Menuju konten utama

Walhi Tagih Salinan Putusan PK Swastanisasi Air Jakarta

Walhi mempertanyakan keberadaan salinan hasil peninjauan kembali (PK) terhadap putusan Makhamah Agung tentang swastanisasi air Jakarta.

Walhi Tagih Salinan Putusan PK Swastanisasi Air Jakarta
Pedagang air bersih eceran mengisi jeriken air untuk dijual kepada warga di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara. tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu Perdana mempertanyakan keberadaan salinan hasil peninjauan kembali (PK) terhadap putusan Makhamah Agung tentang swastanisasi air Jakarta. Pasalnya, gugatan PK itu dimenangkan oleh Kementerian Keuangan, salinan dokumen itu tak kunjung diperoleh lembaganya.

“Kami sampai sekarang belum terima salinan dokumen hasil PK-nya. Ada apa ini?” ucap Wahyu kepada reporter Tirto pada Rabu (20/2/2019) di Eksekutif Nasional Walhi.

Persoalan yang dimaksud Wahyu merupakan langkah Kemenkeu yang mengajukan PK terhadap putusan MA No. 31 K/Pdt/2017 pada 2018 lalu.

Dalam putusan MA, Wahyu menerangkan bahwa lembaga peradilan itu memenangkan gugatan yang diajukan oleh 12 anggota koalisi masyarakat menolak swastanisasi air Jakarta. Mereka yang menjadi tergugat adalah Kemenkeu, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra).

Hingga saat ini, Wahyu mengatakan lembaganya masih menanti putusan PK itu. Sebab hal itu diperlukan untuk menentukan langkah lanjutan.

Namun, ia menyatakan bahwa pada dasarnya PK yang diajukan oleh Kemenkeu bermasalah sebab dalam argumentasinya tak ada bukti baru (novum) yang diajukan. Kemenkeu, kata Wahyu, hanya mempertanyakan kategori jenis gugatan yang digunakan koalisi yaitu citizen lawsuit.

Di samping itu, pengajuan PK itu dianggap mengabaikan adanya fakta bahwa pengelolaan air oleh swasta sama-sama tidak memperbaiki ketersediaan air bagi masyarakat. Ia mengutip data Kementerian Kesehatan yang menyatakan bahwa 72,31 persen konsumsi air bersih masyarakat masih dipenuhi dengan membeli dari industri air dan hanya 12,90 persen diantaranya yang dipenuhi melalui leding meteran.

“Ini menunjukkan pendekatan Kemenkeu tidak menyentuh hal substantif,” ucap Wahyu.

Selain itu, ia menegaskan bahwa pengelolaan air yang diserahkan kepada swasta merugikan publik. Sebab dalam prosesnya ia melihat adanya klausul yang membebankan defisit penerimaan perusahaan pada APBD dan APBN. Padahal dengan cara itu, swastanisasi air telah merugikan negara.

“Sampai 2010 saja hutang defisitnya mencapai Rp583 miliar,” ucap Wahyu.

Baca juga artikel terkait SWASTANISASI AIR atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri