Menuju konten utama

Wakaliwood: Tawa, Sinema, dan Uganda

Perang, ledakan besar, tembak-tembakan, dan darah yang bercucuran. Wakaliwood adalah wadah imajinasi masyarakat Uganda

Wakaliwood: Tawa, Sinema, dan Uganda
Salah satu proses produksi film aksi Uganda dari Wakaliwood. FOTO/Wakaliwood

tirto.id - Di dalam sebuah bar, terjadi perkelahian antara tentara mabuk dengan warga sipil. Penyebabnya sepele: si orang sipil itu menuduh sang tentara menggoda istrinya di lantai dansa. Tak terima dengan tuduhan tersebut, sang tentara mencak-mencak.

Perkelahian tak bisa dihindarkan. Kedua belah pihak ngamuk. Si warga sipil mengeluarkan jurus tendangan gunting yang benar-benar mustahil dilakukan di dunia nyata. Si tentara pun terjatuh dengan keras sampai-sampai deretan kursi dan botol bir pecah berserakan.

Yang terjadi di luar bar lebih edan lagi. Helikopter membantai kerumunan dengan senapan otomatis, ledakan berskala besar mengacaukan seisi kota, dan aksi baku tembak membuat darah mengucur tanpa henti dari tubuh para pasukan.

Gambaran di atas adalah cuplikan dari film berjudul Who Killed Captain Alex? (2010). Apabila Anda menganggap film ini bikinan Hollywood, Anda salah besar. Nyatanya, dari Afrika film tersebut dibuat.

Mari kita sambut Wakaliwood, industri film di Uganda yang akan membuat Anda—cepat atau lambat—takjub dengan segala hal di dalamnya.

Tumbuh dari Wilayah Kumuh

Wakaliwood lahir di Wakaliga, sebuah perkampungan kumuh di Distrik Kampala yang berpenduduk sekitar 2.000 orang. Daerah ini kerap mati listrik, dilanda banjir, sekaligus kekurangan air.

Kenyataan tersebut tak membuat Isaac Nabwana berkecil hati. Sepintas, penggagas Wakaliwood itu hanya pemuda biasa yang besar kala rezim brutal Idi Amin berkuasa. Pendidikannya tak tinggi. Ia menghabiskan waktunya dengan bertani untuk menambah penghasilan keluarganya.

Tapi, di balik itu semua, minatnya pada film teramat besar—dan inilah yang membuatnya berbeda dari mayoritas pemuda Kampala lainnya.

Benih-benih cinta sinema sudah muncul sejak usianya belia. Ironisnya ketika masih kecil, Nabwana tak pernah nonton film karena dilarang ibunya. Ia cuma mengandalkan cerita kakak laki-lakinya.

Film-film laga Arnold Schwarzenegger, Dolph Lundgren, Chuck Norris, Rambo, serta Jackie Chan adalah tontonan kesukaan Nabwana. Para bintang laga itu pun kelak jadi inspirasi utamanya dalam membuat film.

Seiring waktu, keinginan itu benar-benar diwujudkan Nabwana. Ia menabung upah dari pekerjaannya membuat batu bata dan menjual pasir. Setelah terkumpul cukup banyak, pada 2006 ia mengambil kursus komputer dasar yang disambung lagi dengan belajar program penyuntingan seperti Premiere Pro atau After Effects.

Pada 2010, Who Killed Captain Alex? film garapan Nabwana dirilis ke pasaran. Film yang terinspirasi oleh pengalaman hidup selama kekuasaan rezim Idi Amin ini mengisahkan pertarungan kelompok mafia dengan tentara. Adegan tembak-menembak, perkelahian, hingga kekacauan terus berlangsung selama dua jam film berlangsung.

Proses pembuatan film ini dilakukan secara maraton. Dari penulisan naskah, produksi, syuting, sampai pengeditan diselesaikan dalam waktu satu bulan. Setelah jadi, film langsung dijual keesokan harinya.

