Menuju konten utama

Walau Tak Bisa Disembuhkan, Demensia Bukanlah Kiamat

Jika kakek, nenek, atau orang tuamu mulai pikun, ajak mereka menari!

Walau Tak Bisa Disembuhkan, Demensia Bukanlah Kiamat
Demensia bukanlah sebuah penyakit namun suatu gejala kelainan pada otak yang ditandai terganggunya mental seseorang yang menyebabkan gangguan berpikir dan hilang ingatan. Getty Images/iStockphoto 

tirto.id - Kate Swaffer sangat syok saat pertama kali didiagnosis menderita demensia pada umur yang belum terlalu sepuh, 49 tahun. Gairahnya untuk bekerja dan melanjutkan hidup sontak hilang. Selama dua bulan, Kate hanya mengutuki diri sendiri, bersiap menghadapi kematian.

“Saya tidak menyangka, dan sungguh sangat tidak menyenangkan ketika dokter mengatakan itu,” kata Kate kepada Tirto, Kamis (1/11/2017).

Ia khawatir demensia semantik yang dideritanya mengganggu aktivitas normalnya, termasuk kesulitan dalam mengingat orang-orang yang dicintai. Untungnya, Kate tak berlangsung lama dihantui kecemasan. Ia segera mencari ragam informasi tentang demensia dan berhasil berdamai dengan penyakit ini. Kini, ia bahkan dinobatkan menjadi 100 perempuan paling berpengaruh di Australia karena telah mengedukasi orang-orang mengenai demensia.

“Bahwa sebenarnya dampak demensia dapat ditekan dengan terus berkegiatan. Jadi, jalani hidupmu!” kata Kate penuh keyakinan.

Kate kini menjadi CEO & co-founder Dementia Alliance International. Lembaga nirlaba itu memiliki keanggotaan dari seluruh dunia yang eksklusif khusus bagi mereka yang secara medis telah didiagnosis menderita berbagai tipe demensia. Kate memimpin lembaganya dalam memberikan edukasi, dukungan dan advokasi tentang dan bagi para penderita demensia.

Mengenal Demensia

Demensia terjadi karena kerusakan sel otak yang menyebabkan komunikasi antar-sel menjadi terganggu. Akibatnya, fungsi otak menurun dan menyebabkan gangguan ingatan. Penyakit ini memiliki beberapa turunan, alzheimer merupakan tipe demensia yang paling sering diidap, yakni sebanyak 40-70 persen. Menyusul demensia vaskular mencapai 15-25 persen, lalu demensia lewy body 2-20 persen, demensia fronto temporal 2-4 persen, dan demensia lainnya seperti parkinson, huntington, trauma kepala, dll.

Baca juga: Ciplukan yang Sedang Naik Daun

Lazimnya demensia diidap orang berumur 65 tahun lebih, tetapi bisa juga diidap orang berumur 40 tahun. Hanya saja, persentase kemungkinannya hanya sekitar 2 persen saja.

Dr. Yuda Turana, SpS, seorang ahli neurologi, menjelaskan gejala demensia yang patut diwaspadai. Sepuluh gejala yang disebut Yuda adalah gangguan daya ingat, sulit fokus, sulit melakukan kegiatan sehari-hari, disorientasi tempat dan waktu, sulit memahami visio spasial, sulit berkomunikasi, menaruh barang tidak pada tempatnya, salah membuat keputusan, menarik diri dari pergaulan, dan perilaku serta kepribadian berubah.

“Jika melihat sepuluh ciri itu, segera cek ke dokter. Biasanya dokter menanyakan gejalanya pada pasien atau keluarga sebelum melakukan MRI,” katanya dalam diskusi mengenai Alzheimer di Jakarta, Kamis (1/11/2017).

Beberapa faktor yang akan mempercepat seseorang terkena demensia adalah gaya hidup. Merokok dan minum alkohol dipercaya meningkatkan risiko demensia. Faktor lain adalah penyakit kronis seperti stroke dan hipertensi, dan berusia di atas 65 tahun.

