Menuju konten utama

Visi Ekonomi Jokowi & Prabowo: Prioritas SDM Vs Pelibatan Teknokrat

Jokowi ingin memperkuat pembangunan SDM, sedangkan Prabowo memprioritaskan pelibatan teknokrat ekonomi di pemerintahan.

Visi Ekonomi Jokowi & Prabowo: Prioritas SDM Vs Pelibatan Teknokrat
Calon Presiden Joko Widodo (kanan) dan Prabowo Subianto (kiri) berjabat tangan usai pengundian nomor urut Pemilu Presiden 2019 di Jakarta, Jumat (21/9). Pasangan calon Presiden dan Wapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin mendapatkan nomor urut 01, dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapat nomor urut 02. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/kye/18

tirto.id - Pembangunan sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu prioritas program ekonomi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin jika memenangi Pilpres 2019. Alasannya agar Indonesia bisa memiliki daya saing di era Industri 4.0. "Karena kita berhadapan ke depan dalam pengetahuan, ide, dan ini menjadi pemahaman sangat dalam dari kita. Kemudian kita masuk industri 4.0, isu-isu big data, itu semua adalah basis dan bangunan ekonomi yang dimunculkan dari perdebatan ide dan pendidikan," kata politikus PDIP Arif Budimanta dalam diskusi di kantor Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Kamis (18/10).

Arief menjelaskan pembangunan SDM akan digencarkan salah satunya dengan mempercepat implementasi program wajib belajar 12 tahun. Kemudian pemerintah juga disebutnya akan membantu pembiayaan sekolah anak-anak dari keluarga tidak mampu menggunakan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Pernyataan Arif sesuai dengan visi misi Jokowi-Ma'ruf dalam dokumen yang diunggah KPU di laman resminya.

Mantan anggota komisi IX DPR RI tersebut juga mengatakan, pembangunan ekonomi di masa depan harus berjalan tanpa hambatan. "Ekonomi tergantung dalam sistem politik. Politiknya harus stabil, hukum bisa memberi kepastian, dan sistem sosial yang damai. Jadi ekonomi tak bisa berdiri sendirian," tuturnya.

Prioritas ke Teknokrat

Mantan Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan Prabowo-Sandiaga akan mengawali pelaksanaan visi ekonomi dengan menempatkan orang-orang yang memiliki kemampuan manajerial yang baik. Menurut peraih gelar master bidang administrasi bisnis dari George Washington University, Amerika Serikat itu, kehadiran pemimpin dengan kemampuan manajerial yang mumpuni diperlukan agar koordinasi antar lembaga serta kementerian, berjalan sempurna. Dia menilai selama ini banyak kementerian dan lembaga yang belum berjalan beriringan. Dampaknya muncul berbagai masalah dalam sektor ekonomi negara.

Sudirman juga menyebut kunci keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia ada di tangan teknokrat. Menurutnya para cendekiawan harus dilibatkan langsung dalam pengelolaan ekonomi negara. Keterlibatan teknokrat itu dianggapnya belum terlihat dalam kabinet kerja yang dipimpin Jokowi.

Pada tahun 2001, saat menjadi Ketua Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Sudirman sempat mendorong agar setiap orang yang menjabat sebagai menteri, menanggalkan jabatannya di parpol maupun keterlibatannya di dunia usaha.

"Kami ingin mengembalikan asas meritokrasi dalam pengelolaan ekonomi. Periode sekarang masalah teknokrasi sangat serius. Kami catat 10 posisi di kementerian-kementerian ekonomi dalam waktu 2 tahun diduduki 27 orang. Ini tak boleh terjadi lagi," kata Sudirman.

Berdasarkan catatan Sudirman saat ini hanya ada 7 menteri berlatarbelakang teknokrat atau nonpartai yang mengisi pos bidang ekonomi. Ketujuh menteri itu adalah Darmin Nasution (Menko Perekonomian), Sri Mulyani (Menteri Keuangan), Ignasius Jonan (Menteri ESDM), Amran Sulaiman (Menteri Pertanian), Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan), Bambang Brodjonegoro (Kepala Bappenas), dan Rini Soemarno (Menteri BUMN).

Mantan wakil direktur utama PT Petrosea itu menganggap jumlah itu tidak memadai dan mesti ditingkatkan. Dia mewakili Prabowo dan Sandiaga yakin, keterlibatan teknokrat bisa berdampak positif pada pembangunan ekonomi Indonesia.

"Sudah terbukti di mana pun. Waktu Pak Soeharto baru mulai [jadi presiden], ekonomi kita kocar-kacir. Tapi ketika tim teknokrat masuk, dalam waktu singkat sudah bisa membangkitkan ekonomi," jelasnya.

"Jadi dalam keadaan sulit yang diperlukan adalah pendekatan teknokrasi dan kepemimpinan yang kuat,” imbuhnya.

Sudirman juga menyindir banyaknya jenis investasi berbasis portfolio di Indonesia. Menurutnya investasi jenis itu tak memberi jaminan jangka panjang. Dia berpendapat kedepannya pemerintah harus lebih banyak menyerap investasi dalam bentuk langsung misalnya berupa pembangunan pabrik atau pusat industri, dibanding mengandalkan penanaman modal melalui portfolio.

"Terakhir, hukum kita itu berat sekali. Hal ini harus diurus dengan teknokrat [agar penegakan hukum profesional] dan baru bisa apabila pemimpinnya punya kompetensi manajerial," terangnya.

Menuai Kritik

Visi dan misi pembangunan ekonomi yang dipaparkan Arif dan Sudirman mendapat banyak kritik dari para peneliti. Pendapat pertama disampaikan peneliti ekonomi lulusan Universitas Indonesia, Anton Gunawan. Kepala ekonomi Bank Mandiri itu menyebut fokus pemerintah mendatang harusnya lebih pada upaya mengurangi kesenjangan antar daerah.

Anton mengatakan, harga komoditas yang sama antar daerah bisa terwujud jika produksi dan distribusi barang berjalan lancar serta dekat wilayah terkait. Karena itu pengembangan lokasi produksi dan pemenuhan distribusi menurutnya harus digenjot.

Selain itu Anton menyebut riset dan pengembangan harus menjadi kata kunci pembangunan ekonomi hingga 2024. Ia juga menyinggung pentingnya penguatan BUMN agar bisa mengeksekusi program-program pembangunan pemerintah di masa depan.

"Kemudian portfolio investment menurut saya kesannya tak negatif. Karena banyak investasi masuknya dari portfolio dan mereka menguasai kepemilikan saham, bukan langsung buka pabrik di sini," ujar Anton.

Anton juga menyoroti masalah klasik dalam dunia ekonomi Indonesia yakni, persoalan data. Menurut Anton data-data yang berbeda antar kementerian serta lembaga, kerap menjadi sumber masalah. Dia memberikan contoh, perbedaan data jumlah beras milik Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, serta BPS mampu menimbulkan polemik soal impor komoditas pangan itu.

"Ini harus diselesaikan. Kalau enggak perencanaan kedepannya sulit. Misalnya bisa saja pangan dibilang bagus tapi kenyataannya kita selalu ada dalam tekanan harga pangan dunia. Ini jadi salah satu isu kompleks yang harus diperhatikan," ujar Anton.

Pendapat lain diberikan Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Danang Girindrawardana. Dia menyinggung perlunya restrukturisasi kementerian dan lembaga usai Pemilu 2019.

Usul itu diutarakan Danang karena ia mengamati ada sejumlah kementerian dan lembaga yang justru kerap bersitegang. Hal itu berdampak mengguncang arah pembangunan ekonomi nasional.

"Misal Kementerian Pertanian dan Perdagangan selalu berkonflik soal data. BPS juga kadang memberikan data yang beda lagi," kata Danang.

APINDO juga memberi saran agar siapapun presiden yang terpilih, tetap mempertahankan sistem perizinan terpadu Online Single Submission (OSS). Sistem itu memungkinan masyarakat mengurus perizinan berusaha secara daring dalam waktu singkat.

Selain itu Danang meminta pemenang Pemilu 2019 memperhatikan indeks pembangunan manusia, terlebih fokus meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Dia juga berharap para politisi berhenti memanfaatkan serikat buruh yang beragam namanya, untuk kepentingan politik dan jangka pendek semata.

"Kita hanya meningkat 0.9 persen indeks HDI [Human Development Indeks] dari 2014. Tapi PDB meroket luar biasa," ujar Danang.

"Kemudian jangan politisir serikat pekerja apalagi kita masih berurusan dengan PP 78 [Peraturan Pemerintah Nomor 78/2015 tentang Pengupahan]. Jangan dibawa ini. Nanti dunia usaha repot dan pekerja bisa berantakan. Ekonomi jatuh."

Masukan terakhir diberikan Ketua Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri. Menurut Yose, Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga memiliki kesamaan melihat arah pembangunan ekonomi kedepan.

Ia menyinggung kentalnya nuansa inward looking policy yang dibawa kedua kubu pasangan capres. Padahal menurut Yose saat ini pemerintah butuh pandangan ekonomi yang lebih melihat ke luar.

"Sedikit fakta yang mungkin menarik. Dalam visi-misi Pak Jokowi misalnya dikatakan 15 kali kemandirian. Kata internasional dan global hanya 1-2 kali. Begitu juga di kubu Prabowo, kata kemandirian 5 kali disebut," kata Yose.

CSIS menganggap perkembangan ekonomi dunia saat ini membuat tiap negara saling tergantung satu sama lain. Yose memberi contoh yang sederhana dengan produksi iPhone. Menurutnya saat ini tak ada iPhone yang murni buatan sebuah negara. Gawai itu pasti merupakan hasil produksi beberapa negara yang disatukan dalam satu bentuk.

"Saat ini yang ada bukan ketergantungan tapi saling ketergantungan, interdependensi," tuturnya.

Dia juga mengkritisi rencana Jokowi-Ma'ruf yang hendak mengembangkan SDM, salah satunya, dengan program wajib belajar 12 tahun. Menurut Yose, lamanya waktu belajar siswa di sekolah tak menentukan bagus atau tidaknya kualitas sang pelajar.

"Masalahnya bukan apakah siswa lebih lama di sekolah atau tidak tapi apa yang dipelajari mereka. Kalau yang dipelajari tak berguna untuk pembangunan modal manusia kita maka ya HCI [Human Capital Index] kita akan tetap rendah," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Dieqy Hasbi Widhana