Menuju konten utama
Konflik Agraria

Warga Sumber Mata Air Kota Batu Melawan Pembangunan Hotel

Industri turisme Kota Wisata Batu menarik minat para pebisnis membangun hotel dan resort. Dampaknya tercermin dari konflik berlarut-larut soal ancaman terhadap penghidupan lingkungan warga dan sumber mata air Umbul Gemulo akibat rencana pembangunan hotel di areal setempat.

Warga Sumber Mata Air Kota Batu Melawan Pembangunan Hotel
Ilustrasi. Sumber mata air. Foto/iStock

tirto.id - Satu siang akhir Mei lalu, rumah Aris lebih ramai dari biasanya. Di ruang tamu tengah ada obrolan antara tamu dan tuan rumah serta warga Dusun Cangar, Desa Bulukerto. Pembahasannya seputar masalah lingkungan hidup.

Selain di balai desa, rumah Aris lazim digunakan oleh Komunitas Nawakalam Gemulo untuk melakukan diskusi santai. Praktis, Aris sering jadi rujukan bagi mereka yang ingin tahu kegiatan komunitas tersebut maupun soal polemik pembangunan sebuah hotel dan resort yang ditentang banyak warga setempat.

“Hotel kalau empat tingkat enggak mungkin, kan, pondasinya cuma satu meter. Dan di bawah hotel itu ada sungai bawah tanah, sungai resapan. Kalau itu jadi dan kita enggak melawan, sudah mati sumber mata airnya,” ujar Bowo, salah satu warga dalam obrolan itu.

Bowo berkata, sejak ada rencana pembangunan resort tersebut, warga telah melakukan tiga kali protes, termasuk protes terakhir yang melibatkan sekitar 9.000-an orang.

“Mereka komitmen membela sumber mata air, enggak ada bayaran. Murni membela sumber mata air,” ujar Bowo.

“Ini aksi bela Islam beneran” tambah Roy Murtadho, aktivis lingkungan hidup dari Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam.

Mata air Umbul Gemulo terletak di aliran sungai dari Gunung Arjuno. Ia mengairi setidaknya empat desa setempat, yakni Desa Bulukerto, Desa Bumiaji, Desa Pandanrejo, dan Desa Sidomulyo. Sumber mata air ini dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari warga serta mengairi perkebunan warga, baik untuk tanaman hias, sayuran, hingga buah-buahan.

Mayoritas warga setempat menolak pembangunan hotel dan resort tersebut, klaim Bowo.

“Aku dulu pernah bekerja di Jambuluwuk Hotel & Resort. Dengan lahan hotel sekitar 6 hektare itu, pekerjanya cuma 200 Itu pun sudah overload. Bayangkan, di sini sudah dibangun hotel, cuma berapa yang bisa kerja di situ?” tambah Bowo.

“Kalau di situ sumbernya mati, petaninya kerja apa dan kita cari air di mana?”

Konflik sumber mata air mendorong anak-anak muda desa setempat membentuk komunitas bernama Nawakalam Gemulo. Tujuannya, melestarikan dan melindungi lingkungan di Kota Batu, Malang.

Sejak Kota Batu, sekitar 30 menit dari Kota Malang, sebagai ikon wisata, banyak pemodal masuk ke kawasan di lereng pegunungan ini. Mereka membikin wahana rekreasi, termasuk mendirikan hotel-hotel bagi para turis. Maraknya pembangunan hotel ini yang dikritisi oleh Komunitas Nawakalam Gemulo. Mereka khawatir, bila daya dukung lingkungan tidak bisa lagi menyanggah proyek-proyek properti, lonceng bencana tinggal menunggu waktu. Terlebih pemerintahannya sendiri gencar mempromosikan Kota Batu sebagai Kota Wisata Batu. Selain Bali dan Yogyakarta, Batu tergolong sebagai tempat pariwisata terbesar di Indonesia.

Pada libur Lebaran kemarin saja, misalnya, ada 15 ribu wisatawan per hari mengunjungi Jatim Park 1, sebuah wahana rekreasi keluarga. Pada Februari lalu saja, saat musim hujan, kawasan wisata alam Bumiaji diterjang banjir serta longsor, yang menyebabkan 33 rumah warga direndam banjir bercampur lumpur.

Lantaran dampak terhadap lingkungan masih terlihat minim, meski sinyal ke arah sana mulai bikin cemas warga, komunitas warga setempat yang peduli lingkungan macam Nawakalam Gemulo masih kesulitan buat mengajak warga lain untuk peduli terhadap perkembangan kota mereka.

Dalam bahasa Bowo, warga masih menganggap Kota Batu masih dirasa sebagai "surga", sehingga "sulit untuk ngomong bencana." Ia menambahkan, "Di sini mereka merasa nyaman, mana percaya kita ngomong soal (ancaman terhadap) air? Ngomong Batu sudah rusak itu sulit selama masih tampak ramai (turis), sejuk, dan airnya masih tumpah-tumpah.”

Aris mengatakan, yang paling utama adalah upaya melestarikan sumber mata air di Kota Batu. Komunitas warga terus melakukan kampanye betapa pentingnya menyelamatkan sumber mata air serta hutan demi kelanjutan penghidupan masyarakat Kota Batu.

Untuk diketahui, ada ratusan titik sumber mata air di kawasan pegunungan Kota Batu. Beberapa di antaranya juga dimanfaatkan oleh Perusahaan Daerah Air Minum Kota Batu untuk mengisi tandon-tandon air yang didistribusikan ke para konsumen. Misalnya mata air Ngesong, 37.83 liter/detik dari debit air 161 liter/detik-nya diambil oleh PDAM untuk mengisi Tandon Ngesong.

Begitupun sumber mata air Torong Belok dan Kasinan, sebagian debit airnya dipakai buat mengisi Tandon Kasinan - Torong Belok. Juga sumber mata air Gemulo yang sebagian besar debit airnya dipakai untuk mengisi Tandon Gemulo.

PDAM kota setempat juga memakai sumber mata air besar lain seperti sumber mata air Banyuning dan mata air Sumber Darmi.

Jalan Panjang Konflik Mata Air Umbul Gemulo dan PT Panggon

Warga Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, menolak kehadiran pembangunan hotel yang bisa berdampak pada menyusutnya sumber mata air Umbul Gemulo. Protes ini bermula saat ada rencana pembangunan hotel The Rayja Resort oleh PT Panggon Sarkasa Sukses Mandiri dan mendapat perhatian media sejak 2013.

Pada 21 Juli 2014, dalam sebuah gugatan warga dari sebuah koalisi bernama Forum Masyarakat Peduli Mata Air, Pengadilan Negeri Malang memutuskan bahwa pendirian Hotel Rayja menyalahi hukum karena memengaruhi mata air Umbul Gemulo.

PT Panggon lantas mengajukan banding. Pada 5 Februari 2015, Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya menguatkan putusan sebelumnya, meski menolak gugatan ganti rugi sebagaimana putusan di PN Malang.

Namun, pada tingkat kasasi tahun 2015, Mahkamah Agung menolak gugatan kedua pihak, meski menerima pembelaan warga di sekitar mata air Umbul Gemulo. Pendeknya, sampai kini, status sengketa ini masih mengambang.

Abdul Rohman, pengacara dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, mengatakan bahwa putusan MA itu membuat sengketa menjadi status quo.

“Jadi kembali ke asal semula. Kalau kita membaca analisis secara hukum, IMB (Izin Mendirikan Bangunan) itu ya tetap berlaku,” katanya, awal Juni lalu. “Nah kalau pengusaha mau, ya dia bisa membangun kembali. Itu pun kalau dia berani.”

