Menuju konten utama

Van Oyen: Jenderal yang Kabur ke Australia Saat Jepang Datang

Jenderal van Oyen adalah panglima KNIL di pengasingan era PD II. Dia mundur setelah tak sepaham dengan politikus sipil macam van Mook.

Van Oyen: Jenderal yang Kabur ke Australia Saat Jepang Datang
Ludolph Hendrik van Oyen. FOTO/wikimedia.org

tirto.id - Panglima tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) Letnan Jenderal Hein Ter Poorten gagal mempertahankan Hindia Belanda hingga banyak daerah dengan mudah dikuasai Jepang pada Maret 1942. Dalam kondisi terdesak, beberapa perwira kabur ke Australia pada 6 Maret 1942, salah satunya adalah Ludolph Hendrik van Oyen.

Dua hari setelah van Oyen kabur, 8 Maret, Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Jepang tanpa syarat.

Sebelum Jepang datang menyerbu, sejak 1940, van Oyen adalah inspektur di sayap udara KNIL, Militaire Luchtvaart. Pangkatnya kala itu sudah jenderal mayor. Di antara para perwira yang kabur, van Oyen-lah yang paling senior.

Di Australia, seperti dicatat J. A. de Moor dalam Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia (2015:124), van Oyen berkantor di sebuah tempat yang dijadikan markas KNIL, beralamat di St Kilda Road Nomor 445, Melbourne. Karena paling senior, mau tak mau van Oyen-lah yang memimpin sisa-sisa KNIL di masa kehancuran itu.

Van Oyen sempat digantikan van Straten yang berpangkat kolonel ketika pergi ke Amerika Serikat untuk memimpin sebuah sekolah penerbangan. Ia kembali dari AS setelah Oktober 1943. Pada tahun itu Oyen mendapat promosi sebagai letnan jenderal dan menjadi Panglima KNIL Kepala Departemen Peperangan.

Letnan Jenderal van Oyen bersusah payah membangun kembali kekuatan KNIL. Ada pasukan yang sepertinya, di Australia sejak 1942, dan ada pula yang baru menyusul setelah 1943 karena bergerilya dulu di sisi selatan Indonesia Timur.

Salah satu yang bergabung dengan van Oyen adalah tentara yang kelak memimpin militer Belanda dalam Agresi I dan II, Mayor Simon Hendrik Spoor. Menurut Moor (2015:56), meski Spoor adalah mantan anak buah van Oyen ketika berdinas di Banjarmasin, dan sebagai lulusan Hogare Krigjschool (HKS) di Den Haag van Oyen bisa menjadi mentor Spoor yang hendak belajar di tempat yang sama, keduanya tidak begitu dekat.

Ada pula kawan seangkatan Spoor di Akademi Militer Breda, Hendrik Johannes, yang diangkat sebagai ajudan van Oyen. Johannes kelak menjadi komandan teritorial Indonesia Timur ketika Westerling mengganas di Sulawesi Selatan.

Sebenarnya banyak bawahan van Oyen berada di Kamp Colombia. Namun van Oyen memutuskan terus tinggal di Melbourne dan juga menetapkan markas KNIL tetap di Melbourne. Alasannya, “Barangkali... ia tak mau menukarkan tempat tinggalnya yang mewah di Melbourne dengan beberapa kantor dan rumah kecil yang lusuh di sebuah hutan jauh dari luar Brisbane,” tulis Moor (2015:166).

Setelah banyak upaya dilakukan, di bawah van Oyen atau panglima mana pun, KNIL tetaplah kecil. Kontribusinya bagi tentara sekutu dalam menghadapi militer Jepang tak signifikan (di antara kontribusi yang sedikit itu ada jasa serdadu KNIL asal Indonesia seperti Adolf Lembong, Gus Kamagi dan tentu saja Julius Tahija).

Mundur

Ludolph Hendrik van Oyen lahir di Den Haag pada 25 April 1889. Ia lulus akademi militer Breda pada 1911 dan setelahnya berdinas sebagai letnan dua infanteri KNIL di Hindia Belanda.

Surat kabar Het Parool edisi 31 Juli 1953 menyebut van Oyen naik pangkat menjadi kapten pada 1921 dan mayor pada 1933. Sejak 1933 dia adalah ajudan dalam dinas biasa Ratu Belanda untuk sementara dan pada 1934 menjadi ajudan dalam dinas luar biasa. Pada 1935 van Oyen naik pangkat lagi menjadi letnan kolonel dan tiga tahun kemudian sudah menjadi kolonel. Di pangkat terakhir ini dia menjadi inspektur penerbangan militer.

Menurut catatan surat kabar Trouw 1 Agustus 1953, van Oyen adalah pemegang berbagai penghargaan, dari mulai Officier Dienstkruis (1926), Officier Oranje-Nassau (1936), Commandeur in de orde van Oranje-Nassau (1946), ridder in de orde van de Nederlandse Leeuw (1941), Legeon of Merit dan Grootkruis van Phoenix van Griekenland (1948).

Setelah berita kemerdekaan Indonesia sampai ke Australia, Letnan Jenderal van Oyen kembali menghadapi masalah internal. Para serdadu Indonesia mogok sehingga mengganggu kerja para perwira Belanda yang ingin segera masuk ke Indonesia untuk berkuasa kembali.

Arsip Muhammad Bondan nomor 498 yang terdapat di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menyebut terdapat 228 orang Indonesia yang tinggal di Brisbane, Australia, dan nyaris semuanya anggota KNIL. Mereka adalah serdadu rendahan yang hanya lulusan sekolah dasar atau bahkan tidak pernah sekolah sama sekali. Mayoritas berasal dari Pulau Jawa, sebagian kecil berasal dari Ambon dan Manado.

Infografik Ludolph Hendrik van Oyen

Infografik Ludolph Hendrik van Oyen. tirto.id/Fuad

Van Oyen menjadi Panglima KNIL hanya sampai Januari 1946 pada usia 57. Dia mundur sebelum KNIL kembali menguasai semua daerah Indonesia karena tidak cocok dengan politisi sipil macam Hubertus van Mook, Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir sebelum Jepang berkuasa.

Van Oyen digantikan Spoor. Bagi van Oyen, seperti disebut de Moor (2015:214), Spoor cocok menjadi kepala staf. Ketika Spoor jadi panglima, tak ada lagi generasi van Oyen di dalam komando penting KNIL di Indonesia.

Dia kemudian masuk Palang Merah Belanda. Sejak 1 Oktober 1948 ditugaskan sebagai penasihat urusan militer dalam Palang Merah. Sebulan kemudian dia menggantikan Mayor De Stoppelaar yang meninggal mendadak sebagai komandan korps Palang Merah Belanda.

Van Oyen masih hidup ketika KNIL dan tentara Belanda lain di bawah Spoor gagal menghancurkan Indonesia dan usaha van Mook sia-sia pada 1949 dengan adanya pengakuan--dengan terpaksa--atas kedaulatan Republik sejak 27 Desember 1949.

Het Parool menyebut Letnan Jenderal van Oyen tutup usia pada selasa 28 Juli 1953 pada usia 64, menyusul Spoor, junior yang pernah tidak cocok dengannya yang lebih dulu kena serangan jantung pada 25 Mei 1949. Dia dimakamkan dalam keheningan.

Baca juga artikel terkait KNIL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Rio Apinino