Menuju konten utama

Via Vallen adalah Bukti Seksisme Memang Membelit Sepakbola

Dalam industri para macho seperti sepakbola, seksisme dan misogini terjadi di mana-mana dan kapan saja.

Via Vallen adalah Bukti Seksisme Memang Membelit Sepakbola
Ilustrasi misogini dalam sepakbola. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pelecehan seksual secara verbal yang dialami Via Vallen bukan hanya menjadikan isu seksisme ini ke level yang lebih luas, melainkan juga menyeret pertanyaan lain: seberapa seksis, atau seberapa misoginis, dunia sepakbola?

Kasus-kasus pelecehan seksual yang menyeret para pelaku sepakbola memang tak pernah habis, dan kasus yang menimpa Via Vallen hanyalah gejala dari fenomena gunung es. Dari waktu ke waktu bermunculan kasus-kasus baru. Levelnya bermacam-macam: dari yang paling ekstrem hingga yang paling lunak. Dari kasus ekstrem seperti pembunuhan hingga ucapan yang dirasa menyakitkan.

Dalam kolomnya di The Guardian pada 12 Oktober 2016 yang berjudul "In 20 years as a Footballer, I Never Heard ‘Banter’ Like Trump’s Comments", Graeme Le Saux menjelaskan bagaimana ruang ganti tiap klub menjadi semacam pabrik terbaik yang memproduksi kultur tak senonoh di kalangan pemain. Di dalamnya berkembang berbagai candaan, mulai dari rasialis hingga yang seksis. Para pemain menyadari jelas menyadari itu semua, tapi mereka sengaja permisif.

"That’s what blokes do (memang begitu, kan, yang biasa dilakukan cowok)," demikian ungkapan yang lazim didengar Le Saux di ruang ganti sepanjang nyaris 20 tahun karier bermainnya.

Kebuasan Bruno Fernandes di Brazil

Namanya Bruno Fernandes de Souza. Pria ini lahir 34 tahun silam di Minas Gerais, Brazil, 23 Januari 1984. Bruno merupakan pesepakbola asal Brazil yang berposisi sebagai penjaga gawang. Kariernya cukup bagus. Ia pernah memperkuat tim-tim mapan di Campeonato Brasileiro Serie A seperti Atletico Mineiro, Corinthians, serta Flamengo, klub paling populer di Brazil.

Bruno pernah punya pacar seorang bintang porno. Namanya Eliza Samudio. Dari hubungan tersebut, mereka dikaruniai seorang anak. Suatu ketika, Bruno dan Eliza bertengkar dan keduanya memutuskan berpisah. Eliza kemudian melaporkan Bruno ke pengadilan karena pria itu dianggap hanya mau indehoy tanpa pernah memerhatikan keluarga kecil mereka.

Bruno tak terima dengan hal tersebut dan memeram dendam. Untuk menuntaskannya, inilah yang dia lakukan: menyewa kelompok pembunuh bayaran untuk menghabisi Eliza. Tapi, eits, bunuh bukan sembarang bunuh. Bruno ingin kematian tersebut turut mengandung unsur pornografi kekerasan: Eliza harus dimutilasi dan potongan tubuhnya dijadikan santapan anjing.

Kasus tersebut dengan cepat membuat gempar seantero Brazil. Pihak kepolisian segera melakukan penyelidikan. Tak butuh waktu lama, Bruno dan komplotannya ditangkap. Kepada polisi, ia mengakui sebagai dalang pembunuhan tersebut. Ganjarannya: hukuman 22 tahun penjara.

Namun, beberapa waktu setelahnya, Bruno secara absurd meralat pengakuan tersebut dan menyatakan diri tidak bersalah. Lewat pengacaranya, Bruno terus melakukan banding. Hasilnya ajaib: ia memenangi gugatan atas pengadilan dan dibebaskan setelah hanya menjalani empat tahun dari total masa hukuman.

Setelah bebas, tak butuh waktu lama bagi Bruno untuk kembali merumput. Ada sebuah klub divisi dua liga Brazil, Boa Esporte, yang secara luar biasa menyodorkan kontrak dua tahun kepadanya. Namun usai mendatangkan Bruno, tiga sponsor utama Boa Esporte, CardioCenter, Nutrends Nutrition, Magsul, memutuskan kerja sama.

Ketika Bruno mulai melakukan latihan bersama klub barunya tersebut, hadir ratusan demonstran yang menuntut agar kontrak Bruno dibatalkan. Lucunya, demonstrasi itu mendapat “tandingan” dari massa lain yang mengaku sebagai pembela Bruno. Mereka bahkan turut mengibarkan poster besar bertuliskan: “Somos todos Bruno” (Kami Semua Bruno).

Desakan publik yang begitu kuat akhirnya membuat pihak pengadilan melakukan peninjauan ulang terhadap kasus Bruno. Terlebih petisi dengan tuntutan yang sama juga telah tersebar. Selewat dua bulan kemudian, Jaksa Agung Rodrigo Janot memutuskan agar si pembunuh biadab tersebut dijebloskan kembali ke penjara. Bruno pun menyerahkan diri ke kantor polisi di Varginia, daerah bagian selatan Minas Gerais, Brazil.

Mendengar kabar Bruno yang kembali ke bui, ibu mendiang Eliza, Sonia Moura, lega bukan main. “Saya sangat bersyukur. Dulu dia keluar penjara sambil tertawa, menjijikkan.”

Semua kisah mengerikan ini nyata adanya. Bahkan penangkapan Bruno kembali baru terjadi pada April 2017 lalu.

Misogini Berujung Pelecehan Seksual dalam Sepakbola

Apa yang dilakukan Bruno merupakan bentuk kasus misogini (ketidaksukaan, kebencian hingga prasangka negatif terhadap perempuan) paling ekstrim yang pernah beririsan dengan dunia sepakbola. Namun, suka atau tidak, olahraga ini sejatinya memang memiliki masalah serius dengan hal tersebut. Ada banyak kasus misogini dalam sepakbola dan, ironisnya, tidak semuanya dituntaskan dengan baik dan benar.

Pada April 2012, seorang pesepakbola bola asal Wales yang memperkuat Sheffield United, Ched Evans, pernah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Kerajaan di Caernarfon, Inggris, karena terbukti memperkosa wanita berumur 19 tahun. Kejadian tersebut berlangsung di sebuah hotel di daerah Rhyl, Denbighshire, Wales, pada Mei 2011, ketika wanita tadi tengah berada dalam kondisi mabuk.

Dalam menjalankan aksinya, Evans ditemani oleh karibnya yang bermain untuk klub Port Vale, Clayton McDonald. Namun McDonald tidak terbukti bersalah sehingga dia dapat dibebaskan. Sementara Evans harus menerima hukuman penjara selama 5 tahun. Namun ia hanya menjalani setengah dari total masa hukuman setelah dibebaskan dengan jaminan pada 2014.

Setelah bebas, Sheffield United berencana merekrut kembali Evans. Pimpinan klub, Nigel Clough, kala itu mengaku telah berunding dengan pejabat klub lainnya mengenai kemungkinan hal tersebut. Kontan saja hal tersebut kemudian mendapat banyak tentangan dari suporter dan sponsor mereka.

Situasi mengenai Evans tambah ricuh setelah Ketua Asosiasi Pesepak Bola Profesional, PFA, Gordon Taylor, juga turut menyarankan agar ia dapat diizinkan main kembali setelah bebas dari penjara. Taylor bahkan turut membandingkan kasus Evans dengan tragedi Hillsborough.

"Dia (Evans) tidak akan menjadi orang pertama yang terbukti bersalah hingga kemudian dapat membuktikan sebaliknya. Jika kita membicarakan hal ini dalam sepakbola, kita tahu apa yang telah terjadi dan apa yang diduga telah terjadi. Kasus Hillsborough yang kini terungkap, misalnya. Kita melihat bagaimana perbedaan situasi antara yang terjadi sesungguhnya dengan penjelasan polisi," ujar Taylor kala itu.

Ucapan Taylor sudah tentu makin menambah kemarahan suporter. Tercatat lebih dari 170.000 orang menandatangani petisi yang mendorong Sheffield agar tidak menerimanya kembali. Pada Oktober 2016, Evans akhirnya dibebaskan sepenuhnya setelah dalam pengadilan ulang ia dinyatakan tidak bersalah. Dan, setahun setelahnya, Sheffield betul-betul merekrut Evans kembali dengan kontrak senilai kurang lebih £500,000.

Kasus misogini berujung pelecehan seksual yang lebih menghebohkan juga kembali terjadi di Inggris. Pelakunya kali ini seorang pemain yang sejatinya diprediksi akan menjadi salah satu bintang masa depan di Premier League, Adam Johnson. Bekas pemain Manchester City yang telah 15 kali memperkuat tim nasional Inggris tersebut terbukti telah melakukan kejahatan seksual terhadap gadis di bawah umur. Bahkan kasus pedofilia ini diduga telah direncanakan dengan baik.

Semua bermula pada 2014. Johnson yang ketika itu memperkuat Sunderland berkenalan dengan seorang gadis lewat sosial media. Setelah berbincang cukup intens, si gadis meminta Johnson untuk menandatangani jersey Sunderland miliknya. Mereka pun bertemu pada 17 Januari 2015. Berselang dua minggu kemudian, Johnson kembali bertemu dengan gadis tersebut. Ketika inilah Johnson mulai melancarkan aksinya. Kasus ini pun tersebar dengan cepat, terlebih kala itu Johnson memiliki pasangan yang tengah hamil besar.

Pada 2 Maret 2015, Johnson lantas ditangkap pihak kepolisian di Durham, Inggris, namun ia menyatakan tidak bersalah dan mengajukan banding. Dalam persidangan kedua yang digelar pada Februari 2016, akhirnya terungkap bahwa Johnson telah mengakui perbuatannya kepada Dr. Philip Hopley, seorang psikolog dari Priory Clinic, yang memang ditugaskan untuk menangani tersangka.

"Saya telah melupakan gadis itu. Saya memang tertarik secara seksual, tapi dia hanya seperti gadis kebanyakan yang pernah saya dekati," kata Johnson kepada Dr. Hopley beberapa hari sebelum persidangan. Johnson pun kemudian divonis hukuman penjara selama enam tahun dan denda sebesar £50,000.

Bagi korban, kasus pelecehan yang dialaminya tersebut telah membuatnya amat depresi. Di sekolah, ia bahkan harus mengalami perisakan yang dilakukan oleh teman-temannya. Seperti yang sempat diutarakannya kepada Guardian:

"Seluruh pengalaman ini begitu mengerikan, saya banyak melewati masa sulit. Saya selalu merasa dikenali kemanapun saya pergi dan hal itu memang sempat terjadi beberapa kali. Saya sangat terintimidasi dan merasa sendirian ketika semua orang menentang saya setelah Adam Johnson mengatakan ke publik ia tak bersalah. Saya semakin merasa terhina karena ia seolah dapat melakukan apapun yang diinginkannya dan lolos begitu saja."

Pada 2017 lalu, seorang jurnalis wanita asal Rusia, Ekaterina Nadolskaya, mengklaim pernah juga menjadi korban pelecehan seksual dalam dunia sepakbola. Pelakunya tidak sembarangan: seorang pesepakbola serupa dewa yang di negara asalnya dibuatkan gereja khusus untuk memujanya. Betul, dia adalah: Diego Armando Maradona.

Dalam wawancaranya pada Maret 2017 dengan situsweb Rusia, Life.ru, Nadolskaya menyebut kejadian berlangsung saat final Piala Konfederasi 2017. Kala itu ia meminta Maradona, yang turut hadir ke perhelatan akbar tersebut, untuk wawancara. Maradona menyanggupinya dan meminta wawancara dilakukan di kamar hotelnya. Setelah menjawab beberapa pertanyaan, Maradona mulai bersikap kurang ajar: meminta Nadolskaya untuk melepaskan pakaiannya.

Terang saja permintaan tersebut ditolak. Namun Maradona memaksa, ia bahkan berusaha untuk menelanjangi jurnalis tersebut dengan tangannya sendiri. Nadolskaya pun mengancam akan memanggil sekuriti. Absurdnya, hal yang sama juga dilakukan Maradona. Setelah petugas sekuriti hotel tiba, Maradona meminta agar jurnalis tersebut dikeluarkan dari kamarnya.

Nadolskaya kemudian digiring keluar dari hotel, meninggalkan barang-barang, termasuk pakaiannya, di dalam kamar sang legenda. Dan tak cukup sampai di situ, ia kembali dipermalukan setelah asisten pribadi Maradona melemparkan sejumlah uang ke mukanya saat mereka di lobi hotel.

Kebenaran mengenai kasus tersebut hingga saat ini masih simpang siur. Adapun pihak hotel, dan tentu pula pihak Maradona, selalu tutup mulut mengenai apa yang terjadi. Nadolskaya sendiri juga tak pernah melaporkan Maradona ke pihak berwajib dengan alasan yang tidak diketahui.

Ini bukan pertama kalinya Maradona diduga telah bertindak tak senonoh kepada perempuan. Dalam rekaman video yang beredar pada 2014, Maradona terlihat tengah memukul pacarnya, Rocio Olivia. Namun ia menyangkal hal tersebut. "Saya memang melempar ponsel, tapi saya bersumpah atas nama anak-anak saya, saya tidak pernah memukul memukul perempuan. Begitulah awal dan akhir cerita tersebut," ujar Maradona.

Misogini dalam Sepakbola Inggris

Ada adagium yang cukup populer di Inggris: 'Rugby is a thug’s game played by gentlemen and football is a gentleman’s game played by thugs.' Tak jelas betul siapa yang pertama kali membuat adagium tersebut. Namun, dalam derajat tertentu, hal itu benar adanya: sepakbola kerap memberi ruang bagi para misoginis untuk ikut bermain.

Namun misogini dalam sepakbola tidak hanya menjangkiti pemain. Dalam industri para macho ini, kanker tersebut tersebar sejak dari hulu ke hilir dan diidap nyaris oleh laki-laki manapun. Kasus lain, misalnya, pernah terjadi tatkala Jose Mourinho mengkritik tim medis Chelesa dalam pertandingan kontra Swansea di Liga Primer Inggris musim 2015. Secara khusus, ia mengecam tindakan dokter tim utama, Eva Carneiro.

Enam menit menjelang laga usai, Eden Hazard tampak terkapar kesakitan setelah berbenturan dengan pemain Swansea, Gylfi Sigurdsson. Mengetahui hal tersebut, Carneiro beserta fisioterapis Jon Fearn dengan segera masuk ke lapangan. Sebagaimana aturan yang ada, jika seorang pemain mendapatkan perawatan medis, maka dia harus meninggalkan pertandingan.

Dengan ketiadaan Hazard, The Blues pun harus bermain dengan sembilan pemain setelah sebelumnya Thibaut Courtois mendapat kartu merah pada menit 52. Kekurangan pemain itulah yang dianggap Mourinho menjadi penyebab kenapa Chelsea hanya mampu bermain imbang 2-2 dengan Swansea di Stamford Bridge. Dalam konferensi pers usai laga, Mourinho mengecam para staf medis.

infografik misogini dalam sepak bola

"Saya tidak senang dengan para staf medis. Mereka impulsif dan naif. Tak peduli apakah Anda seorang kitman, dokter, atau sekretaris di bangku cadangan, Anda harus memahami permainan. Anda harus tahu jika Anda terpaksa kekurangan satu pemain, Anda harus memastikan dia memang memiliki cedera yang serius. Saya yakin Eden tidak memiliki masalah serius. Dia terkena benturan. Dia lelah."

Persoalannya tapi tak berhenti sampai di situ. Mourinho dikabarkan secara spesifik menyerang Carneiro secara verbal dengan makian berbahasa Portugis seperti ‘filha da puta’ yang kurang lebih berarti "anak pelacur". Ia juga diturunkan dari jabatan sebagai dokter kepala tim utama dan dilarang datang ke latihan. Enam minggu berselang dari keributan tersebut, Carneiro, yang telah bergabung dengan Chelsea sejak 2009, mengumumkan pengunduran dirinya.

