Menuju konten utama
Tragedi Stadion Kanjuruhan

Vonis Bebas Terdakwa Kasus Kanjuruhan: Mencederai Nalar Publik

Fachrizal sebut sejak tahap penyelidikan, penyidikan, pembuatan BAP, "seolah" tak menyasar para penembak.

Vonis Bebas Terdakwa Kasus Kanjuruhan: Mencederai Nalar Publik
Tiga terdakwa perkara tragedi Stadion Kanjuruhan Malang, mantan Komandan Kompi I Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan (kiri), mantan Kabagops Polres Malang Wahyu Setyo Pranoto (tengah) dan mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi (kanan) menghadiri sidang perkara tragedi Stadion Kanjuruhan, di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, Kamis (26/1/2023). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/hp.

tirto.id - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas dua polisi terdakwa kasus insiden Kanjuruhan. Kedua terdakwa tersebut adalah eks Kasat Samapta Polres Malang, AKP Bambang Sidik Achmadi dan mantan Kabag Ops Polres Malang, Kompol Wahyu Setyo Pranoto.

Jaksa mendakwa keduanya dengan Pasal 359 KUHP, Pasal 360 ayat (1) KUHP dan Pasal 360 ayat (2) KUHP, namun hakim menilai keduanya tidak terbukti bersalah dalam peristiwa yang menewaskan 135 orang itu. Vonis bebas tersebut jauh dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah dan dituntut 3 tahun penjara.

“Memerintahkan terdakwa dibebaskan dikeluarkan dari tahanan setelah putusan diucapkan. Pulihkan hak terdakwa," kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Abu Achmad Sidqi Amsya, Kamis, 16 Maret 2023.

Sementara, satu polisi yang juga menjadi terdakwa, yaitu mantan Danki 3 Brimob Polda Jawa Timur AKP Hasdarmawan divonis 1 tahun 6 bulan penjara.

Vonis itu juga lebih rendah ketimbang tuntutan jaksa yang menuntut hukuman 3 tahun kurungan. Hakim menilai Hasdarmawan terbukti bersalah atas kealpaan hingga mengakibatkan orang lain mati, mengalami luka berat dan luka sedemikian rupa, serta sakit sementara.

Ketika diminta tanggapan perihal bebasnya dua dari tiga polisi yang menjadi terdakwa kasus Kanjuruhan ini, Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Ahmad Ramadhan berkata "Saya (tak mau) buru-buru menanggapinya," ucap dia, di Mabes Polri.

SIDANG LANJUTAN KASUS TRAGEDI STADION KANJURUHAN

Sejumlah saksi mengikuti sidang kasus tragedi Stadion Kanjuruhan Malang di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, Jumat (3/2/2023). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/tom.

Putusan Hakim Dianggap Mencederai Nalar Publik

Sontak, putusan bebas dua polisi itu menuai kritik, karena dianggap mengganggu nalar publik. Anggota Komisi III DPR RI, Santoso mengatakan, keputusan hakim Indonesia memang nyeleneh.

“Apakah undang-undang yang tidak baik atau para penegak keadilan, dalam hal ini polisi dan jaksa, yang tidak baik atau para hakimnya yang tidak baik?" kata Santoso kepada Tirto, Kamis (16/3/2023).

Santoso mencontohkan, jika masyarakat ditanya tentang produk regulasi yang buruk atau perilaku para penegak hukum yang tidak baik, maka jawabannya dipastikan lebih banyak “perilaku yang kurang baik.” Kemudian jika jaksa menganggap bahwa dakwaannya sangat kuat disertai dengan bukti-bukti yang ada, maka sangat mungkin jaksa mengajukan banding atas putusan hakim.

“Meskipun kasus Kanjuruhan tidak bisa dilihat hanya tewasnya penonton sepak bola saja, namun banyak sisi lain yang menjadi pertimbangan dalam menelisik kasus itu. Harapannya adalah tidak ada intervensi kekuasaan dalam mengurai peristiwa, tapi murni memberi keadilan bagi para keluarga korban," ujar Santoso.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid juga menyorot vonis itu. Dia bilang, pihak berwenang sekali lagi gagal memberikan keadilan kepada para korban kekerasan aparat, meski sempat berjanji untuk menuntut pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat.

Amnesty mendesak pemerintah untuk memastikan akuntabilitas seluruh aparat keamanan yang terlibat dalam Tragedi Kanjuruhan, termasuk mereka yang berada di tataran komando, guna memberikan keadilan bagi korban dan memutus rantai impunitas. Salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah melalui peradilan yang adil, imparsial, terbuka dan independen.

“Kasus ini sekali lagi menunjukkan pola kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang mengakar kuat dan luas oleh aparat keamanan di Indonesia. Kasus tragis ini harus menjadi momen untuk memperbaiki kesalahan dan mengubah haluan, bukan mengulangi kesalahan yang sama," ujar Usman dalam keterangan tertulis.

Kurangnya akuntabilitas juga mengirimkan pesan berbahaya kepada aparat keamanan bahwa mereka dapat bertindak dengan bebas dan tanpa konsekuensi hukum.

SIDANG VONIS TRAGEDI STADION KANJURUHAN

Terdakwa perkara tragedi Stadion Kanjuruhan Suko Sutrisno (tengah) yang merupakan petugas keamanan dan terdakwa Abdul Haris (kanan) yang merupakan Ketua Panpel laga Arema melawan Persebaya pada 1 Oktober 2022 berjalan bersama untuk menjalani sidang putusan perkara tragedi Stadion Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, Kamis (9/3/2023).ANTARA FOTO/Didik Suhartono

Deretan Vonis bagi Terdakwa Kanjuruhan

Pada 16 Maret 2023, Pengadilan Negeri Surabaya membebaskan Kabag Ops Polres Malang, dan mantan Kasat Samapta Polres Malang, dengan alasan tidak cukup bukti untuk menghukum mereka.

Di hari yang sama dengan vonis bebas, mantan Komandan Kompi Brimob 3 Polda Jawa Timur, Hasdarmawan dihukum penjara selama 1,5 tahun setelah dinyatakan bersalah karena kelalaian. Mereka didakwa karena kealpaan yang menyebabkan orang lain mati, luka berat dan luka ringan dalam kericuhan di Stadion Kanjuruhan. Pemicu kericuhan ialah tembakan gas air mata oleh petugas keamanan.

Pada 9 Maret, hakim memvonis petugas keamanan stadion, Suko Sutrisno, 1 tahun penjara, sementara Ketua Panitia Pelaksana Arema, Abdul Haris divonis 1,5 tahun bui. Sisi lain, pada pengadilan militer, 7 Februari 2023, seorang anggota TNI dijatuhi hukuman 4 bulan penjara lantaran menyerang dua penonton sepak bola dalam tragedi Kanjuruhan.

Sementara itu, pada 14 Februari 2023, puluhan anggota Korps Brimob mencoba untuk mengganggu persidangan dengan melontarkan teriakan dan sorakan yang menciptakan kegaduhan di depan ruang sidang.

Mencederai Asas Keadilan

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri memandang, putusan majelis hakim terhadap keempat terdakwa mencederai rasa keadilan masyarakat, terutama korban dan keluarga korban, karena tragedi Kanjuruhan mengakibatkan 135 orang meninggal, 26 orang luka berat dan 596 orang luka ringan.

“Hal ini menunjukkan bahwa proses hukum di Indonesia masih belum mampu memberikan keadilan bagi korban dan keluarga korban," kata Gufron.

Tentu menjadi pertanyaan, aparat yang seharusnya bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan suporter dalam suatu pertandingan sepak bola, pada kenyataannya gagal melaksanakan tanggung jawabnya justru divonis bebas.

“Putusan bebas yang dijatuhkan majelis hakim terhadap AKP Bambang Sidik dan Kompol Wahyu sangat bertentangan dengan logika hukum publik, padahal keduanya merupakan penanggung jawab keamanan dan keselamatan pertandingan," jelas Gufron.

Seorang Aremania, Yuko, menyesal dengan putusan hakim. “Dia polisi yang divonis bebas itu sangat menyakitkan para korban dan Aremania. Putusan tidak adil sama sekali. Siapa yang memerintahkan (penembakan gas air mata) di lapangan kalau bukan atasannya? Masak iya anggota bertindak sendiri? Tidak mungkin," ujar dia kepada Tirto.

SIDANG LANJUTAN TRAGEDI KANJURUHAN

Terdakwa tragedi Stadion Kanjuruhan Malang, mantan Kasat Samapta Polres Malang Wahyu Setyo Pranoto (dalam layar) mengikuti sidang lanjutan perkara tragedi Stadion Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (27/1/2023). ANTARA FOTO/Rizal Hanafi/Zk/YU

Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Fachrizal Afandi berpendapat, sejak awal persidangan ini tidak serius, sengaja dibuat. Sejak tahap penyelidikan, penyidikan, pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), "seolah" tak menyasar para penembak. Bahkan ketika rekonstruksi, tidak ada adegan gas air mata yang ditembakkan ke arah tribun penonton.

“Itu berpengaruh. BAP-nya polisi memang menyatakan tidak ada gas air mata ditembakkan ke arah tribun. Padahal publik tahu, banyak (gas air mata) ditembakkan ke sana," ujar Fachrizal kepada Tirto.

Fachrizal mengatakan, tidak ada penembakan itu bertentangan dengan laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Kanjuruhan dan Komnas HAM yang menegaskan sebaliknya.

Polisi tidak menyertakan temuan-temuan tim pencari fakta itu dalam pemeriksaan, yang kemudian diterima oleh jaksa. Dalam surat dakwaan, jaksa pun mengikuti narasi polisi; sialnya, hakim, yang mestinya jeli menganalisis, turut mengikuti narasi korps seragam cokelat. Fachrizal menilai sidang ini didesain untuk tidak menyalahkan Polri.

Dapat dibandingkan dengan, misalnya, pelaku kecelakaan yang mengakibatkan korban tewas dapat terancam 5 tahun bui. Sementara dalam kasus ini, polisi yang sengaja menembak gas air mata kepada penonton, tidak disertakan dalam proses hukum alias diperiksa sejak awal pun tidak.

Si penembak wajib dijadikan terdakwa, wajib dihadapkan dalam persidangan., kata dia. Selama pelaku utama, si penembak, tidak dihadirkan dalam persidangan, maka proses pencarian keadilan ini kurang maksimal.

“Ini menunjukkan peradilan umum gagal mengungkapkan kebenaran tragedi Kanjuruhan. Seharusnya ini masuk kategori pelanggaran HAM berat karena (ada unsur) sistematis dan pengadilan biasa tidak bisa mengatasinya," tutur Fachrizal.

Bahkan dalam kasus ini polisi "berani" membangkang terhadap Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Kanjuruhan bentukan Presiden Joko Widodo. “Polisi nampak tidak peduli dengan tim yang dibentuk presiden, karena polisi menggunakan nalarnya sendiri," ucap Fachrizal.

Baca juga artikel terkait KASUS KANJURUHAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz