Menuju konten utama

"War on Drugs": Gagal di Banyak Tempat, Dirayakan BNN

Meskipun digempur habis-habisan sejak 2001, produksi opium di Afghanistan justru meningkat alih-alih menurun.

Petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) menata narkoba jenis ganja, sabu dan ekstasi untuk dimusnahkan di Banda Aceh, Aceh, Senin (15/7/2019). ANTARA FOTO / Irwansyah Putra/foc.

tirto.id - Imaniar Noorsaid, penyanyi lawas yang namanya kian pudar dalam belantara musik Indonesia dan sangat mungkin tidak diketahui sama sekali oleh generasi milenial apalagi generasi Z, menyerahkan lagu bikinannya berjudul "War On Drugs" kepada Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia Petrus Reinhard Golose, Rabu (24/3) lalu. Sebagaimana tertuang dalam laman resmi BNN, lagu tersebut dibuat Imaniar guna "(menyampaikan) pemahaman bahaya narkoba (kepada masyarakat melalui musik) sekaligus ikut memerangi bersama bahaya narkoba."

Lagu yang diklaim dibuat dalam tempo tiga hari dan menurut pembuatnya "sederhana tapi hasilnya sangat bagus dan luar biasa" itu akhirnya dirilis BNN melalui kanal Youtube hampir sebulan kemudian. Nahas, alih-alih membuat masyarakat Indonesia bergelora bersama "semangat War On Drugs menuju Indonesia Bersinar", musik video yang menampilkan beberapa petinggi Polri dan, mengutip deskripsi, "penyanyi R&B papan atas Indonesia" itu menuai komentar negatif. Tentu, bukan karena masyarakat Indonesia tak ingin melawan narkoba, tetapi karena lagu beserta video klipnya itu lebih layak disebut meme alias bahan guyonan semata alih-alih karya musik.

"Efek dengerin lagu ini lebih merusak daripada make narkoba," demikian bunyi salah satu komentar.

Yang lebih menggelikan dari lagu tersebut, Imaniar dan mungkin para petinggi BNN dan Polri mengabaikan fakta bahwa "Warn On Drugs", frasa yang pertama kali digaungkan oleh Presiden Amerika Serikat Richard Nixon 50 tahun lalu, hanya mengingatkan orang pada blunder kebijakan anti-narkoba. Di AS dan banyak tempat lain, aksi gagah-gagahan ini dimulai dengan melangkahi hukum dan berakhir gagal.

Gagalnya "War on Drugs"

Tepat pada 17 Juli 1971, Presiden Amerika Serikat Richard Nixon mendeklarasikan "war on drugs" (perang melawan narkoba) di hadapan Kongres dan menyatakan narkoba sebagai "musuh publik nomor satu". War on drugs, yang akhirnya bertransformasi menjadi undang-undang dalam tempo enam bulan (Comprehensive Drug Abuse Prevention and Control Act) dan mendapat pendanaan senilai USD 84 juta, "merupakan cara satu-satunya melawan narkoba dengan melakukan penyerangan di segala penjuru."

Namun, meskipun menyatakan narkoba sebagai "musuh publik", keputusan Nikon melakukan war on drugs sesungguhnya lebih kompleks. Ed Vulliamy, dalam tulisannya di The Guardian, menyebut bahwa motivasi utama Nixon adalah memberantas penyalahgunaan narkotika di kalangan prajurit AS yang baru pulang dari Vietnam. Nixon tidak memilih upaya-upaya preventif, tetapi mewajibkan para prajurit untuk ikut tes urin. Kebijakan Nixon juga tidak berusaha membendung narkoba di tengah masyarakat. Akibatnya, war on drugs ala Nixon gagal total.

Sialnya, usai Nixon lengser dari kursi kepresidenan gara-gara skandal Watergate, dampak war on drugs yang diteruskan presiden-presiden AS selanjutnya pun menghasilkan konsekuensi yang lebih buruk--termasuk dalam babak war on drugs ala AS di Afghanistan dan Meksiko.

Afghanistan adalah negeri penghasil opium terbesar di dunia. Sebagaimana dicatat Julien Mercille dalam "The U.S. 'War on Drugs' in Afghanistan: Reality of Pretext?" (Critical Asian Studies Vol. 43/2011) saban tahun, Afghanistan menghasilkan 7.700 metrik ton opium yang bernilai USD 3 miliar bagi Afghanistan atau USD 60 miliar di jalan-jalan di seluruh dunia. Dari Afghanistan, opium yang diproduksi diedarkan ke pasar, entah ke Eropa melalui rute Turki atau ke Asia, Afrika, dan Rusia melalui rute negara-negara di Asia Tengah.

Mayoritas opium yang dihasilkan Afghanistan dikendalikan oleh Taliban. Menurut laporan UNODC, badan di bawah PBB yang menangani masalah narkoba, Taliban mengeruk uang senilai USD 125 juta per tahun dari opium yang menjadi sumber penghasilan utama Taliban untuk melakukan aksi-aksi teror. Walhasil, war on drugs menjadi jawaban bagi Washington untuk menghentikan aliran dana ke pundi-pundi Taliban ini.

Usai Komandan Komando Pusat AS sekaligus Komandan ISAF (pasukan bantuan keamanan internasional) Jenderal David Petraus menyatakan duit dari opium sebagai "oksigen bagi Taliban", ribuan pasukan AS dan NATO diterjunkan untuk menggempur ladang-ladang opium sejak 2001. Ironisnya, serangan itu turut menewaskan warga sipil yang miskin dan bekerja di ladang opium di bawah ancaman Taliban. Tercatat, semenjak 2001 hingga 2005, AS hanya menangkap Bashir Noorzai yang dijuluki "Pablo Escobar dari Afghanistan".

Yang tak kalah ironis, masih merujuk Mercille, meskipun Taliban mengeruk laba besar dari bisnis opium, penerima keuntungan terbesar dari getah tanaman Papaver somniferum L. atau P. paeoniflorum ini adalah orang-orang di pemerintahan Afghanistan pasca-pendudukan alias teman-temannya Paman Sam. Saban tahun, dari USD 3 miliar penghasilan yang dihasilkan opium, 75 persennya jatuh ke tangan para pejabat.

Tak ada satu pun pejabat Afghanistan yang ditangkap AS dalam operasi melawan narkoba ini. Bashir Noorzai, "si orang besar dalam bisnis opium Afghanistan" memang ditangkap. Namun, menurut Duta Besar AS untuk Afghanistan, Zalmay Khalalzad, ia hanya dicokok "untuk membuat semua orang senang". Yang lebih ironis lagi, meskipun digempur habis-habisan sejak 2001, produksi opium di Afghanistan justru meningkat alih-alih menurun.

Dalam pandangan Mercille, war on drugs AS di Afghanistan adalah aksi unjuk gigi belaka untuk membuktikan kedudukan Washington sebagai polisi dunia, khususnya di mata sekutu-sekutunya yang menjadi pasar utama opium dari Afghanistan.

Dalam studi lainnya berjudul "Violent Narco-Cartels or US Hegemony? The Political Economy of the 'war on drugs' in Mexico" (Third World Quarterly Vol. 32/2011), Mercille memaparkan fenomena yang sama di Meksiko--produsen dan distributor utama yang menyediakan narkoba di AS dengan keuntungan senilai USD 39 miliar per tahun. Ironisnya, semenjak AS menerjunkan pasukan gabungan di Meksiko sejak 2008 silam, pasokan narkoba tetap aman. Operasi itu hanya menewaskan 40.000 jiwa--mayoritas berasal dari kalangan warga sipil, dari mulai yang terlibat secara terpaksa di bisnis narkoba hingga yang tidak tahu apa-apa.

Dalam catatan sejarah, sebelum AS menjalankan perang anti-narkoba di Amerika Tengah dan selatan, Meksiko berhasil mengendalikan narkoba melalui kesepakatan win-win solution antara pemerintah dengan para kartel. Tentu, solusi bersama tersebut tidak menghilangkan narkoba, tetapi menekannya seminimal mungkin dan menjaga agar tidak ada korban jiwa. AS merusak "ketenteraman" ini.

War on drugs di Meksiko bergulir karena AS menganggap Meksiko sebagai salah satu negara Amerika Latin pemasok bahan mentah, misalnya minyak. Dengan menyerang kartel-kartel narkoba Meksiko, AS dinilai sebatas mengamankan kepentingannya atas sumber daya alam. AS gagal karena, seperti kisah di Afghanistan, banyak kartel di Meksiko sempat memperoleh pendidikan dan bantuan persenjataan dari AS. Misalnya, pada akhir 1960-an, AS bekerjasama dengan beberapa kartel untuk membasmi gerilyawan sayap kiri.

Filipina pun ketularan perang anti-narkoba. Danilo Andres Reyes, dalam studinya berjudul "The Spectacle of Violence in Duterte's 'War on Drugs'" (Journal of Current Southeast Asia Affairs Vol.3/2016), menyebut hanya dalam tempo enam bulan Rodrigo Duterte menjabat Presiden Filipina pada 30 Juni 2016, ia telah membunuh lebih dari 6.100 warganya yang diduga sebagai aktor peredaran narkoba. Umumnya, pembunuhan dimulai dengan pencatatan tentang siapa saja yang diduga terlibat peredaran. Orang yang ditangkap polisi seringkali dibunuh tanpa proses peradilan.

Kebijakan Duterte terbukti tidak efektif. Peredaran narkoba di Filipina hanya berkurang tak sampai 10 persen. Duterte juga dipandang hanya ingin membuat namanya melambung sebagai pemimpin yang "berhasil" menekan peredaran narkoba demi elektabilitas di pemilu berikutnya. War on drugs di Filipina berubah menjadi teror bagi masyarakat. Negara sewaktu-waktu dapat membunuh warganya, dengan terlebih dahulu memasukan nama orang yang hendak dibunuh pada daftar buruan narkoba.

Pemberantasan narkoba lewat war on drugs memang menggelikan. Hasilnya jauh dari kata sukses. Kebijakan ini lebih menyasar produsen/distributor alih-alih membereskan kondisi-kondisi sosial yang membuat narkoba dikonsumsi. Kondisi-kondisi itu menyebabkan permintaan tak pernah surut dan melahirkan produsen/distributor baru.

Di berbagai tempat di seluruh dunia, baik kebijakan maupun retorika "War on Drugs" adalah karya orang-orang yang miskin imajinasi sosial.

Baca juga artikel terkait WAR ON DRUGS atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Hukum
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf