Menuju konten utama

Vonis Mati Meningkat, Indonesia Melawan Arus Global

stigma narkotika sebagai kejahatan serius mempengaruhi bobot hukuman

Vonis Mati Meningkat, Indonesia Melawan Arus Global
Avatar Usman Hamid. tirto.id/Sabit

tirto.id - Tren vonis pidana mati di dunia tengah menurun, sebuah penanda yang baik untuk mengukur prospek penghapusan hukuman mati. Tapi tren ini justru meningkat secara signifikan di Indonesia. Mengapa dan bagaimana implikasinya ke depan?

Saya ingin mengawalinya dengan potret hukuman mati di dunia. Secara global, ada tren penurunan jumlah eksekusi mati sebesar 5% menjadi 675 eksekusi pada tahun 2019, dibandingkan tahun lalu yang berjumlah 690 eksekusi. Ini merupakan yang terendah selama 10 tahun terakhir.

Begitu pula dengan tren putusan pidana mati. Terjadi penurunan jumlah vonis mati, dari 2.531 vonis mati yang tercatat sepanjang tahun 2018 menjadi 2.307 vonis mati secara global di tahun 2019. Potret ini tergambar dalam laporan Amnesty International berjudul “Eksekusi dan Vonis Mati 2019” yang dirilis pada 21 April 2020.

Meski tidak ada negara yang menghapus hukuman mati pada 2019, sudah mulai terlihat keinginan negara-negara retensionis yang mempertahankan hukuman mati untuk mereduksi hukuman mati secara bertahap.

Ini adalah kemajuan positif dan menunjukkan sebuah momentum global yang baru, yaitu keluar dari pengecualian pemberlakuan hukuman mati (escape from exceptionality). Alasannya beragam, mulai dari tidak adanya efek jera, tertutupnya peluang rektifikasi ketika seseorang telah dieksekusi secara keliru, sampai dengan sulitnya mewujudkan peradilan yang tanpa ada potensi kesalahan.

Nomor Satu di ASEAN

Sayangnya, situasi Indonesia bertolak belakang dengan tren global. Di saat banyak negara mengurangi jumlah eksekusi dan vonis mati, Indonesia justru menambah daftar terpidana yang menunggu eksekusi.

Meskipun sepanjang 2019--bahkan sejak 2016--Indonesia tidak melaksanakan eksekusi mati, terdapat 80 kasus baru vonis mati sepanjang tahun lalu dan menempatkan Indonesia di peringkat satu di ASEAN. Angka ini meningkat nyaris dua kali lipat dari 2018, yaitu 48 kasus.

Dari total 80 kasus tersebut, ada sebanyak 60 kasus narkotika (75%) dengan rincian 52 kasus untuk warga negara Indonesia (WNI) dan 8 kasus untuk warga negara asing (WNA). Sisanya adalah kasus pembunuhan (18 kasus), pemerkosaan anak (1) dan terorisme (1).

Pertanyaannya, mengapa di tengah absennya eksekusi mati justru terjadi peningkatan vonis mati? Apakah vonis mati meningkat karena jumlah kasus narkotika meningkat? Jika tidak, lalu apa sebenarnya yang menyebabkan vonis mati terus diterapkan dalam jumlah yang bertambah?

Tren Narkotika Menurun

Saya berpendapat, tampaknya ada semacam “kemarahan judisial“ terhadap kasus-kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika terutama bila melihat jenis kasus yang divonis mati atau jika melihat pertimbangan hakim di balik vonis. Misalnya, data di atas memperlihatkan bahwa vonis mati yang dijatuhkan oleh pengadilan adalah rata-rata terkait kasus narkotika.

Akan tetapi, peningkatan ini terjadi bukan karena meningkatnya kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, melainkan lebih karena kuatnya keyakinan hakim yang menilai narkotika sebagai kejahatan luar biasa atau kejahatan sangat serius. Setidaknya ini terlihat dari segi value of crime (kualitas), jika bukan dalam hal rate of crime (kuantitas).

Secara kuantitas, sulit untuk mengatakan bahwa naiknya jumlah vonis mati disebabkan oleh meningkatnya jumlah kasus narkotika (rate of crime) di Indonesia. Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi mencatat, jumlah kasus kejahatan narkotika berkurang dari 964 kasus dengan 1352 tersangka pada 2018 menjadi 797 kasus dengan 1.151 tersangka di tahun 2019. Data BNN pusat mencatat tren penurunan yang sama, yaitu dari 78 kasus dengan 204 tersangka pada 2018 turun menjadi 70 kasus dengan 160 tersangka pada 2019.

Selain itu, tren angka prevalensi narkotika di Indonesia juga menurun, yaitu orang yang pernah memakai narkotika lalu berhenti dan tidak lagi mengkonsumsi narkotika. Pada akhir 2019, BNN mencatat penurunan angka prevalensi narkotika sekitar 0,6 %, yaitu dari jumlah 4,53 juta jiwa (2,40 %) menjadi 3,41 juta jiwa (1,80 %). BNN menyatakan, “hampir sekitar satu juta jiwa penduduk Indonesia berhasil diselamatkan dari pengaruh narkotika.”

Lebih jauh, ini konsisten dengan angka prevalensi narkotika sejak 2011 sampai 2019 yang menurun cukup signifikan. Menurut BNN, “pada tahun 2011 prevalensi pada angka 2,23 %, pada tahun 2014 prevalensi pada angka 2,18 %, pada tahun 2017 pada angka 1,77 % dan pada tahun 2019 pada angka 1,80 %”. Jika pun ada peningkatan, hanya 0,03% dibanding tahun sebelumnya dan itu lebih karena adanya jenis narkotika baru.

Stigma Kejahatan Luar Biasa

Lalu apa yang menyebabkan peningkatan tersebut? Tampaknya lebih pada adanya stigma negatif yang kuat narkotika adalah kejahatan luar biasa (the most serious crime). Ini terlihat baik dalam pernyataan-pernyataan yang keluar dari sebagian unsur pemerintah maupun masyarakat.

Stigma ini juga terlihat dalam pandangan hakim bahwa kasus narkotika tergolong dalam kehahatan yang sangat serius, sebuah jenis kejahatan yang oleh Pasal 6 ayat 2 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dikecualikan sebagai kejahatan yang dimaklumi untuk dijatuhi hukuman mati di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati.

Meski begitu, definisi the most serious crime yang disebut ICCPR memang dapat diinterpretasikan berbeda di setiap negara dan sudah banyak diperdebatkan artinya. Namun, masih banyak hakim di Indonesia yang membenarkan hukuman mati untuk kasus narkotika dengan menggunakan argumen pasal 6(2) ICCPR tersebut. Dengan kata lain, kuatnya stigma tersebut mempengaruhi keyakinan hakim bahwa narkotika, minimal secara value of crime, adalah kejahatan luar biasa yang boleh divonis mati.

Misalnya dalam kasus Pengadilan Negeri Sekayu, Sumatera Selatan ketika memvonis mati terdakwa R dan H atas peredaran gelap 137 Kg sabu. Majelis yang terdiri dari Iriaty Khairul Ummah bersama Andy dan Harianja mengatakan, narkotika itu “… bukan hanya membunuh hidup, tetapi membunuh kehidupan manusia, bahkan masyarakat luas. … menghilangkan belasan ribu nyawa manusia setiap tahun, … menghancurkan kehidupan dan masa depan generasi penerus bangsa,” (16/1/2020).

Di bagian lain, hakim menjelaskan,“... pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik.“ Majelis merujuk Mahkamah Konstitusi yang pada 2007 menyatakan,“... Pasal 6 ayat 2 ICCPR itu ... membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati ... untuk kejahatan yang paling serius.

Stigma negatif terhadap kasus narkotika sebagai kejahatan luar biasa juga diperkuat oleh pernyataan Presiden Jokowi yang berkali-kali menolak permohonan grasi napi narkoba, walaupun grasi sempat diberikan kepada napi korupsi. Eksekusi narapidana hukuman mati merupakan tindakan yang tidak dapat diperbaiki kembali, sehingga jika putusan keliru tidak lagi dapat diubah di kemudian hari.

Tentu ada sebab lain yang perlu diteliti. Yang jelas, sebagaimana tercermin dalam penjelasan bahwa“Namun hak hidup manusia dibatasi dibatasi oleh hak hidup orang lainnya,” banyak hakim meyakini bahwa hak hidup itu bukan hak yang bersifat absolut. Itu berarti perjalanan menuju penghapusan hukuman mati masih panjang.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.