Menuju konten utama

Vonis Jurnalis Diananta: Mencoreng Kebebasan Pers di Era Jokowi

Jurnalis Diananta divonis penjara. Aktivis menilai ini mencoreng kebebasan pers di era Presiden Jokowi.

Vonis Jurnalis Diananta: Mencoreng Kebebasan Pers di Era Jokowi
Sejumlah jurnalis dari AJI Jakarta menggelar aksi solidaritas di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (29/9/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama.

tirto.id - Mantan Pemimpin Redaksi Banjarhits.id Diananta Putera Sumedi divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Kotabaru Kalimantan Selatan dengan perkara nomor 123/Pid.Sus/2020/PN.KTB, Senin (10/8/2020). Pria berusia 36 tahun itu diganjar hukuman penjara tiga bulan 15 hari.

Hakim yang dipimpin Meir Elisabeth menilai Diananta melanggar Pasal 28 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)," karena berita berjudul Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel.

Berita yang membawa Diananta masuk penjara itu terkait sengketa tanah antara masyarakat Suku Dayak di Desa Cantung Kiri Hilir Kecamatan Kelumpang Hulu dan Hampang dengan PT. Jhonlin Agro Raya. Dalam artikel itu Diananta mewawancarai Ketua Majelis Umat Kaharingan Sukirman. Wawancara terjadi di Banjarmasin, Jumat 8 November 2019. Diananta mengutip Sukirman yang menyebut ada potensi konflik antara Dayak dan Bugis akibat sengketa tersebut.

Selain di Banjarhits, artikel ini juga ditayangkan media nasional Kumparan pada 2019 lalu--kini telah dihapus.

Majalah Tempo menyebut awalnya Sukirman "memberi tanggapan bagus terhadap artikel yang ditulis Diananta." Namun ia berbalik arah dengan melaporkan Diananta ke Polda Kalsel pada pertengahan november.

Sukirman belakangan membantah berita tersebut. Menurutnya Diananta salah kutip, dan sayangnya wawancara tak direkam. Setelah menjalani pemeriksaan ketiga, Diananta ditahan pada Senin 4 Mei 2020.

Coreng Kebebasan Pers

Komite Keselamatan Jurnalis, terdiri dari beberapa organisasi yang bergerak di bidang pers, hukum, dan kebebasan berekspresi seperti AJI, LBH Pers, SAFEnet, IJTI, YLBHI, AMSI, FSPMI, Amnesty International Indonesia, dan Sindikasi, merasa kecewa terhadap vonis ini.

Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis Sasmito Madrim menjelaskan apa yang dilakukan Diananta merupakan kegiatan jurnalistik yang tidak bisa dibawa ke pidana karena dilindungi Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sengketa pers diselesaikan di Dewan Pers. Dan itu sudah dilakukan.

5 Februari lalu Dewan Pers memutuskan Banjarhits memang tak berimbang, membuat opini yang menghakimi, juga mengandung prasangka atas perbedaan SARA. Namun mereka sama sekali tak menyebut soal konsekuensi pidana.

"Artinya kasusnya seharusnya sudah selesai dengan adanya penyelesaian di Dewan Pers," kata Sasmito kepada reporter Tirto, Rabu (12/8/2020).

Ia mendesak pemerintah menghapus pasal karet dalam UU ITE, terutama Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2. Menurutnya pasal itu "kerap digunakan untuk membungkam kebebasan pers dan mengkriminalisasi kerja-kerja jurnalistik."

Kasus berita berujung pidana juga dialami oleh jurnalis bernama Mohamad Sadli Saleh. Sadli seorang jurnalis yang juga pemimpin redaksi media lokal, membuat tulisan mengkritik kebijakan Bupati Buton Tengah, Samahudin, dalam proyek pembangunan jalan simpang lima. Tulisan yang dibuatnya berjudul Abracadabra: Simpang Lima Labungkari Disulap Menjadi Simpang Empat.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pasarwajo, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, menjatuhkan vonis dua tahun penjara karena Sadli terbukti menyebarkan informasi hingga menimbulkan kebencian di masyarakat.

Ketua LBH Pers Ade Wahyudi juga menilai vonis yang dijatuhkan kepada Diananta mengangkangi proses penyelesaian sengketa pemberitaan sebagaimana diatur UU Pers. Selain itu, vonis tersebut juga tidak tepat karena tak terpenuhinya unsur "tanpa hak menyebarkan informasi," yang tertuang dalam Pasal 28 ayat 2 UU ITE sebagaimana didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

"Sebab Diananta merupakan jurnalis yang melakukan kegiatan jurnalistik berdasarkan UU Pers," kata dia melalui keterangan tertulis, Rabu (12/8/2020).

Ade menilai sanksi juga "tidak berdasar dengan fakta persidangan." Dalam nota pembelaan kuasa hukum Diananta, Sukirman menjelaskan tidak ada dampak keributan atau permasalahan konflik etnis akibat pemberitaan. Begitu pula dalam keterangan saksi Riwanto yang dihadirkan oleh jaksa.

Atas dasar itu semua, Ade, juga Sasmito, menyepakati satu hal: "Ini preseden buruk yang mengancam kebebasan pers. Ini sudah pasti mencoreng kebebasan pers di era Presiden Jokowi."

Baca juga artikel terkait KASUS DIANANTA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino