pengairan; pelabuhan; bandar udara; stasiun dan jalan kereta api; terminal; fasilitas keselamatan umum; cagar alam; dan pembangkit dan jaringan listrik.

Klausul ini bikin waswas Muhammad Azim, warga Desa Wadas Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Sudah hampir lima tahun ia mempertahankan lima bidang lahan pertanian dan perkebunan kopi, durian, dan kemukus yang akan ditambang untuk pembangunan proyek Bendungan Bener. Proyek strategis nasional tersebut berada di Kabupaten Purworejo atau sekitar 5 kilometer dari Desa Wadas.

“Mereka [pemerintah] datang rentang 2016-2018, menyosialisasikan. Bilang tanah di Wadas mau digali untuk dijadikan urug bendungan proyek strategis nasional,” kata Azim kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon, Kamis (25/2/2021).

Azim dan sejumlah warga lain menolak karena “proyek strategis nasionalnya itu di bendungan (bukan di Desa Wadas).” “Warga Wadas tidak menolak bendungan tapi menolak penambangan kuari yang ada di desanya,” kata Azim.

Ia khawatir penambangan bukit yang diproyeksikan mencapai 154 hektare itu akan merusak lahan pertanian dan alam.

UU Cipta Kerja dan PP turunannya ini makin membuat Azim terpojok karena pengadaan tanah makin dimudahkan. Selain PP 26/2021, ada juga PP Nomor 19/2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pasal 129 ayat 1 menyebut pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional pelaksanaannya diprioritaskan. “Sebetulnya adanya aturan itu membuat semakin khawatir,” akunya.

Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Julian Dwi Prasetya, yang mendampingi warga, mengatakan penetapan Desa Wadas sebagai bagian dari lokasi terdampak proyek merupakan logika sesat sebab tidak berlokasi di tapak bendungan yang akan dibangun. “Apakah lokasi yang men-support proyek strategis nasional juga dibebaskan lahannya karena untuk kepentingan umum? Kalau logikanya seperti itu maka sesat sekali,” kata Julian.

Perparah Konflik Agraria

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan pengesahan UU Cipta Kerja dan kemudian disusul sejumlah PP turunan semakin mempercepat konversi lahan pertanian. Berdasarkan sensus pertanian terakhir, diketahui kecepatan konversi lahan pertanian menjadi non pertanian itu mencapai 0,25 hektare per menit. Sementara pada 2018 lalu penurunan lahan sawan mencapai 600 ribu hektare per tahun.

“Pasca UU Cipta Kerja ini konversi lahan pertanian akan semakin cepat jika memang pemerintah tidak ada langkah sistematis untuk membenahi laju konversi itu. Tapi sejauh ini justru yang didorong adalah kebijakan memfasilitasi penggunaan lahan berskala besar non pertanian rakyat,” kata Dewi kepada reporter Tirto, Jumat (26/2/2021).

Hal ini juga akan meningkatkan konflik agraria yang selama ini sudah terjadi khususnya pada proyek-proyek strategis nasional. “Karena tanah-tanah yang selama ini diperjuangkan oleh petani atau masyarakat adat akan menjadi target pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional,” ujar Dewi.

Catatan KPA, pada 2020 ada 241 konflik agraria yang terjadi di 359 daerah dengan korban terdampak sebanyak 135.332 kepala keluarga (KK).

“Kalau tidak ada perubahan sistematis dan terstruktur untuk menuntaskan konflik agraria, mengakui hak petani dan masyarakat adat, ya konflik agrafia akan semakin meningkat,” kata Dewi.

Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang sebetulnya mengakui bahwa laju konversi lahan pertanian semakin cepat dan akan terus meningkat seiring adanya UU Cipta Kerja. Hal itu diungkapkan Kasubdit Pengendalian Alih Fungsi Lahan Kementerian ATR Vevin Syoviawati Ardiwijaya. “Sebelum UU Cipta Kerja ini terbit sudah ada indikasi penurunan lahan sawah 150 ribu hektare per tahunnya. Dengan uu ini tentu saja alih fungsi lahan semakin besar lagi karena banyak sekali PSN (proyek strategis nasional) dan kepentingan umum yang dibangun di sawah,” kata Vevin.

Namun pernyataan itu diperlunak oleh Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (PPTR) Kementerian ATR/BPN Budi Situmorang, Rabu (24/2/2021). “Sebenarnya alih fungsi lahan sawah sudah banyak terjadi sebelum UU CK (Cipta Kerja) berlangsung,” ujar Budi dalam keterangan tertulis.

Budi bilang alih fungsi lahan sawah sudah terjadi bahkan sejak 2011. Kementerian ATR/BPN mencatat luas lahan sawah mencapai 8,1 juta hektare pada 2011 kemudian menjadi 7,75 juta hektare pada 2013 dan 7,1 juta hektare pada 2018.

Budi juga memastikan aturan dalam UU Cipta Kerja yang memperbolehkan pemerintah memprioritaskan proyek untuk kepentingan umum dan proyek strategis nasional ketimbang lahan sawah tak bakal membuat lahan pertanian tergerus.

Baca juga artikel terkait KONFLIK AGRARIA atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Hukum
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino