Menuju konten utama

Vonis PT NKE & Sederet Korporasi yang Terancam Jerat Pidana Korupsi

Selain PT NKE yang sudah divonis, saat ini terdapat tiga korporasi lain yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Vonis PT NKE & Sederet Korporasi yang Terancam Jerat Pidana Korupsi
Pekerja membersihkan logo Komisi Pemberantasan Korupsi di gedung KPK, Jakarta, Senin (5/2/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis bersalah terhadap PT Nusa Konstruksi Enjineering (NKE), pada Kamis (3/1/2019). Perusahaan yang sebelumnya bernama Duta Graha Indah itu dihukum membayar kerugian negara sebesar Rp85,4 miliar serta denda Rp700 juta.

Tak hanya itu, majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan untuk PT NKE berupa larangan mengikuti lelang proyek negara selama 6 bulan.

Namun, vonis yang diterima PT NKE itu jauh lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa. Sebab, jaksa KPK menuntut korporasi itu dihukum membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp118,73 miliar, denda Rp1 miliar, serta larangan mengikuti lelang proyek pemerintah selama 2 tahun.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengapresiasi putusan tersebut meski lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa.

Selain itu, kata Febri, komisi antirasuah juga belum memutuskan apakah akan menerima vonis itu atau mengajukan banding. Alasannya, KPK masih perlu melakukan analisa apakah akan banding atau tidak.

“Kami masih perlu analisis dulu. Nanti setelah ada keputusan yang diambil dari proses analisis itu, baru dilakukan tindakan-tindakan,” kata Febri, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (3/1/2019).

Febri mengatakan vonis terhadap PT NKE ini akan menjadi pelajaran KPK ke depannya dalam pemidanaan korporasi lain.

Saat ini, kata Febri, KPK sedang memproses perkara korupsi yang dilakukan korporasi lainnya. Mantan aktivis ICW ini berharap, putusan ini bisa dikembangkan dalam proses penuntutan maupun penyidikan kasus lain sehingga menjadi standar institusi peradilan.

Teror Bagi Korporasi

Pernyataan Febri yang menyebut KPK akan menjadikan vonis PT NKE sebagai acuan penanganan perkara yang melibatkan perusahaan bisa menjadi “teror” bagi mereka yang bermain “proyek haram.”

Hingga saat ini, setidaknya KPK sedang memproses 2 perkara lain yang menyeret perusahaan. Kasus pertama adalah korupsi yang dilakukan PT Nindya Karya (NK) dan PT Tuah Sejati (TS).

Kedua korporasi tersebut ditetapkan sebagai tersangka dalam korupsi proyek pembangunan dermaga bongkar muat pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang. Proyek yang dibiayai dengan skema anggaran multiyears dari APBN 2006-2011 itu diduga mengalami kerugian negara sebesar Rp313 miliar dari total nilai total proyek sebesar Rp793 miliar.

Penetapan kedua korporasi sebagai tersangka itu berdasarkan pengembangan perkara korupsi dengan terpidana Heru Sulaksono, yakni Kepala Cabang PT Nindya Karya Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam, sekaligus kuasa Nindya Sejati Joint Operation.

Heru sendiri sudah divonis bersalah dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda 5 miliar subsider 1 tahun dan membayar uang pengganti Rp23,12 miliar.

Dalam proses korupsi ini, KPK menduga ada 5 penyimpangan proyek. Komisi antirasuah menduga NK dan TS mengambil untung mencapai Rp94,58 miliar. PT Nindya Karya mendapat keuntungan Rp44,68 miliar dari proyek itu. Sementara PT Tuah Sejati diduga memperoleh keuntungan sebesar Rp49,9 miliar.

Kasus lain yang menyeret korporasi adalah kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan tersangka PT Putra Ramadhan (PT. Trada).

Penetapan tersangka ini sebagai tindak lanjut dari kasus dugaan penerimaan suap terkait pengadaan barang dan jasa APBD Kabupaten Kebumen, serta kasus gratifikasi dengan tersangka Mohammad Yahya Fuad alias MYF selaku Bupati Kebumen 2016-2021 yang sudah diselidiki KPK sejak Januari 2018.

KPK menemukan bukti permulaan yang cukup keterlibatan PT Tradha dalam kasus korupsi Yahya Fuad.

Berdasarkan hasil pengembangan perkara, Yahya Fuad disebut sebagai pengendali PT Tradha. Perusahaan ini pun ikut dalam sejumlah proyek di Kebumen dan menjadi alat cuci uang Yahya Fuad dalam melakukan korupsi.

PT Tradha juga diduga menerima uang dari para kontraktor yang merupakan “fee” proyek di lingkungan Pemkab Kebumen senilai Rp3 miliar.

Penerimaan itu seolah-olah dianggap sebagai utang dan uang operasional. Padahal keuntungan dalam operasional dan pengembangan bisnis PT Tradha juga bercampur dengan sumber lainnya yang dipakai untuk kepentingan pribadi Yahya Fuad.

Selain dua kasus di atas, ada juga korporasi yang disebut dalam dakwaan maupun berkas tuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK.

Dalam kasus korupsi e-KTP, misalnya, tuntutan jaksa menyinggung 7 korporasi yang diuntungkan dalam korupsi yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.

Ketujuh korporasi itu antara lain: Manajemen Bersama Konsorsium PNRI sejumlah Rp137,9 miliar; Perum PNRI sejumlah Rp107,7 miliar; PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp145,8 miliar; PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp148,8 miliar; PT LEN Industri sejumlah Rp3,4 miliar; PT Sucofindo sejumlah Rp8,2 miliar; dan PT Quadra Solution sejumlah Rp79 miliar.

Infografik CI KPK Jerat Korporasi

Infografik CI KPK Jerat Korporasi

Hukuman Korporasi Perlu Diperberat

Ahli Hukum Pidana dari Universitas Sumatera Utara (USU) Mahmud Mulyadi menekankan agar setiap korporasi bisa dipidana supaya tidak melakukan upaya koruptif atau pidana lain di masa depan.

“Korporasi itu kalau memang dia terbukti terlibat dalam melakukan tindak pidana korupsi, ya dia seharusnya tetap dihukum berat sehingga ada unsur penjeraan juga,” kata Mahmud kepada reporter Tirto, Jumat (4/1/2019).

Mahmud menjelaskan, korporasi bisa dipidana dengan menggunakan pendekatan identifikasi atau identification theory. Menurut dia, teori ini melihat apakah suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang dalam kapasitas sebagai agen/bagian dari korporasi atau bukan.

Dalam hal ini, kata Mahmud, penegak hukum melihat apakah tindakan itu dilakukan korporasi berdasarkan hasil keputusan perusahaan atau individu.

Mahmud mengatakan hukuman yang diberikan kepada korporasi yang terbukti bersalah harus harus berat. Hal ini, kata dia, perlu dilakukan agar memberikan efek jera. Mahmud berharap, hukuman terhadap perusahaan bisa lebih berat dengan tingkat tuntutan yang besar.

Namun, kata dia, besaran tuntutan juga harus memperhatikan dampak dari tindak pidana korporasi tersebut. “Kalau standar kesalahannya itu berat, maka tentunya tuntutannya harus lebih berat lagi,” kata Mahmud.

Karena itu, Mahmud berharap, KPK semakin sering melakukan pemidanaan terhadap korporasi. Akan tetapi, ia mengingatkan, kasus korupsi yang melibatkan korporasi tidak mudah untuk diusut. Sebab, korporasi merupakan bagian white collar crime.

Menurut Mahmud, pelaku ini bisa melakukan tindak pidana karena mempunyai jaringan ke pemerintahan atau memiliki modal untuk kepentingan pribadi.

Oleh karena itu, kata Mahmud, masyarakat perlu mendukung tindakan KPK karena penegak hukum yang masuk dalam penanganan korupsi korporasi harus kuat.

Baca juga artikel terkait KORUPSI KORPORASI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz