Menuju konten utama

Wajar Saja Kita Tidak Percaya Polisi Indonesia

Menjadi benar tidak cukup untuk lolos dari jerat hukum dan mendapat keadilan dari Polri. Kasus harus menjadi viral agar ada desakan dari publik.

Wajar Saja Kita Tidak Percaya Polisi Indonesia
Polisi mengamankan seorang pengunjuk rasa saat demonstrasi menentang Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Kota Magelang, Jawa Tengah Jumat (9/10/2020). ANTARA FOTO/Anis Efizudin/wsj.

tirto.id - Bayangkan Presiden ke-3 Indonesia Abdurrahman Wahid alias Gus Dur masih hidup. Suatu hari dia membuka Twitter kemudian melontarkan guyonan. “Di negeri ini,” demikian pembukaan cerita, “cuma ada tiga polisi jujur: patung polisi, polisi tidur, dan polisi Hoegeng.”

Beberapa waktu kemudian mungkin Gus Dur akan berakhir di penjara.

Gus Dur benar-benar mengatakan itu di zaman ketika internet bahkan masih merupakan benda langka. Kelakar ini terus dikutip hingga sekarang.

Ada alasan kuat mengapa Gus Dur menyebut nama Hoegeng, Hoegeng Imam Santoso, Kepala Polri periode 1968-1971. Di antara pejabat yang suka menjilat Presiden Soeharto, Hoegeng justru jadi salah satu yang paling tidak peduli.

Suatu hari Menhankam/Pangab Maraden Panggabean sengaja membeli stik golf paling mahal yang bisa dia dapat untuk melawan Soeharto. Tentu saja Maraden tetap kalah atau sengaja mengalah untuk menyenangkan hati Sang Jenderal. Setelah itu “kontan Panggabean memuji-muji kehebatan permainan golf Soeharto,” catat Aris Santoso, dkk. dalam Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009), buku berisi wawancara Hoegeng dengan George Junus Aditjondro, aktivis penentang Orde Baru.

Hoegeng tidak mau ikut bermain. Alasannya sederhana: tidak punya uang. Golf adalah olahraga yang mahal dan dia tidak ingin ada utang budi kepada siapa pun yang bersedia membelikannya tongkat golf.

Saking bersihnya Hoegeng, sampai-sampai di masa pensiun ia harus mencari tambahan pendapatan dengan bekerja sebagai host acara musik Hawaiian di TVRI sekaligus menjadi penyanyinya.

Tapi konteks omongan Gus Dur bisa jadi bermacam-macam, tidak hanya pada masa Orde Baru, karena sempat dia lontarkan lagi di masa Reformasi.

Tentu saja guyon Gus Dur tidak lucu bagi Polri. Bukan di era Orde Baru yang mengekang kebebasan berekspresi melainkan di era Reformasi.

Seorang warga Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara harus berurusan dengan polisi karena mengunggah pernyataan Gus Dur tersebut. Ismail sempat menghapusnya setelah diperintah seorang pejabat kabupaten. Kendati demikian, polisi masih mendatanginya–menanyakan maksud dan tujuan unggahan tersebut. Setelahnya, Ismail disuruh pulang.

Baru 30 menit menghirup kebebasan, Ismail dipanggil lagi dan diperiksa penyelidik, kemudian keterangannya dicantumkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Hasilnya, Ismail harus meminta maaf melalui konferensi pers agar tidak diproses hukum. Ismail akhirnya menyanggupi permintaan tersebut.

“Buat jadi pelajaran saya. Buat saya dan semua, kalau posting itu kutip saja, saya rasa belum aman,” kata Ismail kepada Tirto, Rabu 17 Juni 2020.

Dari kasus ini kita paham bahwa guyon Gus Dur tidak dimaknai sebagai kritik oleh Polri namun pencemaran nama baik. Polri seharusnya paham bahwa pencemaran nama baik dalam UU ITE tidak bisa dilekatkan pada “institusi”, tapi toh cukup untuk menakuti sipil seperti Ismail untuk tak mengkritik atau sekadar menyindir.

Viral adalah Kunci

Ada polisi baik dan ada polisi busuk. Ketika ada anggota yang melakukan pidana, bertindak tak sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP), atau kedapatan memalak sopir truk, Polri kerap menyebutnya sebagai oknum. Artinya adalah pribadi, segelintir, tidak semua anggota demikian.

Pertanyaannya: mana yang lebih tepat dikatakan oknum jika publik sudah banyak sekali menemukan anggota yang bertindak tidak sewajarnya?

Misalnya saja soal kelakukan Aipda Ambarita yang ramai diberitakan baru-baru ini. Anggota Raimas Backbone–tim Sabhara Jakarta Timur–itu menggeledah paksa gawai milik sipil hanya atas dasar curiga alias tanpa indikasi kuat pelanggaran pidana.

Alasan Ambarita saat itu adalah untuk mencegah kejahatan dan sudah merupakan wewenang Polri melakukan hal tersebut. Nyatanya, polisi tidak punya kewenangan seperti itu.

Video kelakuan Ambarita dan kelompoknya sebenarnya tidak baru–bahkan sudah ada di internet sebelum pandemi. Bedanya baru belakangan ini orang-orang memperhatikannya dan akhirnya Ambarita dipanggil Propam untuk diperiksa.

Satu kasus lain yang juga cukup ramai dibicarakan baru-baru ini menimpa LG, seorang perempuan yang berprofesi sebagai pedagang. Ia diduga dianiaya oleh preman berinisial BS di Pajak Gambir Tembung, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. Kasus bermula ketika LG menolak memberikan uang Rp500 ribu kepada si pemalak, 5 September 2021.

Bukannya kasus ditangani, LG malah dijadikan tersangka. Setelah kasus itu viral di media sosial, Kapolda Sumatra Utara Irjen Pol R. Z. Panca Putra Simanjuntak memerintahkan Kapolrestabes Medan dan Direktorat Kriminal Umum Polda Sumatera Utara untuk menarik kasus itu.

Perilaku minus anggota Polri seperti dua contoh kasus di atas mulai ramai dibicarakan setelah geger laporan media massa (bukan blog pribadi seperti yang dikatakan Kepala Analis CCIC Polri) Projectmultatuli tentang penghentian penyelidikan dugaan pemerkosaan tiga anak oleh ayah sendiri di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Laporan ini termasuk serial reportase dengan tajuk #PercumaLaporPolisi. Tagar ini pun langsung ramai seiring laporan diperbincangkan. Sehari setelah laporan keluar, #PercumaLaporPolisi dicuitkan sebanyak 14,8 ribu kali dan artikel itu sendiri disimak oleh setidaknya 50,8 ribu akun–belum termasuk media lain yang bersolidaritas mereproduksi artikel tersebut. Tagar tersebut kerap dilengkapi dengan berbagai cerita warga yang dikecewakan oleh polisi.

Setelah sekian banyak keluhan-keluhan di media sosial, giliran tagar #OknumAparatBrengsek yang ramai di Twitter. Setidaknya ada 5,8 ribu perbincangan yang sudah melibatkan tagar ini.

Infografik Mozaik Cikal Bakal Polri

Infografik Mozaik Cikal Bakal Polri

Awalnya Polri menutup telinga soal pemerkosaan di Luwu Timur. Akun Instagram Humas Polres Luwu Timur bahkan melabeli laporan Projectmultatuli sebagai hoaks. Mereka mengaku sudah melakukan pemeriksaan sesuai prosedur. Tapi tentu saja warga internet tidak sepakat dan menyerbu akun Polres Luwu Timur. Tidak lama, akun IG itu menutup kolom komentar.

Setelah itu barulah penyelidikan dibuka lagi oleh Polri.

Di sisi lain, terduga pelaku melaporkan ibu korban yang juga mantan istrinya ke Polda Sulawesi Selatan dengan pasal pencemaran nama baik. Alasannya, kasus disebut pemerkosaan padahal seharusnya pencabulan dan dia merasa seolah-olah tulisan menuding pelaku sudah melakukan pemerkosaan–padahal belum terbukti.

Laporan ini diterima begitu saja oleh polisi dengan dalih tidak bisa menolak laporan. Ini tidak tepat. Dalam Pasal 8 Peraturan Kapolri Nomor 12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan pengaduan memang “wajib diterima” oleh anggota Polri yang bertugas di Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK). Namun Pasal 3 ayat (3) Perkap Nomor 6 tahun 2019 mengindikasikan Polri bisa menolak laporan jika memang dirasa tidak cukup untuk lanjut ke tahap berikutnya. Anggota Polri bisa “melakukan kajian awal guna menilai layak/tidaknya dibuatkan laporan polisi.”

Buktinya, saat aksi #ReformasiDikorupsi 2019 lalu, Polri enteng saja menolak laporan dua wartawan dengan dalih kurangnya bukti, padahal seharusnya tahap penyelidikan digunakan untuk mengumpulkan barang bukti.

Mungkin kasusnya akan berbeda jika viral. Polri belakangan begitu perhatian jika kasus menjadi viral. Segala permasalahan akan ditindaklanjuti.

