Menuju konten utama

Wacana Perwira TNI Isi Pos Sipil, Jokowi Jangan Hidupkan Dwifungsi

Presiden Jokowi jangan sampai menyetujui wacana dan rencana revisi tersebut lantaran itu merupakan langkah mundur dalam proses reformasi TNI

Wacana Perwira TNI Isi Pos Sipil, Jokowi Jangan Hidupkan Dwifungsi
Presiden Joko Widodo (tengah) berbincang dengan Menkopolhukam Wiranto (ketiga kanan), Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian (ketiga kiri) dan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (kedua kanan) usai Rapat Pimpinan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri Tahun 2019 di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (29/1/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/pd.

tirto.id - Penempatan perwira menengah dan tinggi untuk mengisi jabatan di institusi sipil sedang diwacanakan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. Wacana ini muncul menyusul restrukturisasi yang akan dilakukan Presiden Joko Widodo terhadap perwira TNI.

Wacana tersebut baru bisa terlaksana jika ada revisi terhadap UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, terutama menyangkut pasal 47. Revisi terhadap pasal itu akan memungkinkan perwira TNI bisa berkiprah di instansi sipil dan saat ini sedang ditunggu Hadi.

“Kami menginginkan bahwa lembaga atau kementerian yang bisa diduduki oleh TNI aktif itu eselon satu, eselon dua. Tentunya akan juga menyerap pada eselon-eselon di bawahnya, sehingga kolonel bisa masuk di sana,” kata Hadi di Mabes TNI, Jakarta Timur, Kamis (31/1/2019).

Wacana penempatan TNI di pos sipil dan rencana revisi terhadap UU TNI ini dikritik pengamat militer sekaligus dosen FISIP UPN Veteran Jakarta, Beni Sukardis. Menurut Beni, Presiden Jokowi jangan sampai menyetujui wacana dan rencana revisi tersebut lantaran itu merupakan langkah mundur dalam proses reformasi TNI.

Ini sama artinya dengan memainkan kembali peran TNI pada masa Orde Baru. Apalagi dwifungsi adalah salah satu agenda utama reformasi 1998.

"Itu, kan, kembali ke dwifungsi ABRI. Kurang tepat kalau dia [TNI] masuk ke dalam lembaga-lembaga sipil lagi," kata Beni kepada reporter Tirto, Rabu (6/2/2019).

Peneliti pada Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) itu juga mengatakan, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sudah mengembalikan tugas dan fungsi TNI sebagai prajurit. Namun dengan wacana revisi yang didengungkan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, fungsi TNI sebagai prajurit yang berada di barak bisa jadi pupus.

Situasi ini pun, kata dia, sudah tampak dengan penempatan perwira TNI dalam sejumlah jabatan di birokrasi sipil lewat jalur kerja sama. Dalam catatan Beni, ada beberapa kementerian yang sudah menempatkan para perwira ini lewat mekanisme kerja sama antarlembaga.

"Sekarang, fungsi mereka ngapain?” kata Beni.

Lebih Baik Dipensiunkan

Duduk perkara dari rencana ini tak lepas dari banyaknya perwira yang tak punya pekerjaan alias nonjob. Masalah ini sempat diakui Hadi Tjahjanto selepas pertemuan Jokowi dengan sejumlah perwira di Istana Merdeka, Selasa, 29 Januari 2019.

Jokowi merespons masalah ini dengan menyampaikan rencana restrukturisasi di tubuh tentara dengan membuka jabatan-jabatan baru sebanyak 60 pos dan bisa diisi personel militer berpangkat kolonel yang bisa dipromosikan menjadi perwira tinggi.

Surplus perwira yang diutarakan Hadi memang diakui Beni. Namun, Beni berkeyakinan penempatan perwira TNI di luar unit tugas dan fungsi kemiliteran bukanlah solusi.

Sebaliknya, ia menyarankan para perwira itu mengambil pensiun dini atau dipensiundinikan daripada masuk ke jabatan publik yang berpotensi melanggar aturan.

"Lebih baik mereka pensiun saja, suruh pensiun dini, it’s okay. Itu jalan keluar paling taktis menurut saya, dan itu sudah dilakukan oleh beberapa pensiunan selama ini," kata Beni.

Kritik serupa disuarakan Kepala Divisi Pembelaan HAM Kontras Arif Nur Fikri. Menurut Arif, ada regulasi yang mengatur penempatan TNI di ranah sipil yang termaktub dalam Pasal 47 ayat 2 UU TNI.

Jika penempatan itu terjadi di luar ketentuan pasal tersebut, kata Arif, anggota TNI harus mengundurkan diri terlebih dahulu. Ia pun mempersoalkan dalih banyaknya perwira nonjob yang jadi pertimbangan wacana revisi UU TNI dan penempatan TNI di ranah sipil.

Menurut Arif, kondisi itu menunjukkan ada masalah dalam manajemen pembinaan internal TNI sehingga yang diperlukan adalah evaluasi.

"Jadi jangan mengambil jalan pintas yang justru menyalahi aturan perundang-undangan dengan menempatkan para perwiranya di institusi di luar yang diatur dalam Pasal 47," kata Arif kepada reporter Tirto.

Jika wacana yang sedang mengemuka itu dieksekusi, menurut Arif, risikonya justru akan menghambat kaderisasi di institusi lainnya. Hal ini sama saja menangani masalah dengan memunculkan masalah baru.

Dalih TNI: Perwira Dibutuhkan Kementerian

Kapuspen TNI Mayjen Sisriadi tak memungkiri jika revisi yang diusulkan, memang buat menempatkan sejumlah pati di institusi sipil. Penempatan ini, kata dia, dilakukan karena banyak permintaan dari sejumlah institusi sipil yang membutuhkan tenaga dan keahlian para perwira.

Sisriadi menyebut, sejauh ini ada 10 kementerian yang meminta personel TNI untuk menduduki jabatan di institusi mereka yang dilandasi nota kesepahaman antara TNI dan institusi terkait karena tak ada payung hukum yang mengatur di UU TNI.

“Penambahan [revisi] itu lebih kepada permintaan, beberapa kementerian melihat itu sehingga bertemulah kami. Ada masalah kelebihan dan ada yang ingin meminta. Sehingga disampaikanlah mungkin bisa diselesaikan dengan membuat undang-undang,” kata Sisriadi, di Balai Media TNI, Jakarta Pusat, kemarin.

Namun, ia membantah revisi UU TNI yang didorong Panglima TNI sebagai upaya mengembalikan dwifungsi. Sisriadi mengklaim, dwifungsi tak mungkin kembali lantaran sistem yang sudah ada sekarang sudah tak memungkinkan.

“Apa yang disampaikan Panglima TNI, tidak akan kembali ke sana,” kata Sisriadi menegaskan.

Baca juga artikel terkait TNI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher & Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Mufti Sholih