Menuju konten utama
Kebijakan Energi Era Jokowi

Wacana Usang Subsidi LPG 3 Kg: Distribusi Tertutup hingga Nontunai

Pemerintah akan mengubah subsidi LPG 3 kg menjadi bantuan nontunai. Namun wacana ini maju mundur sejak satu dekade terakhir.

Petugas menata tabung gas LPG 3 kg sebelum pengisian ulang di agen LPG, Bandung, Jawa Barat, Kamis (7/6/2018). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan pemerintah berencana mengubah subsidi Liquefied Petroleum Gas (LPG) tabung 3 kg atau Elpiji Melon dan minyak tanah menjadi subsidi berbasis orang dalam program perlindungan sosial alias bantuan nontunai. Jika disetujui, maka kebijakan ini akan mulai berlaku pada 2022.

"Transformasi ini mulai terjadi di tahun 2022,” kata Febrio dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Badan Anggaran DPR RI, Rabu (7/4/2021).

Subsidi yang akan dialihkan ke bentuk nontunai akan diberikan kepada masyarakat yang sudah terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteran Sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial. Artinya, tidak semua orang dapat membeli Elpiji Melon dengan harga subsidi seperti yang selama ini berjalan.

"Akan dilakukan dengan perbaikan sistem DTKS, ini dilakukan dengan kerja sama pemerintah daerah dalam rangka updating, verifikasi, dan validasi data, sehingga datanya semakin reliable dan akurat," kata Febrio.

Rencana perubahan subsidi LPG ke bansos ini diklaim akan lebih bermanfaat dan tepat sasaran. Sebab, kata Febrio, selama ini pemberian subsidi LPG 3 kg maupun subsidi lain tidak tepat sasaran karena ketidakakuratan data.

Febrio mengungkap, dari besaran subsidi untuk LPG 3 kg yang dikeluarkan pemerintah setiap tahun, 40 persen termiskin hanya pakai 36,4% total subsidi LPG 3 kg. Sementara 40 persen terkaya menikmati 39,5% total subsidi Elpiji Melon tersebut.

"Kelihatan bahwa yang menikmati subsidi itu adalah orang yang justru yang tidak berhak. Inilah yang kami perbaiki ke depan,” kata dia.

Wacana yang dikemukakan Febrio saat rapat di Banggar DPR ini bukan hal baru. Skema pemberian subsidi LPG 3 Kg dengan cara distribusi tertutup bahkan sudah dibahas sejak satu dekade terakhir. Sayangnya, wacana ini tidak pernah terealisasi dan selalu dijadikan opsi saat anggaran Elpiji Melon membengkak di APBN.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan kebijakan ini sebetulnya sudah diuji coba oleh kementerian teknis, yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Pertamina hanya tinggal eksekusi. Namun, sejak awal periode pertama pemerintahan Jokowi pada 2014 hingga saat ini belum juga terealisasi.

"Tapi ya itu maju mundur, enggak tahu apa yang menyebabkan tidak segera dilakukan. Dulu ada mekanisme kartu dengan sistem transfer, tapi harga di pasar tetap 1. Misalnya harga di pasar Rp30 ribu, tapi saya bayar Rp20 ribu karena punya kartu, ada juga bayar Rp30 ribu nanti Rp10 ribu ditransfer balik,” kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (9/4/2021).

Komaidi menilai alasan dari maju mundurnya program ini adalah ketidaksiapan data. “Sebelum diimplementasikan sudah kepentok di situ. Seperti yang sudah-sudah, problem di kita kan masalah basis data. Kalau data enggak valid, enggak jalan juga,” kata dia.

Meski demikian, Komaidi mengatakan, jika kebijakan Elpiji Melon ini direalisasikan, maka secara otomatis beban subsidi yang selama ini ditanggung APBN akan semakin ringan.

Impact-nya banyak, keadilan sosial, fiskal, beban subsidi otomatis akan lebih ringan. Neraca dagang juga berpotensi positif. LPG kan 75 persen masih diimpor. Jadi impor berkurang, neraca dagang akan membaik, moneter akan ada perbaikan,” kata dia.

Beban subsidi yang ditanggung pemerintah untuk memfasilitasi LPG 3 kg dalam lima tahun terakhir memang terus meningkat. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pemerintah menganggarkan subsidi LPG 3 kg pada 2015 sebesar Rp25,9 triliun, kemudian 2016 sempat turun ke angka Rp24,9 triliun.

Namun pada 2017 angka subsidi naik menjadi Rp38,7 triliun, kemudian terus naik di 2018 menjadi Rp58,1 triliun, pada 2019 subsidi turun menjadi Rp54,2 triliun, kemudian pada 2020 turun menjadi Rp32,8 triliun dan di 2021 menjadi Rp36,564 triliun.

Beban dari penyediaan fasilitas LPG 3 kg bukan hanya di subsidi, tapi juga di neraca dagang. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, sumber utama penyediaan LPG 72,1% -nya berasal dari impor, kemudian 27,9% disuplai dari domestik. Tentu dengan dominasi impor, LPG 3 kg menyumbang defisit ke neraca dagang Indonesia.

Sementara itu, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, Indonesia belum siap untuk menerima kebijakan soal penghapusan subsidi LPG 3 kg.

“Ini harus hati-hati pendataan sehingga nanti enggak menimbulkan naiknya angka kemiskinan. Kemudian penurunan daya beli apalagi dalam konteks sekarang proses pemulihan ekonomi di pandemi COVID-19 itu catatan pertamanya,” kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (9/4/2021).

Bhima menjelaskan, jika kebijakan ini ternyata tidak siap dari sisi data dan kondisi di lapangan, maka masyarakat kecil yang didominasi oleh UMKM pengguna LPG 3 kg akan sangat terdampak.

“Implikasinya pada kenaikan pengeluaran masyarakat yang memang benar-benar membutuhkan. Ini yang harus benar-benar diperhatikan. Masalah pendataan untuk penerima bantuan dari pemerintah pusat sampai level desa yang enggak singkron juga belum selesai. Kita belum siaplah, kita untuk buru-buru mencabut dalam kondisi saat ini,” kata dia,

Terlebih pada 2022, kata Bhima, ketahanan ekonomi masyarakat belum terlalu kuat imbas pandemi. “Ya banyak pertimbangannya [sebelum siap cabut subsidi] tapi enggak ada tuh negara dalam situasi resesi ekonomi justru melakukan penyesuaian subsidi, malah yang ada adalah subsidinya ditambah,” kata dia.

Hal senada disampaikan ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal. Ia menyebut rencana pemerintah untuk mencabut subsidi LPG 3 kg harus dikaji ulang. Karena tidak semua daerah mengalami pemulihan ekonomi yang cepat, perlu ada kajian dan masa peralihan yang membuat masyarakat tidak kaget dengan harga baru LPG.

“Pemerintah harus mempertimbangkan ulang, plus minusnya mengkaji ulang karena sering kali ini berbeda kondisi antara daerah 1 dan daerah yang lain, terutama yang perlu diperhatikan adalah daerah-daerah yang jauh. Jadi itu yang perlu diperhatikan kalau banget plus minusnya jadi penting memilih mana yang paling efektif,” terang dia.

Baca juga artikel terkait SUBSIDI LPG 3 KG atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah & Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah & Vincent Fabian Thomas
Penulis: Selfie Miftahul Jannah & Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz
-->