Barangkali ini terkait dengan janji mantan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Tito yang sekarang menjabat Menteri Dalam Negeri ingin Polri bisa jadi lembaga yang lebih dipercaya publik. Menyelesaikan kasus yang jadi perhatian publik tentu jadi kunci.

Dalam survei Alvara Strategi Indonesia, tingkat kepercayaan publik pada Polri mencapai 86,5% dan tingkat kepuasan di angka 82,3% pada Juni 2021. Dua capaian ini meningkat dari yang sebelumnya hanya 70,8% dan 78,8%.

Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) yang membuat survei serupa mencatat tingkat kepercayaan publik pada Polri hanya 66,3% pada Agustus 2021. Temuan tahun lalu dari Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri juga tak bisa dikatakan bagus dalam kaitannya dengan agenda reformasi Polri. Propam menemukan ada 6.409 kasus pelanggaran, meningkat 54% dibanding 2019 dengan 4.151 kasus.

Setelah demonstrasi masif di 2019 dan 2020, menurunnya kepercayaan pada Polri sebenarnya sesuatu yang wajar. Penanganan aksi adalah salah satu penentu penting kepercayaan masyarakat.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sarah Nuraini Siregar menilai meski Polri di era Reformasi sudah lebih baik dari masa Orba, banyak dari mereka yang masih bertindak sewenang-wenang, terutama pada saat menghadapi demonstrasi. Demo #ReformasiDikorupsi 2019 dan demo omnibus law 2020 cukup jadi contohnya.

Bagi Sarah, salah satu faktor yang jelas mengapa itu terjadi adalah lemahnya pengawasan Polri itu sendiri.

“Selama ini pengawasan Polri dilakukan secara internal yang dilaksanakan oleh Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum). Pengawasan yang dilakukan oleh mereka adalah mengontrol kesesuaian dan kebenaran terhadap pelaksanaan tugas dan penggunaan anggaran seluruh jajaran Polri. Akan tetapi Irwasum sendiri juga diragukan keefektifannya mengingat anggota di dalam jajaran ini adalah anggota Polri juga sehingga akan kesulitan menindak sesama rekan mereka sendiri,” catat Sarah dalam Evaluasi Sepuluh Tahun Reformasi Polri (2016).

Setelah ramai pembahasan kasus aparat membanting mahasiswa di Tangerang, kemudian pedagang yang seharusnya korban malah jadi tersangka di Sumatra Utara, dan penganiayaan pengendara motor di provinsi yang sama, Kapolri Listyo Sigit Prabowo memberikan instruksi agar divisi hubungan masyarakat kepolisian setempat harus transparan terhadap penyelidikan kasus. Pertanyaannya: bagaimana dengan kasus lain, misal soal kasus pemerkosaan di Luwu Timur atau ada anggota Polri yang diduga meneror warganet?

Selain itu, instruksi Listyo semakin menguatkan pendapat bahwa untuk mendapatkan transparansi dan kredibilitas dari Polri kasus harus dibuat viral terlebih dulu.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto melihat inilah masalah dalam penanganan perkara di kepolisian. Korban jadi tersangka memang bisa saja terjadi, tapi masalahnya, apakah itu berpihak pada keadilan yang sebenarnya atau tidak? Semua bergantung pada subjektivitas penyidik–yang bisa terjadi karena tidak ada pengawasan yang ketat.

Ketika muncul pengawasan dari publik: viral, baru kasus itu dibenahi.

“Kemudian muncul 'delik viral'. Diviralkan dahulu baru bertindak adil,” kata Bambang.

Listyo Sigit boleh saja mengaku Polri tidak anti kritik. Tapi setelah kasus reportase tentang pemerkosaan di Luwu Timur, banyak orang-orang yang mengejek dan mengkritik Polri harus menghadapi ancaman dan teguran. Ada juga cuitan dari Kepala Analisis CCIC (Cyber Crime Investigation Centre) Polri Kompol M. Yunus yang justru tidak terima dengan laporan Projectmultatuli.

Baru setelah omongan Listyo soal kritik itu, akun-akun yang awalnya meneror warganet mulai berubah sikap. Humas Polda Kalimantan Tengah, misalnya, meminta maaf atas ucapan sebelumnya dan berterima kasih pada kritik yang muncul. Sedangkan Yunus juga menonaktifkan akun Twitter-nya setelah berhari-hari dianggap warganet punya logika ngawur.

Perubahan ini tentu baik, tapi apakah konsisten atau tidak tak ada yang tahu. Yang bisa diharapkan untuk menghadapi ketidakadilan dari Polri sejauh ini memang hanya desakan publik. Dan itu bisa terjadi hanya dengan satu kondisi: viral.

Baca juga artikel terkait POLISI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino