Menuju konten utama
Wawancara JJ Rizal:

"Visi Maritim Jokowi-JK hanya Abab"

Tol laut, tol laut, tol laut. Reklamasi, reklamasi, reklamasi. Visi maritim dalam nawacita hanya tinggal nawaitu—niat doang.

Sejarawan JJ Rizal. Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Dalam janji kampanyenya, Presiden Joko Widodo memanjatkan ikrar akan membangun wilayah laut Indonesia. Bahkan ia menyampaikan pidato kemenangannya di kapal pinisi, di Pelabuhan Sunda Kelapa, menegaskan visi maritimnya. Tapi laut yang harusnya diutamakan justru dipunggungi oleh Jokowi.

Sejarawan JJ Rizal menilai, visi maritim Jokowi hanya berhenti di niat. Pendiri Penerbit Komunitas Bambu tersebut menganggap, visi nawacita Jokowi dibangun atas ide yang tergesa-gesa. Sebab dalam eksekusi visi, Jokowi justru mendukung reklamasi di pelbagai wilayah. “Reklamasi bukan saja merusak peradaban maritim dan ekologi, tidak berpihak kepada wong cilik, yang memiskinan nelayan, tetapi juga menyuburkan KKN,” katanya.

Menggalakkan pembangunan infrastruktur pun perlahan meruntuhkan tatanan kebudayaan. Menurut Rizal, yang diperlukan sebenarnya bukan hanya infrastruktur. Lebih dari itu, pengetahuan maritim dan geografi masyarakat harusnya dikembangkan dan bukan malah semakin terkikis.

“Menjadikan laut sebagai orientasi kesejahteraan tidak cukup dengan hanya meletakkan strategi agung pada infrastruktur dan infrastruktur, perlu proses menumbuhkan kembali budaya laut—dengan demikian, revolusi mental menemukan jiwanya,” Kata Rizal.

Berikut perbincangan Dieqy Hasbi Widhana bersama JJ Rizal.

Salah satu janji besar Presiden Jokowi pada Pilpres 2014 lalu adalah visi maritim. Ia dan Jusuf Kalla bahkan menyampaikan pidato kemenangan dari kapal pinisi sebagai simbol visi maritim. Sejauh ini, menurut Anda, apakah Jokowi sudah berhasil mewujudkan visi itu?

Begitu ia terpilih dan memilih lokasi perayaan di Pelabuhan Sunda Kelapa, dan di atas perahu pinisi, justru saya sudah ragu visi maritim Jokowi bisa tumbuh subur sebagai wawasan pembangunannya.

Tentu, Jokowi ingin membuat simbolisasi ide nawacita, yang tegas-tegas menyebut kata 'laut' dan 'sejarah' sebagai wawasan pembangunan kebangsaan yang dilupakan, serta sudah saatnya kembali ke sana jika esok Indonesia ingin jaya. Dan kejayaan itu ada dalam sejarah Sunda Kelapa dan jaringan pelayaran pinisi yang memang sudah tua.

Tapi, masalahnya, Jokowi-JK lupa di pelabuhan Sunda Kelapa itulah titik mula kejayaan maritim Nusantara jatuh. Di Sunda Kelapa, Kompeni bangkit meneguhkan diri sebagai raja laut baru. Semua itu bermula di atas reruntuhan Kota Sunda Kelapa yang dikuasai dan diberi nama baru Batavia, markas dagang yang menjadi ibukota The Dutch Seaborne Empire yang kemudian jaringannya dengan cepat terbentang dari Deshima di Jepang sampai Afrika Selatan. Sunda Kelapa adalah titik tempat arus berbalik.

Demikianlah, ingin belajar menaiki inspirasi dari sejarah, tetapi menderita hongerodeem atau busung lapar sejarah. Terlebih lagi, perahu yang dikatakan pinisi ternyata adalah perahu motor. Bayangkan, ini yang berdiri adalah JK, anak Bugis, yang namanya disebut dalam buku klasik The Bugis karya Christian Pelras, tapi tak mampu mengenali lagi pinisi, perahu historis tanah leluhurnya.

Berlatar belakang kesadaran kultural-historis yang demikian, bagaimana visi maritim akan tumbuh?

Saya sebenarnya berusaha menepis kesimpulan itu sebagai sesuatu yang terlalu dini. Tapi, ketika Jokowi-JK diam dan bermain melalui menterinya mendukung reklamasi di Teluk Jakarta, Teluk Benoa, bahkan banyak lagi wilayah Indonesia, termasuk salah satu kota bersejarah di wilayah timur, Makassar; rasanya saya bisa katakan visi maritim Jokowi-JK hanya abab.

Visi maritim segera layu, karena Jokowi-JK tidak menyediakan teladan atas nilai peradaban maritim sebagai kunci masa depan Indonesia. Betapa reklamasi bukan saja merusak peradaban maritim dan ekologi, tidak berpihak kepada wong cilik, yang memiskinan nelayan, tetapi juga menyuburkan KKN.

Jokowi berencana membangun tol laut. Infrastruktur, infrastruktur, infrastruktur. Bagaimana pandangan Anda?

Waktu Jokowi masih Walikota Solo, ada berita dari Pulau Rote: 200-an orang dari daerah itu gagal mengikuti Festival Sasando yang digelar di Kupang, dan didukung Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan. Gelombang 3-4 meter, disertai badai dan arus ganas, menjadi kendala mereka. Acara itu dibuat saat musim ketika gelombang tinggi dan angin besar.

Dalam waktu yang berdekatan, di perairan Selat Rote, satu Kapal Motor Penyeberangan tenggelam dan kapal penolong tidak berhasil menembus gelombang.

Kedua berita itu adalah petunjuk, masalahnya bukan hanya infrastruktur armada perhubungan laut kita yang buruk, tetapi kebudayaan maritim kita juga mengalami kriris; di dalamnya termasuk pengetahuan geografi dan cuaca orang-orang kawasan Kupang sebagai masyarakat bahari.

Dalam perspektif kebudayaan, bagaimana seharusnya memanfaatkan laut Indonesia yang luas ini?

Pada dasarnya laut memberikan peluang besar sekaligus tantangan yang harus dijawab, dan jelas tidak cukup hanya dengan yang material, infrastruktur. Perlu juga urusan nilai budaya, mental. Nilai budaya menentukan cara pandang masyarakat terhadap laut. Cerita di atas menggambarkan pelunturan budaya laut. Masyarakat dan pemerintah, bahkan di pusat yang urus kebudayaan, kehilangan pandangan bahwa laut sebagai orientasi dan mengamalkannya dalam perilaku.

Menjadikan laut sebagai orientasi kesejahteraan tidak cukup dengan hanya meletakkan strategi agung pada infrastruktur dan infrastruktur. Perlu proses menumbuhkan kembali budaya laut—dengan demikian, revolusi mental menemukan jiwanya.

Jokowi selama ini bisa bangga dengan kinerja Menteri Kelautan dan Perikanan. Publik juga senang dengan aksi-aksi Menteri Susi Pudjiastuti dengan membakar kapal asing, segala macam. Apakah itu cukup?

Kebanggaan itu berkait dengan betapa rakyat telah lama menyaksikan kekayaan negara di darat habis dijarah. Namun, penjarahan yang lebih besar dan tiada pengawasan justru terjadi di laut. Betapa kita lemah di laut, tidak punya kesanggupan menjaga kekayaan laut dari jarahan kapal asing. Bahkan kedaulatan teritorial laut Indonesia terus menghadapi ancaman.

Pada 2009 saja, kita menghadapi sengketa batas maritim dengan sepuluh negara tetangga. Kita rindu kedaulatan di laut, dan ironisnya, masyarakat seperti sudah merasa cukup dipuaskan dengan penenggelaman-penenggelaman kapal asing yang beroperasi tidak sah.

Memang, memerangi kapal asing yang beroperasi tidak sah adalah salah satu jalannya, tetapi masih ada banyak hal lagi yang harus dilakukan, Misalnya, ide mengembangkan nelayan budidaya ikan dan mengendalikan nelayan tangkap ikan. Langkah-langkah strategis yang perlu ditempuh adalah menetapkan lokasi lahan budidaya ikan, menetapkan komoditas ikan laut andalan, dan memprioritaskan kawasan pesisir laut. Kita pernah mendengar strategi blue revolution dengan 4 pilarnya untuk menggenjot produktivitas nelayan serta kesejahteraan mereka. Tapi kita tahu, proyek utama di pesisir adalah reklamasi.

Mungkin itulah sebabnya banyak yang merasa visi maritim di nawacita hanya tinggal nawaitu—niat doang.

Baca juga artikel terkait VISI MARITIM atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Indepth
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Arlian Buana