IMB pembangunan resort yang dimaksud Rohman, menurutnya, cacat hukum. Alasannya, IMB yang dirilis pemerintah Kota Batu tidak mengikuti peraturan lebih tinggi mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang seharusnya melewati analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), tetapi perusahaan justru mengantongi izin UKL-UPL (upaya pengelolaan-pemantauan lingkungan hidup). Praktis, karena izinnya seperti itu, perusahaan tak perlu melewati proses AMDAL.

Saat pembangunan hotel memerlukan tambahan luas lahan, menurut Rohman, PT Panggon melakukan praktik maladministrasi karena mengabaikan AMDAL dan izin lingkungan.

Baik Kementerian Lingkungan Hidup dan Ombudsman telah mengeluarkan rekomendasi soal praktik maladministrasi dalam proses perizinan tersebut. Komnas HAM bahkan mengindikasikan ada pelanggaran hak atas air.

Dalam dokumen UKL-UPL, pihak pengusaha melampirkan lokasi pembangunan hotel berada di radius 150 meter dari pusat sumber mata air, serta berencana menggali tanah sampai kedalaman 10 meter untuk basemen hotel.

Dua poin itu, bagaimanpun, menjadi keuntungan bagi warga. Jarak 150 meter tentu melanggar Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang mengatur 200 meter dari mata air harus jadi daerah steril dari pembangunan apa pun.

Hasil riset dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Brawijaya, yang dipesan oleh pemerintah Kota Batu demi meredam protes warga, juga menyatakan "tidak boleh ada aktivitas pembangunan di kedalaman lebih dari 5 meter."

Rohman menilai, seharusnya Walikota Batu Dewanti Rumpoko, istri dari walikota dua periode Eddy Rumpoko, berani mencabut IMB guna mengakhiri konflik berkepanjangan dan menunjukkan keberpihakan kepada warga.

Infografik Mata Air Gemulo

Turisme Kota Batu Ancam Ratusan Sumber Mata Air

Dari situs resmi WALHI Jatim, sejak 2005, sekitar 111 sumber mata air di Kota Batu mengalami penurunan kualitas dan kemorosotan. Dari pemetaan terbaru antara 2012 dan 2014, 57 titik sumber mata air di Kecamatan Bumiaji kini tinggal 28 titik; 32 sumber air di Kecamatan Batu kini cuma 15 titik; dan 22 titik sumber mata air di Kecamatan Junrejo kini tersisa 15 titik.

Walhi menilai, pola-pola turisme di Kota Batu telah menghilangkan separuh sumber mata air dan setengah luas hutan.

Aris, yang rumahnya menjadi lokasi pertemuan warga peduli lingkungan Kota Batu, mengatakan bahwa gerakan penolakan terhadap pola-pola pembangunan di Kota Batu bukan berarti mereka anti-pariwisata.

“Sebenarnya kalau pariwisata monggo," katanya, "selama itu tidak menyalahi aturan-aturan yang ada. Ada zona-zona yang memang dilarang karena tanahnya produktif sebagai lahan pertanian. Tolonglah, jangan buat sebuah wisata yang mengurangi hasil pangan, mengurangi produksi dan perekonomian petani."

Aris menambahkan, "Wilayah hutan yang ketinggiannya memang tidak boleh didirikan bangunan, ya tolong bener-bener ditaati aturannya, jangan mentang-mentang mereka punya uang."

Sampai saat laporan ini ditulis, kondisi sumber mata air Umbul Gemulo masih bisa dilihat. Di kolam tempat luapan air mengalir ke sungai, dengan airnya yang jernih, terlihat anak-anak mandi dan bermain. Lokasinya di seberang Hotel Purnama yang sudah berdiri sejak lama.

“Dulu, biar takut tidak merambah ke sumber mata air, maka diciptakan istilah tempat yang wingit. Kita bakar kemenyan di situ, bukan untuk musryik tapi untuk melindungi mata air biar tetap lestari,” ujar Bowo.

Baca juga artikel terkait KONFLIK AGRARIA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Fahri Salam