Setelah keluar, ia lantas mengajukan tuntutan kepada Otoritas Sepakbola Inggris (FA) terkait sikap seksis dan serangan yang dilakukan Mourinho terhadapnya. Namun setelah melakukan penyelidikan, FA memutuskan Mou tak bersalah.

"Kata-kata yang digunakan, sebagaimana diterjemahkan dan dianalisis oleh ahli independen, serta bukti video, tidak mendukung kesimpulan yang ditujukan kepada orang tertentu," demikian pernyataan FA seperti dilansir BBC.

Sikap FA tersebut kemudian dikecam oleh kelompok Women in Football (WIF) yang berbasis di London. Mereka menyatakan: "Ini adalah contoh lain kegagalan FA dalam mengatasi kasus diskriminasi. Kami sangat prihatin dan kecewa dengan penyelidikan tersebut."

Usaha Melawan Seksisme di Dunia Sepakbola

WIF merupakan organisasi yang mengawasi kasus-kasus pelecehan seksual, penyerangan, dan misogini yang terjadi kepada para pekerja wanita, khususnya dalam industri sepakbola. Tercatat kurang lebih ada sekitar 1200 wanita yang tergabung dalam jejaring WIFl. Salah satu wujud kerja partisipatoris WIF adalah Everyday Sexism Project. Sebuah situsweb pelaporan tindakan seksis yang dialami wanita di mana pun dan kapanpun.

Survei yang dilakukan WIF pada 2014 menunjukkan, terdapat lebih dari 66% pekerja wanita dalam industri sepakbola yang telah menyaksikan perilaku seksis di tempat kerja mereka masing-masing. Ironisnya, 89% dari mereka memilih bungkam karena merasa laporannya tidak akan dianggap serius.

Dalam artikel yang berjudul Football Needs To Take Sexism More Seriously, Laura Bates selaku pendiri WIF mengutip pernyataan rekannya, Anna Kessel, dalam menjelaskan mengapa fenomena tersebut terjadi. "Tiap klub sebetulnya sudah memiliki prosedur pelaporan yang jelas seputar pelecehan diskriminatif. Tetapi tidak ada instruksi khusus atas tindakan pelecehan seksual."

Kessel menambahkan: "Jika pelecehan seksis terus ditoleransi di stadion sepakbola, lalu bagaimana harapan bagi perempuan yang bekerja di kantor klub sepakbola, tempat latihan, studio TV, dan ruang rapat, yang juga turut mengalaminya langsung?"

Pada Juni 2016, kasus antara Carneiro dengan Mourinho berakhir dengan kesepakatan damai. Menindaklanjuti hal tersebut, Chelsea pun juga turut menyatakan permohonan maaf kepada Carneiro.

"Kami menyesali situasi yang membuat Dr Carneiro meninggalkan klub dan meminta maaf tanpa syarat kepadanya dan keluarga atas penderitaan yang telah terjadi. Kami ingin menekankan bahwa saat berlari masuk lapangan, Dr Carneiro sudah mengikuti aturan pertandingan dan memenuhi tanggung jawabnya terhadap pemain sebagai dokter, yakni mengutamakan keselamatan mereka

"Dr Carneiro selalu mengutamakan kepentingan para pemain di klub. Dr Carneiro adalah dokter olahraga yang sangat kompeten dan profesional. Dia adalah anggota terhormat dari tim medis klub dan kami mendoakan setiap kesuksesan dalam karir masa depannya.

"Jose Mourinho juga berterima kasih kepada Dr Carneiro atas dukungan yang sangat baik dan dedikasi yang diberikannya selama ini sebagai dokter tim utama. Dia juga berharap agar karier beliau sukses."

Jika Anda bertanya mengapa Mourinho tidak pernah secara langsung meminta maaf kepada Carneiro, maka perlu Anda ketahui bahwa memang demikianlah cara misogini bekerja dalam spektrum patriarki. Ia ditopang kekuasaan yang amat besar sehingga gengsi menjadi harga mati.

Sebuah "Bro Code" yang tempo hari dipersetankan Via Vallen di akun Instagramnya.

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Zen RS