Menuju konten utama

Walter Tull: Kisah Pesepakbola & Prajurit Pendobrak Sekat-Sekat Ras

Kisah Walter Tull menjadi pemain sepak bola profesional di tengah diskriminasi rasial.

Walter Tull: Kisah Pesepakbola & Prajurit Pendobrak Sekat-Sekat Ras
Walter Tull. FOTO/N/A /en.wikipedia.org/

tirto.id - Nama Walter Tull mungkin terdengar asing di telinga banyak pecinta sepak bola hari ini. Kariernya sebagai pemain sepak bola profesional memang sangat singkat, hanya sekitar lima tahun sejak pertama kali membela Tottenham Hotspur pada 1909. Namun, pencapaiannya di kancah sepak bola telah membuka peluang bagi pemain sepak bola berkulit hitam lainnya.

Dilahirkan pada tahun 1888, Tull hidup di masa yang sulit bagi orang-orang berkulit hitam. Sejak kecil, ia dihadapkan pada berbagai rintangan. Ketika belum genap 10 tahun, Tull kehilangan ibunya yang meninggal dunia akibat kanker. Sementara ayahnya, Daniel Tull, meninggal karena serangan jantung 2,5 tahun pasca kepergian ibu nya. Tull kecil sempat diasuh oleh ibu tiri, Clara, yang merupakan sepupu dari ibunya.

Besarnya biaya menghidupi enam anak memaksa Clara menyerahkan Tull dan Edward, saudara laki-laki kandungnya, ke sebuah panti asuhan di London Timur. Saat proses mengurus kepindahan Tull bersaudara, panti asuhan tersebut sempat mendapat surat dari organisasi amal setempat yang memperingatkan bahwa ayah kedua anak ini merupakan seorang berkulit hitam. Beruntung, pengurus panti asuhan tidak mempedulikan surat tersebut.

Tull tinggal di panti asuhan selama tujuh tahun. Edward lebih dulu diadopsi oleh pasangan dari Glasgow. Setelah ditinggal saudaranya, Tull menghabiskan waktu dengan bermain sepak bola untuk tim panti asuhan. Tull berposisi sebagai bek kiri. Kehebatannya mengolah kulit bundar tercium oleh klub amatir Clapton FC yang kemudian mengontraknya sebagai pemain. Sejak awal, penampilan Tull langsung memukau dan berhasil membantu Clapton FC menjuarai Amateur Cup, London Senior Cup, dan London County Amateur Cup.

Klub-klub profesional pada masa itu sering mencari pemain berbakat di liga amatir. Kegemilangan Tull selama musim pertamanya bermain di liga amatir memikat perhatian salah satu klub besar, Tottenham Hotspur, yang langsung mengundangnya ikut tur pra-musim mereka di Argentina.

Di liga profesional, ada regulasi yang membatasi gaji pemain sebesar £4 per minggu. Regulasi ini membangun kesadaran politik para pemain sepak bola. Sebagian pemain, termasuk Tull, menghadapi dilema persoalan moralitas. Sedangkan pemain lainnya mulai memperjuangkan haknya melalui pembentukan serikat pekerja.

Tekanan moral yang dihadapi Tull tidak sebanding dengan apa yang akan didapatkannya jika menjadi pemain profesional. Kenyataan sosial, ekonomi, dan politik mampu mengalahkan persoalan moral yang dihadapi Tull. Sebagai pemain berkulit hitam yang berkarier, menjadi pemain profesional di tengah diskriminasi rasial merupakan sebuah kemajuan besar bagi tercapainya cita-cita kesetaraan.

Tottenham secara resmi mendatangkan Tull dari Clapton FC dengan nilai transfer sebesar £10, nilai maksimal yang diperbolehkan di era tersebut. Sementara Tull mendapatkan upah sebesar £4 per minggu. Pada 1 September 1909, Tull bermain untuk pertama kalinya di kasta tertinggi Liga Inggris saat melawan Sunderland. Pertandingan ini sekaligus menjadikan Tull pemain profesional berkulit hitam pertama yang merumput di Inggris. Tull mencetak gol pertama saat Spurs dikalahkan Bradford dengan skor 5-1.

Dikutip dari laman Sky History, Penampilan perdana Tull langsung mencuri perhatian para jurnalis olahraga. Para wartawan olahraga menggambarkan Tull sebagai pemain yang mampu memukau semua orang, memiliki ketenangan dan akurasi umpan yang luar biasa.

Sayangnya, Tull hanya bertahan sekitar dua musim di Spurs dan lebih banyak bermain untuk tim reserves. Performa Tull selama membela Spurs sebenarnya lebih banyak menuai pujian alih-alih kritik. Alasan dibalik dipindahkannya Tull ke tim reserves menuai banyak perdebatan. Dalam “Walter Daniel Tull, 1888-1918: soldier, footballer, Black”yang terbit di jurnal Race and Class (1996), Phil Vasili mengungkapkan ada kemungkinan tekanan sosial kepada klub yang berperan, terutama saat Tull mendapatkan serangan rasisme di pertandingan melawan Bristol City.

Pada musim 1911/1912, Tull pindah ke klub yang bermain di Southern League, Northampton Town yang dilatih oleh manajer Herbert Chapman. Tull membela Northampton sebanyak 110 pertandingan dengan torehan sembilan gol. Penampilan Tull bersama Northampton sempat menarik minat Glasgow Rangers untuk merekrutnya. Sayangnya, Perang Dunia I pecah sehingga kepindahan Tull tidak pernah terwujud.

Infografik Walter Tull

Infografik Walter Tull. tirto.id/Quita

Masuk Militer

Pada akhir 1914, Tull mendaftar sebagai prajurit dan menjadi bagian dari batalion sepak bola pertama di resimen Middlesex. Tahun perdananya sebagai tentara dihabiskan di Inggris sebagai persiapan sebelum diterjunkan ke medan perang. Batalionnya baru dikirimkan ke Perancis pada November 1915 ke tempat yang jaraknya hanya beberapa mil dari lokasi pertempuran.

Batalion sepak bola pertama baru diturunkan pada pertempuran Somme yang pada hari pertamanya menelan korban lebih dari 60.000 orang dari pihak Britania Raya. Dalam pertempuran terakhir batalion ke-17 dari resimen Middlesex, 400 tentara diterjunkan. Hanya sekitar 79 prajurit yang selamat.

Peperangan di Somme membuat Tull menderita “Shell Shock” atau yang hari ini dikenal sebagai post-traumatic stress disorder (PTSD). Walhasil, Tull sempat dipulangkan ke Inggris untuk menjalani perawatan. Setelah menjalani rehabilitas, Tull mengikuti program pelatihan perwira pada 1917.

Peraturan militer Inggris pada masa tersebut sebenarnya melarang rektrutmen tentara dari “ras campuran” yang boleh memberi perintah atau instruksi kepada tentara berkulit putih. Singkatnya, tidak boleh ada tentara berkulit hitam yang pangkat atau jabatannya diatas tentara “eropa murni”. Namun, Tull berhasil mengikuti program pelatihan perwira di Gailes dan lulus dengan pangkat letnan dua. Keberhasilan Tull membuatnya menjadi orang berkulit hitam pertama yang menjadi perwira pasukan Inggris.

Masih merujuk catatan Vasili, ada beberapa kemungkinan mengapa Tull bisa diterima mengikuti program pelatihan perwira. Salah satunya karena anggota batalion Tull diisi oleh sesama pemain sepak bola. Banyak dari mereka yang saling mengenal dan memiliki ikatan tersendiri. Di antara para pemain sepak bola yang menjadi tentara, mereka tidak melihat dari warna kulit Tull, melainkan kemampuannya diatas lapangan yang juga bisa berguna di medan pertempuran.

Tugas pertama Tull sebagai perwira berhasil dijalankan dengan baik. Ia membawa pasukannya melewati garis musuh tanpa korban jiwa sehingga menuai pujian. Berbagai pertempuran berlalu di bawah komandonya hingga tibalah sebuah akhir tragis dalam serangan Jerman 1918.

Di wilayah tak berpenghuni, Tull tertembak dan langsung meninggal di tempat. Seorang prajurit sesama pesepakbola mencoba membawa pulang jasadnya, akan tetapi tidak berhasil. Hingga kini jasad Tull tidak pernah ditemukan.

Sebagai pahlawan perang, sudah sepantasnya Tull mendapatkan penghargaan Military Cross. Menurut Vasili, dikutip dari Sky History, alasan kuat dibalik tidak diberikannya penghargaan kepada Tull adalah mereka yang berkuasa tidak mau mengakui telah melakukan pelanggaran karena mengirim tentara kulit hitam ke medan perang.

Terlepas dari tidak adanya penghargaan Military Cross dan kariernya yang singkat di dunia sepak bola, Tull meninggalkan begitu banyak warisan yang berkontribusi pada perjuangan kesetaraan ras hari ini.

Baca juga artikel terkait SEPAKBOLA atau tulisan lainnya dari Rangga Naviul W

tirto.id - Olahraga
Penulis: Rangga Naviul W
Editor: Windu Jusuf