Menuju konten utama

Wakil Ketua MPR Sarankan Masyarakat Uji Materi UU Terorisme

"Kalau kemudian masyarakat bilang ada yang kurang, boleh mengajukan judicial review ke MK untuk ditambahkan atau menambahkan lagi [usul] ke DPR," ujar Hidayat.

Wakil Ketua MPR Sarankan Masyarakat Uji Materi UU Terorisme
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Antara Foto/Ismar Patrizki

tirto.id - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyarankan masyarakat untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika merasa ada aturan yang kurang atau bermasalah di Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme baru.

Pernyataan itu disampaikan Hidayat saat menjawab pertanyaan ihwal ketiadaan definisi 'paham radikal terorisme' di UU itu. Menurut Hidayat, masyarakat juga bisa meminta ke DPR untuk menambahkan pasal-pasal yang dianggap perlu dimasukkan ke UU itu.

"Ikuti saja proses hukum yang sudah berjalan. Kalau kemudian masyarakat bilang ada yang kurang, boleh mengajukan judicial review ke MK untuk ditambahkan atau menambahkan lagi [usul] ke DPR," ujar Hidayat di kediamannya, Jakarta, Sabtu (26/5/2018).

UU Pemberantasan Terorisme sudah disahkan pada Jumat (25/5/2018). Beleid itu menggantikan UU 15 Tahun 2013 yang mengatur hal serupa. Beleid itu mengatur beberapa hal baru yang tak ada di UU 15/2013, diantaranya mengenai definisi terorisme.

Arti terorisme sesuai aturan itu adalah "Perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan."

Hidayat juga menyarankan masyarakat menanyakan ketiadaan definisi 'paham radikal' ke DPR dan pemerintah. Ia menganggap pertanyaan ke dua lembaga itu perlu dilakukan karena pembahasan UU Pemberantasan Terorisme dilakukan mereka.

"Karena UU ini kan inisiatif pemerintah. Kenapa pemerintah ga ajukan definisi itu," ujarnya.

Kalimat 'paham radikal terorisme' tercantum mulai BAB VIIA tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme. Bab itu mengatur tentang kontra radikalisasi dan deradikalisasi. Ketidakjelasan arti paham radikal terorisme bisa membuat penyidik menyalahgunakan wewenang.

"Penyidik dapat seenak sendiri menentukan orang-orang yang wajib mengikuti program kontra radikalisasi dan deradikalisasi," ujar Pengamat Terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto.

Baca juga artikel terkait UU TERORISME atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Yantina Debora