Baca juga: Manfaat Berhenti Merokok

infografik demensia

Menurut data dari Alzheimer's Disease International (ADI) pada tahun 2015, dampak ekonomi dunia akibat demensia pada 2015 diperkirakan mencapai $818 miliar. Pada 2018, penyakit ini akan diprediksi bisa menimbulkan kerugian mencapai $1 triliun, dan meningkat menjadi $2 triliun pada 2030.

Mirisnya, sebanyak 68 persen orang dengan demensia merupakan masyarakat dari negara miskin dan menengah. Di Asia, diperkirakan terdapat 23 juta orang menderita demensia. Asia merupakan kawasan kedua dengan peningkatan tertinggi penderita demensia di dunia.

“Penderita demensia bertambah setiap tiga detik. Totalnya akan ada 31,5 juta orang dengan demensia di tahun 2030 nanti,” kata Paola Barbarini, CEO ADI dalam forum yang sama dengan saat Dr. Yuda berbicara.

Meski data penderita demensia tak tercantum di Riset Kesehatan Dasar, namun ADI memperkirakan pada 2030 terdapat 4 juta orang dengan demensia di Indonesia. Dr. Yuda Turana dkk., pernah mengadakan penelitian mandiri tentang prevalensi orang dengan demensia di Yogyakarta pada 2016 lalu.

Mereka mewawancarai 1976 orang lanjut usia dan 1415 pendamping/keluarga terdekat yang tinggal di 1.500 rumah tangga. Hasilnya, diketahui sebanyak 20 persen dari responden tersebut mendapat demensia. Dan 10 persennya mengatakan telah kehilangan ingatannya.

Baca juga: Dampak Alkohol

Penanganan Orang dengan Demensia

Tak hanya menyebabkan kehilangan memori, demensia juga menyulitkan penderita menjalankan aktivitas harian dan mengakibatkan disorientasi. Orang dengan demensia masih harus menerima kesulitan lainnya karena tak ada obat yang dapat menyembuhkan. Rumah sakit yang memiliki unit khusus untuk menangani demensia di Indonesia pun hanya tiga, satu berada di Surabaya, dua lainnya di Jakarta.

Karena belum ditemukan obat untuk menyembuhkan, maka orang dengan demensia sangat perlu perhatian dari lingkungan sekitar. Semakin parah penyakitnya, mereka akan semakin membutuhkan orang lain. Yang menyedihkan, dari 50 juta orang dengan demensia di dunia, ada 35 juta yang tak terdeteksi dan tak mendapat perhatian memadai dari lingkungan sekitar.

“Padahal, setelah terdiagnosis, orang dengan demensia hanya dapat bertahan hidup 8-10 tahun lagi,” kata Glenn Rees, Pimpinan ADI, masih dalam kesempatan serupa.

Ia melanjutkan, hanya perhatian dan dorongan untuk terus melanjutkan hidup yang membantu orang dengan demensia dapat terus bersemangat. Guna menghambat dampak-dampak demensia, Glenn menyarankan orang dengan demensia untuk selalu mengasah otak dengan membaca, bekerja, dan menyibukkan diri.

“Perlu juga untuk mendengarkan musik dan menari, karena kedua hal itu terbukti ampuh menghambat hilangnya memori.”

Baca juga: Naluri untuk Menari

Pernyataan Glenn diperkuat penelitian Hans Ragneskog yang dipublikasikan pada 1996. Setelah diperdengarkan musik selama total empat minggu, orang dengan demensia mengalami peningkatan nafsu makan. Musik juga mengurangi kadar cemas, depresi dan tendensi gampang tersinggung.

Sementara penelitian oleh Liisa Palo yang dipublikasikan pada 2002 menemukan manfaat positif ketika orang dengan demensia menari. Tubuh mereka lebih rileks, kesadaran akan gerak dan postur tubuh juga meningkat. Mereka cenderung mengembangkan ikatan emosional dengan pendamping dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi.

Penyebabnya adalah menari bukan hanya menggerakkan tubuh. Khususnya jika dilakukan bersama-sama, menari akan memicu orang-orang saling berinteraksi, bergandengan tangan, mengobrol, dan tertawa bersama. Pendeknya bersenang-senang.

Baca juga artikel terkait ALZHEIMER atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Musik
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Zen RS