Menuju konten utama
Obituari

Verawaty: Legenda Bulu Tangkis Yang Sempat Tak Diperhitungkan

Mulanya Verawaty tak diperhitungkan dalam kancah bulu tangkis Indonesia. Kemenangannya atas Chen Yu Niang jadi titik balik dalam kariernya.

Verawaty: Legenda Bulu Tangkis Yang Sempat Tak Diperhitungkan
Mantan pebulu tangkis nasional Verawaty Fadjrin saat ditemui di ajang Asian Games 2018 Jakarta, Senin (30/7/2018). ANTARA/Bayu Kuncahyo/aa.

tirto.id - Chen Yu Niang adalah pemain bulu tangkis asal Republik Rakyat Tiongkok yang tangguh. Ia tak pernah kalah dari siapa pun tiap kali main di luar negeri sampai 1976. Maka tak heran atlet perempuan kelahiran 1946 ini ikut serta dalam kompetisi Invitasi Bulutangkis Asia di Bangkok, Thailand pada tahun tersebut dengan penuh rasa percaya diri.

Dalam kejuaraan tersebut salah satu lawan yang bakal dihadapi adalah atlet asal Indonesia yang belum genap berusia 19 atau lebih muda 11 tahun darinya, Verawaty. Jelas ia sama sekali tak diunggulkan, apalagi rekam jejaknya juga tak menjanjikan. Pada usia belasan ia telah menghadapi kegagalan demi kegagalan.

Dua tahun sebelumnya Verawaty gugur di babak perempat final kejuaraan nasional yang diadakan di Semarang, Jawa Tengah. Itu adalah kejuaraan nasional pertamanya. Meski gagal, seperti disebut Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 (1984:194), para wartawan olahraga terkesan dengan penampilannya hingga dia mendapat predikat sebagai pemain putri terbaik.

Verawaty juga gagal dalam seleksi Asian Games VII di Teheran, Iran. Waktu tim putri menggondol Piala Uber pada 1975, si gadis ini juga tidak turun bermain.

Tapi Verawaty tidak kapok untuk terus mengayunkan raket. Meski belum bersinar, smesnya sangat tajam dan kontrol bola dianggap nyaris sempurna.

Di atas kertas tak ada faktor yang membuat Chen Yu Niang kalah dari Verawaty. Tapi fakta berkata lain. Chen Yu Niang tertunduk lesu dan Verawaty melaju ke babak final.

Meski kalah dari Liang Chiu Hsia, kejutan Verawaty di Bangkok membuatnya dapat kepercayaan untuk bertanding mewakili Indonesia di banyak kejuaraan bergengsi.

Lahir dari Keluarga Atlet, Mencetak Banyak Prestasi

Ketertarikan Verawaty terhadap bulu tangkis tak bisa dilepaskan dari pengaruh keluarga. Ayahnya, Gani Wihardjo alias Oei Joen Ho, pernah jadi juara di Sin Ming Hui Jakarta pada 1948. Ibunya, Elsyewaty Mualim, pernah masuk perempat final kejuaraan Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) di Malang pada 1959. Di era 1970-an, orang tuanya masih bugar dan kerap ikut kejuaraan untuk veteran.

Dari orang tua yang bertemu di arena bulu tangkis ini lahir empat anak. Verawaty adalah anak kedua.

Perempuan kelahiran 1 Oktober 1957 ini mulai bermain bulu tangkis sejak usia 7. Pada usia 10, ia telah berhasil menjadi juara anak di tingkat Jakarta Raya. Verawaty remaja pernah kuliah di IKIP Jakarta, yang kini menjadi Universitas Negeri Jakarta.

Sepanjang kariernya Verawaty terlibat di banyak nomor ganda putri, ganda campuran, dan tunggal putri. Dia pernah menang di All England dalam ganda putri (1979) dan tunggal putri (1980), juga di pesta regional macam SEA Games dan Asian Games. Di SEA GAmes sepanjang 1977 sampai 1989, Verawaty menyumbang total 11 medali emas. Prestasinya paling mencolok di kompetisi ini terjadi pada 1981. Ketika itu ia memborong tiga emas sekaligus.

Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008: 288) menyebut di Asian Games VIII Bangkok pada 1978 Verawaty mengalahkan Chen Yu Niang lagi dalam nomor ganda campuran. Kala itu Chen Yu Niang berpasangan dengan Chen Hui Ming. Di Piala Uber, Verawaty tercatat mewakili Indonesia pada 1978, 1982, 1986, 1988 dan 1990.

Verawaty bermain bulu tangkis hingga 1990-an. Setelah itu dia pensiun dan menjadi ibu rumah tangga.

Nama Verawaty masuk dalam buku sejarah resmi, membuktikan betapa penting kiprahnya bagi bulu tangkis Indonesia. Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6: Zaman Jepang & Zaman Republik (2008:664) menyandingkan namanya dengan Ferry Sonneville, Tan Joe Hok, Mulyadi, Tjun Tjun, Rudi Hartono, Liem Swie King, dan Ivana Lie. Buku sejarah versi pemerintah itu menyebut “mereka menjadi juara dunia dalam pertandingan Piala Thomas Cup maupun All England.”

Dalam buku tersebut nama Verawaty ditulis sebagai Verawaty Fajrin. Fajrin adalah nama tambahannya setelah menikah dengan Fajriansyah Budiun Aham pada 1979.

Suaminya pernah menjadi sekretaris dari seorang pengusaha Tionghoa-muslim yang berjaya di Kalimantan Timur dan dikenal karena membangun beberapa masjid Cheng Ho di sekitar Balikpapan dan Samarinda, Kang King Tek alias Muhammad Jos Soetomo. Ketika menikah, Verawaty sudah mantap mengucapkan bismillah; dia masuk Islam. Pada 1982, Verawaty sudah naik haji dan semua orang Indonesia layak menyebut Hajjah Verawaty Fajrin atau setidaknya Bu Haji saja.

Infografik Djarum dan Bulutangkis

Infografik Djarum dan Bulutangkis. tirto.id/Sabit

Selain bulu tangkis, Verawaty Fajrin tampaknya menaruh minat pada dunia politik. Di masa tua, namanya tercatat dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI nomor M.HH-22.AH.11.01 tahun 2015 tentang susunan pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra) yang dipimpin oleh Prabowo Subianto. Di sana tercatat Nyonya Hajjah Verawaty Wihardjo Fajrin adalah anggota Dewan Pembina Partai Gerindra.

Meski ada di partai yang cukup besar, nama Verawaty kurang terdengar dalam riuh politik yang melibatkan Partai Gerindra.

Verawaty meninggal dunia di Rumah Sakit Dharmais Jakarta pada Minggu 21 November 2021 pukul 06.58 pada usia 64 karena kanker paru-paru setelah dirawat sejak Minggu 19 September 2021.

Meski sempat berkecimpung dalam dunia politik, nama Verawaty Fajrin tentu akan lebih diingat publik sebagai pebulu tangkis perempuan yang di masa jayanya sering menang dalam kejuaraan dunia dan mengharumkan nama Indonesia.

Baca juga artikel terkait ATLET BULU TANGKIS atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Rio Apinino