Tak dinyana, sambutan terhadap Who Killed Captain Alex? meriah. Vice mencatat, film ini terjual lebih dari 10 ribu keping di Uganda. Sementara di YouTube, cuplikan Who Killed Captain Alex? sudah ditonton lebih dari 2 juta orang.

Respons positif tersebut memacu semangat Nabwana dalam membuat film. Ia, bersama istrinya dan rekan kerjanya, Harriet, lantas membikin rumah produksi sendiri bernama Ramon Film Productions (terinspirasi dari nama neneknya, Rachel dan Monica, yang membesarkannya selama Perang Sipil Uganda).

Dengan bendera Ramon Film Productions (RFP), Nabwana kemudian membuat Bukunja Tekunja Miti, Tiger Mafia, The Return of Uncle Benon, Rescue Team, Tebaatusasula: EBOLA, The Crazy World, serta Operation Kakongoliro yang disebut-sebut sebagai The Expendables-nya Uganda. Total, hingga 2015, RFP telah memproduksi 44 film yang bercorak sama: laga dan pertarungan di samping juga menyentil isu sosial terkini macam kemiskinan dan ketimpangan.

Geliat film di Uganda turut menarik perhatian Allan Hofmanis, Direktur Program Lake Placid Film Festival. Hofmanis, seperti dilaporkan BBC, langsung jatuh hati ketika melihat klip Who Killed Captain Alex? untuk kali pertama dari kawannya serta berkeinginan datang ke Uganda.

Hofmanis benar-benar berkunjung ke Uganda pada Desember 2011. Saat bertemu dengan Hofmanis, Nabwana nampak keheranan. Ia bertanya-tanya mengapa ada orang dari jauh rela datang ke Uganda hanya untuk melihatnya membuat film. Namun, setelah mendapatkan penjelasan, mereka kemudian berbincang selama lima jam dan berkawan.

Usai perjalanan pertamanya, Hofmanis tercatat sudah enam kali mengunjungi Uganda. Pada Maret 2014, ia memutuskan menjual seluruh hartanya dan pindah ke Wakaliga. Di sana, bersama Nabwana, Hofmanis merencanakan sesuatu yang besar. Keduanya ingin Wakaliwood lebih dikenal banyak orang. Salah satu langkah yang ditempuh ialah mengadakan penggalangan dana untuk produksi film EBOLA.

Target Hofmanis, crowdfunding yang diinisiasinya bisa mengumpulkan $160. Tapi, yang terjadi justru di luar ekspektasi. Al Jazeera mewartakan, proyek penggalangan dana lewat Kickstarter itu berhasil mengumpulkan $13 ribu. Dari uang tersebut, mereka membeli generator, proyektor, serta hard drive untuk menunjang kinerja pembuatan film.

Sambutan publik internasional makin meriah. Cuplikan film-film RFP yang diunggah ke YouTube disaksikan banyak orang dari seluruh penjuru dunia serta mereka mulai diundang tampil di festival internasional, seperti Fantastic Fest di Austin, Amerika, pada 2016.

Sambutan penonton domestik pun tak kalah heboh. Al Jazeera menyebutkan, Wakaliwood telah berjasa meningkatkan jumlah rumah produksi film di Uganda, dari yang semula hanya tiga buah pada 2008 meningkat menjadi 500 di tahun ini.

Tak perlu membandingkan Wakaliwood dengan Hollywood. Film-film Wakaliwood tidak dibuat dengan biaya besar dan perkakas canggih. Wakaliwood sama artinya dengan film berbujet rendah, menggunakan barang-barang keseharian seperti besi tua, wajan, sampai pipa sebagai propertinya, serta proses penyuntingan ala kadarnya. Setiap produksi, satu film Wakaliwood menghabiskan dana sekitar $2 hingga $200.

Dari sini, Anda akan melihat bagaimana adegan-adegan dalam film Wakaliwood begitu menggelikan; efek visual tambal sulam, darah palsu yang dibungkus dengan kondom, mesin senapan besar yang diciptakan sang insinyur Dauda Bissaso, serta lelucon ataupun komentar improvisasi yang keluar dari mulut sang VJ (Video Joker) sebagai si pengalih bahasa.

Kendati kualitas filmnya begitu amatir dan medioker, Wakaliwood tak ambil pusing. Bagi mereka, film merupakan produk seni yang dibangun secara komunal serta atas dasar kecintaan. Partisipasi masyarakat Wakaliga serta kerelaan pemain dan kru untuk dibayar dengan setengah keuntungan per penjualan kaset adalah salah dua contohnya.

“Film bagiku seperti persahabatan,” jelasnya. “Aku tidak bikin film demi uang. Aku melakukannya untuk berkomunikasi,” ujar Nabwana

Masalah Klasik Film Afrika: Pembajakan

Dalam laporannya berjudul “A Ugandan Filmmaker's Quest to Conquer the Planet with Low-Budget Action Movies,” Vice menulis bahwa ada dua masalah yang dihadapi Wakaliwood: pembajakan dan ketiadaan distributor.

Absennya distributor dan ekshibitor—atau dalam hal ini bioskop—di Uganda telah memaksa para pegiat Wakaliwood turun ke lapangan, keliling dari satu pemukiman ke pemukiman lainnya untuk jualan film. Setiap film dibanderol dua hingga tiga ribu shillings (setara satu dolar).

Hitung-hitungannya, mengutip Vice, apabila film Wakaliwood terjual 10.000 keping, maka tim produksi bisa memperoleh keuntungan $1.500. Hal ini terjadi kala Rescue Team (2011) terjual 8.000 keping serta Who Killed Captain Alex? yang laku 10.000 keping.

Namun, keuntungan tersebut tak serta merta bisa dimanfaatkan begitu saja. Kadang, keuntungan ini dipakai untuk menutup kerugian hasil mencetak cakram digital dan biaya pembuatan film.

Infografik Wakaliwood

Problem berikutnya ialah pembajakan. The Economist mencatat, pelaku film di Wakaliwood hanya punya waktu kurang dari seminggu untuk memaksimalkan penjualannya. Lebih dari itu, para pembajak mulai bermain dan siap menyabotase penjualan. Diperkirakan pada minggu pertama, terdapat 20.000 ribu DVD bajakan dari film yang baru saja dibuat. Dalam kurun satu bulan, jumlahnya naik jadi 60.000 keping.

Sebetulnya, masalah semacam itu tak dialami Wakaliwood saja. Nollywood, industri film Nigeria yang sudah lebih mapan (menghasilkan perputaran uang senilai 200 hingga 300 juta dolar dan berstatus sebagai industri film terbesar kedua dunia berdasarkan jumlah judul yang diproduksi) juga tak luput dari problem yang sama.

Berdasarkan data Biro Statistik Nasional Nigeria, dari valuasi industri film senilai tiga miliar dolar, penjualan tiket resmi beserta royalti hanya menyumbang tak kurang dari satu persen. Sebagian besar bahkan berasal dari penjualan kaset bajakan produksi distributor ilegal yang dijual seharga dua dolar di pasaran.

Banyak produser memperkirakan sebanyak 70 persen dari total pendapatan tahunan hilang akibat pembajakan. Ketua Badan Sensor Film dan Video Nasional Emeka Mba menjelaskan bahwa kurangnya struktur pencegahan pembajakan dan tingginya tingkat informalitas merupakan tantangan besar bagi industri film Nigeria.

Terlepas dari problem-problem klasik yang entah sampai kapan bisa diselesaikan, Wakaliwood telah membuktikan bahwa film adalah medium untuk menyatukan visi, semangat kolektif, serta menjaga harapan. Anda mungkin bisa menyatakan film-film Wakaliwood adalah karya pandir. Tapi, bagi masyarakat Uganda, Wakaliwood merupakan wadah fantasi yang luar biasa.

Baca juga artikel terkait AFRIKA atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Film
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf