Menuju konten utama

Vietnam Punya Presiden Perempuan Pertama, Kemajuan atau Simbolis?

Dang Thi Ngoc Thinh, terpilih sebagai presiden perempuan pertama di Vietnam.

Vietnam Punya Presiden Perempuan Pertama, Kemajuan atau Simbolis?
Dang Thi Ngoc Thinh. FOTO/TTXVN

tirto.id - Minggu (23/9) menjadi hari bersejarah bagi Vietnam. Dang Thi Ngoc Thinh, perempuan yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden Vietnam, resmi terpilih menggantikan Tran Dai Quang yang meninggal karena sakit. Sejak negara itu merdeka dari Prancis pada 1945 silam, Ngoc Thinh adalah perempuan pertama yang berhasil duduk di kursi presiden.

Namun, suasana duka juga masih menyelimuti pemerintah dan publik Vietnam. Tran Dai Quang tutup usia pada 21 September kemarin. Pria berusia 61 tahun tersebut harus menyerah akibat diserang virus langka meski dokter profesional dari dalam dan luar negeri sudah dikerahkan. Penampilan terakhir Dai Quang di muka publik saat menemani Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika berkunjung ke negara komunis tersebut pada 11 September kemarin.

Dilansir dari Viet Nam News, Ngoc Thinh lahir pada 25 Desember 1959 silam. Ia lulus sarjana hukum, sejarah dan teori politik serta punya gelar master pembangunan partai. Ngoc Thinh sudah menjadi anggota Partai Komunis Vietnam sejak 1979.

Dang Thi Ngoc Thinh bukanlah orang asing di lingkungan pemerintahan dan publik Vietnam. Sederet jabatan strategis sudah ia pernah emban sebelum akhirnya duduk di kursi presiden. Ia sebelumnya merupakan wakil presiden tetap di Serikat Perempuan Vietnam, Sekretaris Komite Partai Provinsi Vĩnh Long, anggota alternatif dari Komite Sentral Partai ke-10, anggota Komite Pusat Partai pada masa jabatan ke-11 dan 12, serta wakil Dewan Nasional di masa jabatan 11 dan 13. Pada April 2016 lalu, Majelis Nasional menetapkan Ngoc Thinh menjadi Wakil Presiden Vietnam.

Dalam sistem pemerintahan Vietnam, negara tersebut tidak punya penguasa tunggal lantaran adanya sistem empat pilar, yaitu presiden, perdana menteri, kepala partai komunis serta ketua dewan nasional. Peran presiden justru lebih banyak sekedar tugas seremonial saja.

Namun, apakah Ngoc Thinh bakal menjadi presiden selama beberapa tahun ke depan juga masih menyisakan tanda tanya besar. Pasalnya, pada Oktober nanti Dewan Nasional mengadakan rapat besar untuk memutuskan siapa yang akan duduk di kursi presiden dalam lima tahun selanjutnya.

Infografik Dang Thi Ngoc Thinh

Dianggap "Simbolis"

Vietnam bukanlah negara yang ramah bagi para perempuan yang ingin terjun di dunia politik. Ruang gerak perempuan masih dibatasi berdasar gender. Dominasi pria begitu kuat. Tak ayal, naiknya Ngoc Thinh meski menorehkan sejarah tersendiri, tetapi masih menyisakan pandangan skeptis ke pemerintahan komunis Vietnam.

"Saya pikir sementara penunjukan Ngoc Thinh penting secara simbolis. Dalam arti yang lebih luas, terbatas pada beberapa perempuan yang adalah anggota Partai Komunis sendiri," kata Do Nguyen Mai Khoi, aktivis Vietnam dilansir dari Reuters.

Mai Khoi menambahkan, "Namun kita harus ingat bahwa, sebagai pemimpin terpilih yang tidak bertanggung jawab kepada publik, penunjukan ini tidak mungkin memperbaiki kondisi bagi sebagian besar perempuan di Vietnam."

Pernyataan tersebut tampak wajar bila merujuk pada data survei yang dilakukan Inter-Parliamentary Union pada 2017 lalu. Vietnam menduduki peringkat ke-61 dari 193 negara dalam urusan partisipasi perempuan di parlemen. Sementara untuk perempuan di posisi menteri, Vietnam menduduki peringkat ke-166 se-Asia Tenggara. Peringkat ini bisa menggambarkan seberapa merosotnya partisipasi perempuan dalam kelembagaan negara di Vietnam.

Ada pandangan patriarki yang menjangkiti sistem sosial Vietnam. Khuat Thu Hong, Direktur Institute for Social Development Studies mengatakan, perempuan Vietnam dianggap tidak punya arti apapun apabila tidak bisa mengelola urusan keluarga seperti tinggal di rumah mengurusi anak dan kebutuhan sehari-hari. Sekalipun wanita berprestasi dalam karier, politik, ekonomi dan pendidikan, semuanya itu tak dianggap jika mereka juga gagal menjalankan peran sebagai istri dan ibu yang baik bagi laki-laki.

Akibatnya, cara berpikir yang mengakar kuat, tak cuma di pria tetapi juga di wanita, membuat langkah perempuan terhalang untuk bertindak maju, mengenyam pendidikan lebih jauh, mengembangkan karier atau sampai berpartisipasi dalam kegiatan sosial politik.

"Pria dapat mengorbankan keluarga mereka, tetapi wanita tidak diizinkan untuk melakukannya. Mengatakan demikian, saya tidak bermaksud mendorong wanita untuk menyerahkan keluarga mereka untuk karier, tetapi saya meminta pandangan yang lebih setara, dan jika wanita tidak dapat mengambil posisi terdepan (mengurus keluarga), itu tidak berarti mereka tidak mampu melakukannya," ujar Thu Hong dalam esai opininya yang dimuat Viet Nam News.

Padahal menurut Thu Hong, perempuan Vietnam memegang posisi kunci dalam hal penggerak ekonomi. Dalam bidang pertanian yang menjadi sektor utama negara agraris ini, perempuan berkontribusi sampai 70 persen. Belum lagi partisipasi mereka dalam industri berorientasi ekspor seperti seperti garmen dan tekstil, alas kaki, industri ringan, dan pengolahan hasil laut.

"Saya berharap pembuat kebijakan di Vietnam sadar akan peran perempuan Vietnam dalam ekonomi, sehingga mereka membuat kebijakan yang tepat untuk mendukung lebih lanjut, memberdayakan dan menghargai perempuan secara setara. Masyarakat harus melihat perempuan melalui kontribusi mereka terhadap ekonomi, daripada sebagai sesuatu yang sekunder selain laki-laki," papar Thu Hong.

Jika menilik ke belakang saat revolusi nasional Vietnam menggelora yang mengarah pada berakhirnya pemerintahan kolonial Perancis pada 1954, peran perempuan terutama di Vietnam Utara sudah positif. Menurut William S. Turley dalam jurnalnya berjudul "Women in the Communist Revolution in Vietnam" (1972) menyebut, perempuan Vietnam Utara sudah mencapai derajat kemandirian ekonomi, sosial dan partisipasi politik yang lebih baik dibanding perempuan di Vietnam Selatan dan negara-negara komunis lainnya.

Begitu pula saat perang kedua melawan invasi Amerika Serikat. Jayne Werner dalam jurnalnya berjudul "Women, Socialism, and the Economy of Wartime North Vietnam, 1960-1975" (1981) menyebut, partisipasi perempuan dalam tatanan sosial dan kehidupan politik Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara) mengalami peningkatan paling dramatis dari 1960 hingga 1975 saat periode perang kedua melawan invasi Amerika Serikat.

Namun, ada hal lain yang dipaparkan Werner. Ternyata situasi perang dan revolusi nasional tidak sepenuhnya tulus mendorong pembebasan perempuan Vietnam dari dominasi patriarki. Ketika itu, defisit tenaga kerja perempuan menyebabkan tenaga para wanita dialihkan untuk mendukung dan terlibat peperangan aktif. Apalagi Perang Vietnam berlangsung lama dan melelahkan. Di pedesaan di mana pertanian juga dijangkiti patriarki, para perempuan justru terangsang untuk ikut terlibat aktif peran demi mengambil bagian dalam kegiatan yang lebih besar.

Kasus Vietnam menunjukkan sisi kontras dari kasus-kasus revolusi sosial di tempat lainnya. Tidak seperti Cina ketika Revolusi Kebudayaan era Mao Zedong terdapat dorongan kesetaraan perempuan, Vietnam tidak pernah mengadopsi hal yang sama sebagai tujuan besar yang kemudian layak dipertahankan. Vietnam hanya melihat peran perempuan yang besar itu sebagai "pembantu" untuk mencapai pembebasan nasional.

Dang Thi Ngoc Thinh bukan satu-satunya politisi perempuan pertama yang menduduki jabatan strategis dan tinggi. Pada Maret 2016 lalu, Nguyễn Thị Kim Ngân adalah perempuan pertama yang terpilih menduduki jabatan Ketua Majelis Nasional Vietnam.

Setelah ini, apakah Vietnam akan memperbaiki capaiannya dalam menempatkan perempuan untuk berperan lebih di kancah nasional? Jawabannya akan ada pada Oktober nanti saat Dewan Nasional Vietnam memutuskan presiden untuk lima tahun mendatang.

Baca juga artikel terkait KESETARAAN GENDER atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tony Firman
Editor: Suhendra